tirto.id - "Saya garis bawahi: ini bukan mengundang becak baru, tetapi mengatur yang sudah ada."
Kalimat tersebut dikatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Jumat (19/1) kemarin, ketika ditanya juru warta soal rencana mengizinkan kembali becak beroperasi di ibu kota Jakarta. Becak tidak lagi diperbolehkan jadi alat transportasi sejak terbitnya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Anies merasa perlu meluruskan wacana legalisasi becak. Menurutnya ada yang salah dari pemberitaan soal itu selama ini. Misalnya, menurut Anies kebijakan legalisasi bukan berarti mengizinkan kembali becak berkeliaran di mana pun, tapi mengatur di mana saja ia diperbolehkan. Wacana lain misalnya pengoperasian becak hanya di kawasan wisata.
"Sekarang itu dalam kenyataannya becak itu ada, tapi mereka hanya beroperasi di dalam kampung, tidak keluar ke jalan. Nah, kita akan mengatur supaya becak berada tetap di dalam kampung, tidak becak berada di jalan," kata Anies.
Begitu pula ketika ia bilang bahwa kebijakan ini "bukan mengundang becak baru". Ia yakin kalau izin operasi becak tidak akan serta merta menyebabkan orang beralih ke pekerjaan tersebut.
Namun ternyata yang disebut terakhir tidak sesuai dengan kenyataan. Setidaknya yang Tirto temui di lapangan dari para pengayuh becak.
Sugimin (53), seorang penarik becak asal Wonosobo, Jawa Tengah, mengatakan ada tiga orang keluarga jauhnya yang berencana mengadu nasib di Jakarta sebagai pengayuh becak pasca Anies mengemukakan rencananya soal legalisasi kendaraan ramah lingkungan itu.
"Senang dengar kabar itu. Saudara saya saja mau datang ke Jakarta buat 'narik', ada lah 2-3 orang dari Wonosobo," kata Sugimin saat ditemui di kawasan Pasar Serdang, Sunter, Sabtu (20/1) kemarin.
Sudah satu dasawarsa Sugimin mengayuh becak di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Umumnya ia mengayuh becak untuk mengangkut barang-barang belanjaan dari pasar. Kadang ia mengangkut penumpang tanpa belanjaan. Sekali perjalanan, Sugimin bisa mengantongi Rp5-10 ribu.
"Memang tidak besar, tapi saya kan juga jualan nasi goreng kalau malam. Kalau dari becak sih pernah sehari cuma dapat Rp30 ribu," katanya, sambil tertawa.
Sugimin tidak pernah membayangkan kalau di usianya yang sudah melewati setengah abad itu ia masih harus mengayuh becak untuk bertahan hidup. Ia jengkel kalau harus mengangkut penumpang berbadan besar atau menenteng banyak belanjaan. Namun, tidak ada pilihan lain.
"Paling capek tuh kalau bawa ibu-ibu yang gendut banget. Sudah belanjaannya banyak, badannya besar, susah dorong becaknya. Tapi tetap saya harus gowes. Udah gitu rumahnya masuk-masuk ke dalam. Aduh... itu susah sekali."
Bukan hanya Sugimin yang merasakan sulitnya menarik becak di DKI Jakarta saat ini. Wirjan (46), tukang becak asal Tegal, juga menuturkan pengalaman serupa.
Saat ditemui di kawasan Kramat, Senen, Wirjan tengah menggenjot becaknya yang penuh dengan serabut kelapa. Beradu dengan sepeda motor, mobil, dan truk. Sambil menghisap sebatang rokok, ayah tiga anak itu bercerita kalau dirinya menjadi penarik becak karena gagal berusaha di bidang yang lain.
"Awal ke Jakarta itu dagang buah di depan sekolah. Niatnya usaha, terus kurang laku akhirnya narik becak," ujar Wirjan.
Setiap hari, Wirjan mengayuh becaknya dari gang ke gang di kawasan Kramat Sentiong. Wirjan juga kerap membawa sayur atau barang dagangan lain dari Pasar Gaplok di kawasan Kramat, Senen. Wilayah yang sering ia lewati hanya berjarak ratusan meter dari Kantor Polres Metro Jakarta Pusat.
Untuk sekali jalan, Wirjan biasa mendapat upah Rp5-Rp7 ribu. Penghasilannya tidak pasti. Kadang seharian bekerja hanya dapat Rp100 ribu, tapi tidak jarang hanya setengahnya.
Beda dengan Sugimin, Wirjan menjadikan becaknya satu-satunya sumber pendapatan. Kendaraan beroda tiga itu ia beli satu dekade lalu dengan harga Rp500 ribu.
Ia sudah tahu rencana Anies Baswedan memberi izin becak beroperasi. Informasi itu didapatnya dari seorang loper koran di pasar tempatnya biasa menunggu orderan. "Saya dengar dari tukang koran. Diberi tahu waktu sedang bengong. Ya Alhamdulillah kita jadi nggak bingung gitu," ujarnya.
Meski demikian, Wirjan tidak mau selamanya mengayuh becak. Wirjan ingin memiliki usaha lagi seperti dulu, tentu jika modal cukup.
Berawal dari Program CAP
Keinginan Anies memberi izin becak beroperasi di jalan-jalan kecil ibu kota sebenarnya merupakan turunan dari program bernama Community Action Plan (CAP). Program ini ditetapkan Anies berada di bawah Dinas Permukiman Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP).
CAP bukanlah ide yang benar-benar baru. Program ini dikampanyekan oleh United Nations Human Settlements Programme (UN–Habitat), badan PBB yang didirikan pada 1978 untuk pemukiman dan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.
Pemberian izin bagi becak untuk melintas di jalanan Jakarta adalah salah satu poin dalam janji program CAP. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu berkata hendak menyiapkan peraturan untuk memberikan rute khusus bagi becak di Jakarta.
Namun, hal itu masih perlu pertimbangan agar aturan yang dibuat tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2017 tentang Ketertiban Umum. Aturan yang sama kerap dipakai otoritas terkait melakukan razia becak, dengan operator lapangan Satpol PP.
"Kita ingin pengemudi becak maupun bagi warga bisa melakukan kegiatan yang aman, nyaman, dan tertib," kata Anies, 15 Januari lalu. "Bagi yang menertibkan bisa punya alasan yang jelas. Mana [lokasi] yang mereka beroperasi mana yang tidak," lanjutnya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino