Menuju konten utama

Anomali Shakespeare dan Leicester City

Sepeninggal Claudio Ranieri, Leicester City justru membaik. Anomali barangkali bakal kembali terjadi, kali ini bersama Craig Shakespeare sang pengganti.

Anomali Shakespeare dan Leicester City
Selebrasi pemain Leicester City, Wes Morgan setelah mencetak gol ke gawang Sevilla di Perempat Final Liga Champions. FOTO/Getty Images

tirto.id - Leicester City tampaknya sedang menuju anomali jilid kedua. Suatu kondisi yang tidak semestinya, cenderung menyimpang, tidak normal alias janggal, yang naga-naganya bakal kembali menaungi Riyad Mahrez dan kawan-kawan. Indikasi itu kian menguat setelah pasukan rubah sukses menyingkirkan Sevilla dari kancah paling bergengsi sepakbola antar-klub Eropa, Liga Champions.

Musim lalu tentunya menjadi anomali pertama bagi klub yang berdiri sejak 1884 itu. Nyaris tidak dianggap, Claudio Ranieri sukses membikin gempar seisi Britania Raya bahkan persepakbolaan dunia dengan mengantarkan Leicester City meraih kampiun Premier League 2015/2016.

Namun, daya magis pria Italia tersebut gagal berlanjut musim ini. Sang juara bertahan tampil kepayahan, terseok-seok bahkan sempat terperosok di tepi zona degradasi. Kondisi minor ini akhirnya berdampak pada pemecatan Ranieri yang musim lalu bertabur puja-puji.

The Fox barangkali memang sudah ditakdirkan menjadi klub yang akrab dengan kejanggalan. Ketiadaan Ranieri justru berbuah berkah positif, setidaknya sampai sejauh ini. Tak perlu susah-susah mencari manajer baru yang bisa jadi berbayar tinggi, sang asisten pelatih lama rupanya sudah siap jadi pengganti.

“Mampukah saya menjalankan peran sebagai manajer? Saya pikir saya bisa, bahkan saya cukup menikmatinya,” begitulah optimisme tinggi yang terlontar dari mantan tangan kanan Ranieri itu.

Si suksesor tersebut bernama Craig Shakespeare yang kini tengah menyongsong anomali edisi kedua Leicester City.

Shakespeare Masa Kini

Selama ini, semesta hanya mengenal satu Shakespeare dari Inggris, siapa lagi kalau bukan William sang pujangga legendaris itu. Namun sekarang, telah muncul Shakespeare masa kini yang entah apakah masih sealiran darah dengan pencipta “Romeo and Juliet” yang hidup berabad-abad lampau itu atau hanya berkerabat jauh.

Perkenalkan, inilah Craig Shakespeare.

Craig memang unik. Ia sejatinya adalah representasi dari anomali Leicester City itu sendiri. Karier melatih Shakespeare yang satu ini boleh dibilang aneh, janggal, alias tidak normal. Tak percaya?

Shakespeare sudah hampir 11 tahun melatih klub sepakbola di Inggris. Namun, sedari 2006 itu, ia sama sekali belum pernah menjadi manajer utama alias pelatih kepala sebelum Leicester City mempercayakan posisi itu sejak 12 Maret 2017 lalu.

Tentang kiprah Leicester City musim lalu dan musim ini, baca: Elegi Esok Pagi Leicester City

Selama satu dasawarsa lebih, Craig cuma mendapatkan peran sebagai orang kedua atau ketiga di jajaran kepelatihan klub-klub yang memakai jasanya. Paling banter hanya sebagai caretaker atau manajer pengganti, bukan manajer yang ditunjuk secara resmi untuk menjadi pelatih kepala.

Anehnya lagi, setiap kali menjadi caretaker, klub yang dibesutnya selalu menang. Itu terjadi di West Bromwich Albion (WBA) pada 2006, dan baru berlanjut ketika menggantikan Ranieri sejak 23 Februari 2017 lalu. Hingga duel Leicester City kontra Sevilla kemarin, Craig mencatatkan 100 persen kemenangan kendati laga yang dijalaninya juga belum seberapa.

Setia Jadi yang Kedua

Craig Shakespeare menjalani debut pertamanya sebagai pelatih (pengganti) pada 17 Oktober 2006 di WBA yang berlaga di Championship atau kompetisi kasta kedua Liga Inggris. Saat itu, ia menggantikan Nigel Pearson yang sebetulnya juga berperan sebagai caretaker usai dipecatnya Bryan Robson sejak18 September 2006.

Pearson menjadi manajer caretaker WBA hanya dalam durasi kurang dari sebulan sebelum digantikan oleh caretaker lainnya, yang tidak lain Shakespeare. Nasib Shakespeare ternyata lebih apes. Meskipun mengantarkan timnya menang 0-2 di kandang Crystal Palace, Craig cuma menjadi manajer sehari lantaran esoknya WBA sudah punya pelatih baru yakni Tony Mowbray.

Jalan karier Shakespeare selanjutnya tak terlalu mulus. Dua tahun menganggur, ia kembali bekerja setelah diminta koleganya di WBA dulu, Nigel Pearson, yang baru saja ditunjuk sebagai manajer Leicester City. Craig menjadi tangan kanan Pearson di The Fox yang kala itu masih berkubang di League One atau kasta ketiga Liga Inggris musim 2008/2009.

Musim pertama duet Pearson-Shakespeare sangat lancar, Leicester City finish di puncak klasemen dan promosi ke Championship 2009/2010. Namun, setelah membawa The Fox menempati urutan ke-5 musim itu, Pearson terpaksa hengkang pada 29 Juni 2010 karena berselisih dengan jajaran petinggi klub.

Infografik Craig Robert Shakespeare

Uji Hasil Kesabaran

Pearson menukangi Hull City di musim berikutnya, dan Shakespeare juga ikut dengannya. Namun, mereka hanya bertahan setahun di klub berjuluk The Tigers itu. Di sisi lain, Leicester City justru labil sepeninggal keduanya, bahkan sampai 7 kali ganti pelatih dalam semusim.

Bulan madu kedua Pearson-Shakespeare di Leicester City pun dimulai sejak musim 2011/2012 hingga akhirnya kedua harus berpisah pada akhir musim 2014/2015. Pearson pergi, sementara Shakespeare dipertahankan untuk mendampingi manajer baru, siapa lagi kalau bukan Claudio Ranieri yang akhirnya melambungkan The Fox ke puncak kejayaan.

Kini, tanpa Pearson atau Ranieri, Shakespeare harus mandiri. Untuk pertamakali dalam karier melatihnya, ia bukan lagi menjadi orang kedua. Tiga pertandingan awal sudah dilaluinya dengan sempurna, tak hanya di kompetisi domestik, tapi juga di pentas paling bergengsi bernama Liga Champions.

Debut sebagai manajer ini sekaligus menjadi pertaruhan buah kesabaran Shakespeare. Apakah anomali yang menyenangkan itu akan berlanjut, atau justru ini menjadi pengalaman pertama yang menyesakkan? Shakespeare tentunya sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Sebagai penutup, bolehlah mengutip kata-kata mutiara dari William, leluhur Craig yang melegenda itu: “Kita semua tahu siapa diri kita, tetapi kita tidak akan pernah tahu seperti apa kita nantinya.”

Itulah yang sedang dijalani Shakespeare di Leicester.

Baca juga artikel terkait LEICESTER CITY atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Olahraga
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS