Menuju konten utama

Anak Tak Mau Hormat Bendera Mestinya Tak Dikeluarkan Dari Sekolah

Dua orang siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena menolak hormat kepada bendera tersebut harusnya tak bisa disalahkan.

Anak Tak Mau Hormat Bendera Mestinya Tak Dikeluarkan Dari Sekolah
siswa-siswi kelas 9 smp muhammadiyah 2 mengikuti kegiatan atraksi membaca buku dan sinopsis di halaman sekolah smp muhammadiyah 2, surabaya, jawa timur, sabtu (23/4). kegiatan dengan tema "kekinian? ya bawa buku" tersebut bertujuan untuk menumbuhkan minat baca para pelajar sekaligus dalam rangka memperingati hari buku internasional. antara foto/moch asim/foc/16.

tirto.id - Dua orang siswa SMP di Batam dikembalikan ke orang tua. Alasannya, kedua anak yang tercatat duduk di kelas 8 dan kelas 9 tersebut menolak hormat kepada bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

“Mereka pada saat melaksanakan upacara tidak mau hormat bendera dan tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Jadi memang dengan berat hati kita kembalikan ke orang tua,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam, Hendri Arulan, Selasa (26/11/2019) kepada Detik.com.

Hendri menyebut, keputusan itu dilakukan karena gagal membina dan melakukan pendekatan kepada siswa dan orang tuanya. Keputusan itu, kata Hendri, telah tertuang dalam berita acara pertemuan pihak sekolah, Dinas Pendidikan, perwakilan Polsek, termasuk Dewan Pendidikan.

Ia menganggap bahwa kedua siswa tersebut telah menyalahi aturan dalam negara. Hendri pun khawatir perilaku kedua anak tersebut akan memengaruhi murid lainnya.

“Orang tua sudah sering dipanggil, diberi pemahaman. Daripada berpengaruh ke siswa lain, maka hasil rapat memutuskan seperti itu (mengembalikan ke orang tua),” ujarnya.

Dalam Kasus Ini, Anak Tak Bisa Disalahkan

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, kelompok Yehova merupakan kelompok minoritas yang harus dilindungi. Ia pun mengingatkan bahwa para penganut aliran ini memiliki hak untuk berkumpul dan hidup di Indonesia. Namun harus ditangani dengan baik bila melawan hukum.

Dalam peristiwa ini, Halili menekankan bahwa anak tidak bisa disalahkan. Ia menyampaikan bahwa anak-anak berusia 12 tahun tidak mungkin bertindak tanpa pengaruh tertentu. Artinya, perilaku tersebut bukan atas kesengajaan mereka.

Halili pun menyampaikan bahwa anak merupakan korban dari sebuah sistem yang lebih besar.

Ia menyampaikan, jika sekolah dan dinas pendidikan memutuskan untuk mengeluarkan anak tersebut dari sekolah, maka anak tersebut menjadi korban dua kali. Sebab kata Halili, pendidikan merupakan hak anak.

“Sekolah seharusnya mampu menangani masalah sendiri dan tidak perlu sampai mengeluarkan sang anak dari sekolah,” ujar Halili kepada Tirto.

“Anak-anak ini sudah menjadi korban, sekolah seharusnya memberikan misalnya konseling atau pendampingan kepada yang bersangkutan,” tambahnya.

Sekolah Harus Perhatikan Pola Pendampingan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pun mengkritik langkah Dinas Pendidikan Kota Batam. Wasekjen FSGI, Satriawan Salim menyarankan, sekolah harus mengedepankan mediasi dan pembinaan.

Meski sekolah telah melakukan pertemuan dengan pihak orang tua, Satriawan juga meminta kepada sekolah untuk melibatkan rohaniawan. Sebab kata dia, anak yang dikeluarkan tersebut menganut kepercayaan Yehova.

Satriawan mengatakan, aliran Yehova tak hanya ada di Batam, tetapi juga di luar Batam. Ia pun menyebut bahwa FSGI Jakarta pernah menerima siswa SMA yang menganut kepercayaan Yehova. Kata Satriawan, kepercayaan tersebut memang menolak hormat kepada simbol negara.

“Persoalannya bagaimana pola pembinaannya? Yang penting hak-hak anak itu terpenuhi. Misalnya begini, apakah sudah terjadi mediasi atau pembinaan dari KPAD dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah, kemudian dari Dinas Pendidikan? Nah, ini termasuk dari pendeta [pemuka agama],” kata Satriawan kepada reporter Tirto, Jumat (29/11/2019).

Satriawan pun menuturkan, pemerintah harus menjamin hak anak setelah mereka dikeluarkan dari sekolah. Salah satu solusinya yakni memperkenankan siswa tersebut mengikuti sekolah mandiri (homeschooling) atau sekolah kejar paket.

“Artinya hak di untuk mendapatkan pendidikan karena hak untuk mendapat pendidikan merupakan hak asasi manusia yang ada di dalam UUD 1945, itu harus dipenuhi negara terhadap anak tersebut,” tandasnya.

Dalam UUD 1945, ada beberapa pasal yang menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan, yakni pasal 28C ayat (1), pasal 28E ayat (1), dan pasal 31.

Berdasarkan UUD 1945 pasal 28C ayat (1), setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Ayat tersebut diperkuat dengan pasal 28E ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Selain itu, hak anak untuk mendapatkan pendidikan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlidungan Anak, dalam Pasal 9 ayat (1) tertulis bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.

Baca juga artikel terkait SISWA SMP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Widia Primastika