Menuju konten utama

Balada Tukang Becak di Jakarta Utara

Bagi sebagian orang, mengayuh sama dengan memperpanjang hidup. Para tukang becak kini harap-harap cemas: apakah becak bakal legal lagi?

Balada Tukang Becak di Jakarta Utara
Shelter Becak Terpadu di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (9/10/2018). tirto.id/Adi Briantika

tirto.id - Macet dan semrawut. Begitulah keadaan Pasar Teluk Gong, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Para pejalan kaki harus berbagi ruang dengan mobil dan para pedagang di jalan yang tak bisa dibilang lebar. Keadaan makin parah sehabis hujan. Genangan air pasti ada di mana-mana.

Di antara kerumunan orang dan pedagang, kadang terselip becak yang meski tak sebesar mobil tetap saja menambah kepadatan.

Tapi untuk yang terakhir ini sudah lumayan teratasi ketika Lurah Pejagalan Yogara Fernandez Pasaribu berinisiatif mendirikan tiga shelter becak terpadu. Di sinilah para tukang becak berkumpul, tak lagi di sembarang tempat.

Koordinator Wilayah Becak Pejagalan Idim Saputra, 54 tahun, mengatakan kepada saya keberadaan shelter sangat mengurangi kesemrawutan, khususnya di jam-jam sibuk pasar pada pagi hari.

"Sekarang lebih rapi, tidak terlalu macet, tukang-tukang becak sudah mau tertib," kata Idim di Jalan K, salah satu titik shelter yang terdapat di RW 09, Kelurahan Pejagalan, Selasa (9/10/2018).

Idim sudah puluhan tahun jadi tukang becak. Dia sudah melakoni pekerjaan itu ketika Suharto masih berkuasa, 1976.

Shelter becak Jalan K berada tepat di sebelah kiri Pasar Teluk Gong, tidak beratap dan memanjang kira-kira 50 meter. Sekitar delapan unit becak terparkir di sana, dan itu adalah batas maksimal.

Kelurahan, kata Idim, mengatakan akan memasangkan kanopi, tapi belum juga terealisasi. "Mungkin karena dana," katanya, sembari membenarkan rompi bertuliskan ‘Sebaja’ alias Serikat Becak Jakarta berwarna cokelat muda, dengan empat kantong di kanan-kiri bagian depan.

Berkurangnya kesemrawutan berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan harian Idim. Pria asal Sukabumi, Jawa Barat ini mengaku bisa mengumpulkan uang hingga Rp60 ribu sejak subuh hingga tengah hari, padahal sebelum ada shelter dia bisa membawa pulang duit Rp80 ribu jika ‘narik’ seharian.

Idim lebih beruntung ketimbang Usman, 59 tahun, yang sudah jadi tulang punggung keluarga dari membecak sejak 1980. Usman mangkal di shelter di Jalan Fajar, RW 17. "Sama saja [pendapatannya]. Kalau lagi ramai bisa Rp50 ribu per hari. Sekarang juga sama, malah harus antre untuk mendapatkan sewa," terang dia.

Shelter memang tak cuma jadi tempat mangkal tukang becak. Di sana disepakati sistem antre. Jadi semisal ada satu penumpang datang, yang boleh membawanya adalah tukang becak yang ada di urutan pertama. Tukang becak di urutan kedua akan jadi yang pertama, dan bakal narik ketika ada penumpang lagi. Tukang becak pertama yang kembali ke shelter akan ada di posisi buncit. Demikian seterusnya.

Sistem ini sebetulnya lazim diterapkan ojek pangkalan.

Cerita Kasroji, 54 tahun, lain lagi. Selain berkisah soal pendapatan, rata-rata jumlah penumpang tiap hari, dia juga bicara soal hilangnya rasa was-was setelah shelter berdiri. Dulu, katanya, dia harus kucing-kucingan dengan Satpol PP.

"Sekarang kami tidak harus kabur-kaburan lagi untuk ditertibkan. Sekarang kami aman, lebih rapi, dan tidak perlu dorong becak sana-sini karena takut diuber petugas," jelas pria asal Pemalang ini.

Keberadaan shelter juga dirasakan manfaatnya oleh penumpang. Yati, 39 tahun, salah satu warga yang sering naik becak, mengaku terbantu karena tidak perlu lagi ribet mencari di mana tukang becak. Dia sudah tahu harus ke mana.

"Ongkosnya juga murah," kata Yati, warga Jalan Lindung yang cuma berjarak 1,1 km dari pasar.

Harap-Harap Cemas ke Anies

Keberadaan becak di Jakarta semakin sedikit karena sebetulnya moda transportasi yang mengandalkan tenaga manusia sepenuhnya ini dilarang.

Dalam Pasal 29 Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (biasa disebut Perda Tibum) disebutkan bahwa: "Setiap orang atau badan dilarang: a. melakukan usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya. b. mengoperasikan dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya."

Meski begitu faktanya becak tetap ada, tapi berstatus ilegal. Maka dari itu orang seperti Kasroji harus berhadapan dengan Satpol PP jika sedang sial.

Namun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada awal Januari lalu mengeluarkan keputusan untuk mengizinkan kembali becak beroperasi di wilayah tertentu di Ibu Kota, termasuk Pejagalan. Penataan becak adalah bagian dari kontrak politik Anies dengan kelompok bernama Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK).

Agar para tukang becak ini sepenuhnya legal, maka Perda Tibum yang kini jadi landasan hukum pelarangan becak harus direvisi. Inilah yang sedang diupayakan Anies. Dia mengaku telah melayangkan surat ke DPRD DKI agar membahas revisi perda sejak dua bulan lalu, namun belum ditanggapi.

"Saya sudah kirimkan suratnya, kita tunggu jawabannya. Karena saya sudah kirim suratnya dari lama," tegas Anies di Balai Kota Jakarta, Kamis (11/10/2018).

Ketua DPRD Prasetyo Edi Marsudi sempat menolak pembahasan. Ia merasa becak memang sudah tidak diperlukan lagi. Mungkin ini alasan kenapa surat permohonan Anies—jika memang benar sudah dikirim lama—tak juga dibalas.

"Janganlah di-downgrade lagi. Naikkan tingkat kehidupan masyarakat," ujar Prasetyo, Rabu (10/8/2018).

Nasib para tukang becak, yang menurut Sebaja dan Dinas Perhubungan DKI ada 1.685, kini ada di dua institusi itu: Pemprov DKI dan DPRD DKI.

Baca juga artikel terkait BECAK DI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino