Menuju konten utama

Elegi Esok Pagi Leicester City

Nasib Leicester City musim ini bagai elegi. Musim lalu tampil mengejutkan, kini kepayahan. Bersiap kembali ke kelas medioker atau ingin tetap jadi tim top?

Pemain Leicester City tertunduk lesu setelah kalah 2-1 atas Hull City dilaga perdana Liga Utama Inggris atau Premier League musim 2016/2017. REUTERS

tirto.id - Kekalahan dari Sunderland dengan skor 2-1 pada 3 Desember 2016 lalu semakin membenamkan posisi Leicester City di klasemen sementara Premier League musim ini. Hingga pekan ke-14, The Fox kini terperosok ke posisi 15 dan hanya terpaut dua strip dari zona degradasi.

Itu adalah kekalahan ke-7 yang dialami Jamie Vardy dan kawan-kawan dari 14 laga Liga Utama Inggris musim ini, sementara kemenangan yang dituai baru 3 pertandingan, sedangkan 4 laga lainnya berakhir imbang. Padahal musim lalu, skuad asuhan Claudio Ranieri hanya 3 kali merasakan pahitnya kekalahan.

Ada apa dengan Leicester City?

Gara-gara Tanpa Kante?

Banyak yang menyebut bahwa menukiknya performa Leicester City musim ini disebabkan karena hilangnya N’Golo Kante yang memilih pindah ke Chelsea dan tiadanya pemain berkualitas sepadan sebagai pengganti gelandang Perancis itu. Benarkah?

Kante terbilang sukses melanjutkan kecemerlangannya di Chelsea. Ia tak tergantikan di skuad terbaru The Blues ala Antonio Conte. Tampil penuh di seluruh laga Premier League musim 2016/2017 sejauh ini, ia mengemas akurasi operan mencapai 89 persen. Squawka pun memberi nilai 4 dari nilai maksimal 5 untuknya.

Dalam 14 laga, Kante nyaris tanpa cela. hanya di dua pertandingan ia tampil kurang gereget, yakni kala Chelsea dibekuk Liverpool 1-2 di kandang sendiri pada 16 September 2016 dan menyerah 3-0 saat melawat ke markas Arsenal sepekan kemudian. Selebihnya, aksi Kante luar biasa.

Lantas, apa betul Leicester memble gara-gara ditinggal Kante? Untuk Premier League hingga pekan ke-14, pendapat itu barangkali tidak salah tapi juga kurang sepenuhnya benar. Nir Kante, akurasi operan The Fox masih terbilang lumayan, 73 persen, ditambah punya peluang 104 kali termasuk 95 operan kunci meskipun hanya berbuah 17 gol.

Lebih unik lagi jika melihat pencapaian Leicester City di Liga Champions yang juga tidak lagi bersama Kante. Kendati nyaris tak berkutik di kancah domestik, mimpi indah pasukan rubah justru berlanjut di ajang termegah Eropa.

Bergumul bareng Club Brugge (Belgia) dan Kobenhavn (Denmark) yang berstatus juara bertahan liga dalam negeri masing-masing, serta jagoan Portugal pemegang 2 gelar kampiun Liga Champions, FC Porto, The Fox tampil menohok di Grup G.

Sekali lagi, tanpa Kante, Leicester City bahkan menjadi salah satu klub pertama yang meraih tiket lolos ke fase 16 besar tanpa mengalami kekalahan dalam 5 laga dengan hanya sekali kebobolan dan mencetak 7 gol.

Jadi, bukan cuma soal Kante semata yang menjadi biang inkonsistensi Leicester City musim ini, juga bukan karena kurang bermutunya para rekrutan anyar termasuk Islam Slimani, Ahmed Musa, Marcin Wasilewski, Bartosz Kapustka, Nampalys Mendy, hingga Ron-Robert Zieler. Yang menjadi problem terbesar Ranieri adalah kedalaman skuad, bisa jadi.

Leicester bukanlah klub super tajir yang punya skuad membanjir seperti Manchester United, misalnya, yang dengan entengnya menepikan gelandang kelas dunia macam Bastian Schweinsteiger, atau Manchester City yang tanpa ragu membuang Joe Hart, Samir Nasri, hingga Eliaquim Mangala.

Ranieri terpaksa memakai pemain yang itu-itu saja untuk mengarungi padatnya musim ini, dari Premier League, Piala Liga Inggris, Piala FA, dan Liga Champions. Akibatnya cukup fatal, para pilar The Fox gagal menjaga stabilitas permainan yang berimbas pada limbungnya performa mereka di liga.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/12/05/leicestercitycopy.jpg" width="860" alt="INFOGRAFIK Leicester City Riwayatmu Kini" /

Ranieri Tak Punya Solusi

Apa yang dialami Leicester City musim ini bukanlah pertamakalinya yang terjadi di Liga Inggris. Contoh terdekat tentu saja Chelsea. Usai merengkuh trofi juara Premier League 2014/2015, The Blues terjun bebas di edisi berikutnya. Mujurnya, mereka mampu memungkasi musim di posisi 10 kendati memakan tumbal bernama Jose Mourinho.

Jauh sebelumnya, Manchester City lebih miris lagi. Jawara musim 1936/1937 ini justru terdegradasi di musim berikutnya. Menariknya, gelar juara itu menjadi trofi kampiun liga pertama bagi The Citizen, sama seperti Leicester musim lalu. Apakah The Fox akan mengalami hal yang sama musim ini? Kemungkinan tersebut tentunya bukan hal yang mustahil.

Ranieri sendiri seolah tak punya jalan keluar untuk mengatasi problem yang menerpa Leicester. Pria Italia ini merasa Dewi Fortuna tidak lagi bersama tim besutannya. “Ini cukup rumit, semuanya seakan-akan musnah. Kami memulai musim lalu dengan keberuntungan dan kami tetap di jalur yang tepat. Tapi, semuanya menjadi berbeda musim ini,” keluhnya kepada ESPN.

"Saya selalu melihat tim yang ada di belakang kami bahwa ternyata kami sedang berjuang dari ancaman degradasi. Musim ini kami harus tenang, solid, dan terus bekerja keras,” hanya itu yang bisa ditawarkan Ranieri sebagai solusi.

Jika ingin memperbaiki posisi, Leicester wajib berbenah di bursa transfer tengah musim nanti. Buang pemain yang selama ini kurang terpakai kontribusinya dan rekrut punggawa baru yang benar-benar mumpuni, atau setidaknya punya kualitas yang tidak jauh berbeda dengan skuad reguler Ranieri.

Memang bukan persoalan yang gampang bagi klub sekelas Leicester City merogoh dana besar demi mendapatkan pemain yang diincar. Namun, Vichai Srivaddhanaprabha selaku bos pasukan rubah harus memikirkan nasib timnya, setidaknya untuk menjaga gengsi sebagai juara bertahan. Taipan asal Thailand itu mesti berpikir cerdik jelang bursa transfer pada awal tahun baru nanti.

Kendati dalam kondisi sulit tanpa disertai solusi konkret, paling tidak para penghuni King Power Stadium masih punya rasa tanggung jawab. Spirit inilah yang kini menjadi satu-satunya amunisi bagi Leicester City untuk berupaya keluar dari kesukaran.

Itulah yang dikatakan oleh sang kapten, Wes Morgan, kepada media usai timnya disikat Sunderland. Menurut bek berusia 32 tahun ini, yang paling bisa mengakhiri problem Leicester City adalah para pemainnya sendiri.

“Ketika tidak ada jalan keluar dalam keadaan yang rumit, maka kami harus segera memutar haluan. Memang sama sekali tidak nyaman, namun hanya kami yang mampu mengatasi semua ini,” tandas Morgan.

Ya, Morgan dan kawan-kawan memang harus secepat mungkin keluar dari situasi sulit ini demi menjaga marwah The Fox yang sudah kadung naik kelas. Jangan sampai Leicester City kembali mengisi area semenjana, bahkan turun level dan menyandang status lagi sebagai tim penggembira.

Baca juga artikel terkait LEICESTER CITY atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Olahraga
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS