Menuju konten utama

Anak Muda Gemar Pakai Telehealth tapi Cemas soal Keamanan Data

Konsultasi ke dokter kini tak harus dilakukan lewat rumah sakit, tapi bisa juga hanya dengan merogoh gawai di kantong. Apa kekurangannya?

Anak Muda Gemar Pakai Telehealth tapi Cemas soal Keamanan Data
Ilustrasi dokter. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Segala aspek kehidupan seolah bisa digenggam hanya dengan satu tangan di era serba digital saat ini. Dari segi kesehatan misalnya, konsultasi ke dokter kini tak harus dilakukan lewat rumah sakit, tapi bisa juga hanya dengan merogoh gawai di kantong.

Tinggal memencet suatu aplikasi layanan kesehatan, maka masyarakat sudah bisa terhubung dengan dokter maupun memesan obat. Survei GDP Venture terbaru memotret perilaku anak muda dalam memanfaatkan aplikasi layanan kesehatan ini.

Jajak pendapat yang dilakukan perusahaan itu selama 30 November - 7 Desember 2024 menemukan, sebanyak 69 persen dari 1.762 responden kini memanfaatkan layanan telehealth, dengan sebagian besar menggunakan lebih dari satu aplikasi.

Aplikasi yang dimaksud contohnya Halodoc, Alodokter, KlikDokter, dan lain-lain. Alasannya, mayoritas responden bilang, mereka jadi tak perlu antri. Layanan daring seperti ini juga dirasa fleksibel dan hemat biaya transportasi.

Tak hanya untuk konsultasi kesehatan, para responden mengaku mereka juga menggunakan telehealth untuk konsultasi gizi dan edukasi hidup sehat. Mengenai demografi responden, warga yang terlibat dalam survei mayoritas berusia 18 - 24 tahun (53 persen), menyusul mereka yang berumur 25 - 30 tahun (34 persen), 21 - 34 tahun (11 persen), dan di atas 35 tahun (1 persen).

Responden masih didominasi oleh mereka yang tinggal di Jabodetabek (31 persen), namun ada juga yang berasal dari Jawa Barat (19 persen), Jawa Tengah dan DIY (15 persen), Jawa Timur (14 persen), Sumatera (10 persen), Kalimantan (5 persen), dan Sulawesi (4 persen).

Temuan selaras juga diungkap oleh survei Katadata Insight Center (KIC) pada 2022. Dengan hasil yang tak jauh berbeda, laporan itu menemukan, sebanyak 67,2 persen dari 2.108 responden Indonesia pernah menggunakan layanan telemedik.

Pengguna telemedik itu mencakup pengguna layanan konsultasi online dengan dokter, baik melalui layanan online dari rumah sakit/klinik, maupun menggunakan aplikasi digital pihak ketiga.

“Telemedik lebih banyak digunakan oleh laki-laki, Milenial, SES [status sosial ekonomi] Menengah, serta domisili wilayah Jawa. Lalu mereka yang memiliki jarak cukup dekat dengan Puskesmas dan punya tempat berobat langganan, juga banyak menggunakan telemedik,” tulis KIC dalam laporannya.

Mengingat saat periode survei merupakan masa-masa pandemi COVID-19, selain menghemat waktu, kebanyakan responden jajak pendapat tersebut juga mengaku menggunakan telemedik untuk mencegah penularan COVID-19. Alasan populer lain mencakup penggunaan yang fleksibel, bisa menghemat biaya transportasi, dan membantu dalam kondisi darurat.

Survei KIC ini paling banyak diikuti oleh responden Gen Y (23 - 38 tahun), di mana persentasenya mencapai 51,2 persen, kemudian mengikuti Gen Z (16 - 22 tahun) sebanyak 31,7 persen, dan Gen X & Boomer (di atas 39 Tahun) sebesar 17,1 persen.

Lebih Nyaman Konsultasi di Ruang Digital

Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, beranggapan maraknya penggunaan telehealth di kalangan anak muda disebabkan oleh pengetahuan digital yang lebih mumpuni. Dengan begitu, buat anak muda, melakukan konsultasi di ruang digital bikin mereka merasa jauh lebih nyaman. Grace juga melihat pemanfaatan telehealth erat kaitannya dengan mereka yang punya akses terhadap internet.

“Kalau menurut saya bahwa memang karena dengan telehealth ini sebenarnya kita membantu akses kesehatan karena jelas mereka-mereka yang tadinya jauh dari pusat akses kesehatan itu jadi punya akses yang lebih banyak. Kalau saya melihat ini lebih ke arah kita jadi punya alternatif akses ya. Selain datang berkonsultasi offline langsung kepada fasilitas kesehatan gitu,” katanya ketika dihubungi Tirto, Jumat (24/1/2025).

Populernya penggunaan telehealth dinilai Grace kini tak hanya digunakan saat sakit, melainkan juga meluas ke arah wellness dan pencegahan, seperti konsultasi gizi yang populer disebut responden dalam survei.

“Dengan adanya akses telehealth ini mereka lebih bisa mudah konsultasi untuk prevention, jadi lebih bagus. Tapi mungkin juga karena jadi lebih nyaman ya kalau emang berdiskusi untuk hal-hal yang prevention ini [di ruang digital],” ujar Grace.

Sejumlah aplikasi telemedik, seperti Halodoc bahkan juga menawarkan layanan yang tak hanya soal kesehatan fisik, tapi juga menghadirkan layanan konsultasi jiwa dengan psikolog maupun psikiater, demikian dikutip Antara.

Meski positif, semakin populernya layanan psikolog secara daring bak pisau bermata dua. Menurut Grace, absennya lembaga yang mengawasi hal ini bikin beberapa pihak memanfaatkan konsultasi online meski tak punya basis pemberian konsultasi kesehatan mental, alias tak tersertifikasi.

“Tapi saya belum melihat ya kemudian proteksinya secara sistem apa gitu. Karena sudah sering kejadian gitu ya, terus kemudian nasihatnya ngawur, malah berimbasnya malah berkebalikan. Apalagi ini isunya mental health,” kata Grace.

Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, juga menyatakan bahwa telehealth bisa menjadi solusi untuk isu kesehatan mental bagi mereka yang ingin tidak bertemu banyak orang.

Di sisi lain, ia juga menyoroti soal bagaimana telehealth bisa menjadi opsi bagi masyarakat yang tak terjangkau fasilitas kesehatan (faskes).

Menurut Narila, dibanding jumlah penduduk, puskesmas sudah cukup banyak. Tapi, yang menjadi isu bukan hanya jumlah, tapi juga aksesibilitasnya. Apakah sudah sama, merata, dan mudah untuk setiap daerah. Sebab, hal ini yang membuat seringkali terjadi penumpukan di faskes terutama dengan menggunakan jaminan kesehatan seperti BPJS.

“Akhirnya kalau orang yang waktunya gak banyak, malas ngantri, atau tempat [faskes]nya jauh, mereka punya opsi pakai telehealth. Apalagi anak muda, maunya sat set sat set kan. Efektif efisien dari segi waktu dan biaya sehingga ya udah pake telehealth aja lah,” kata Narila.

Khawatir soal Diagnosis dan Kebocoran Data

Penggunaan telehealth nyatanya juga diwarnai oleh kekhawatiran. Survei GDP Venture menemukan, sebagian besar responden, atau sebanyak 52 persen menyatakan mereka takut adanya diagnosis yang tidak sesuai. Hal lain yang juga menjadi kecemasan publik adalah soal kenyamanan interaksi secara tatap muka, perihal data pribadi, dan perubahan jadwal dokter.

Begitu pula dengan jajak pendapat KIC yang mengungkap temuan senada. Dari sekira 12 indikator yang dinilai responden soal penggunaan telehealth, aspek yang memiliki skor terendah yakni promo/diskon, dan ketepatan diagnosis. Selain itu, persentase penilaian kurang baik juga tampak besar pada aspek kemudahan penggunaan tools, jaminan kerahasiaan data pribadi dan catatan medis, serta kemudahan mengunggah dokumen penunjang.

Melihat temuan ini, Grace mengamini adanya keterbatasan diagnosis dalam telehealth, sebab seringkali pemeriksaan hanya dilakukan via pesan teks. Dengan demikian hal itu mesti dilengkapi oleh pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan lainnya.

“Kadang-kadang ada telehealth yang pakai chat aja, nah terus setiap kali chat nanti putus sinyalnya, ganti orang lagi. Jadi harus cerita lagi dari awal gitu kan. Nah itu kan lama-lama orang ditanya-tanya terus jadi bingung atau malas,” kata Grace.

Grace menyampaikan kalau masyarakat perlu mengingat telehealth itu mungkin memang bukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. Dengan begitu, publik perlu menaksir penyakit mana yang bisa di-screening lewat telehealth. Jadi, tahapnya itu memang telehealth hanya screening, kemudian harus dilanjutkan dengan ke janji temu dokter di rumah sakit.

“Nah itu proses itu juga memang harus dipahami dan yang punya platform juga harus menyadari itu dan punya responsibility ya. Mungkin harus ada klausulnya [di aplikasi], saya tidak menawarkan bahwa apa yang dianjurkan oleh dokter itu misalnya pasti sembuh gitu kan, pasti tepat diagnosisnya,” lanjut Grace.

Menyoal kebocoran data, Grace menyampaikan bahwa data kesehatan memang belum jelas mesti dilaporkan ke mana jika terjadi kebocoran.

“Kalau finance mungkin bisa ke OJK gitu kan, nah kalau dalam konteks kesehatan kemana? apakah ke Kementerian Kesehatan atau Komdigi gitu, nah itu masih belum ada induknya untuk data kesehatan ini, itu mungkin juga PR juga sih,” katanya.

Narila dari IAKMI berpendapat bahwa yang dibutuhkan jika bicara soal kebocoran data adalah literasi digital yang baik. Menurutnya, penyedia layanan tentu harus memastikan keamanan data-data pengguna telehealth agar tidak mudah diretas dan pengguna layanan telehealth/telemedicine juga perlu memahami kebijakan privasi yang diberikan.

Artinya, persoalan ini mesti dipenuhi oleh kedua pihak. Penyedia layanan memang harus memberikan perlindungan data pengguna, menggunakan enkripsi end-to-end, mematuhi regulasi tentang perlindungan data pribadi dan melakukan maintenance berkala untuk mencegah kebocoran data. Sementara pengguna kudu memahami secara jelas kebijakan privasi.

“Artinya adanya kekhawatiran itu wajar tapi bukan berarti telehealth tidak menjanjikan untuk digunakan. Bisa dikembangkan terus dan bisa menjadi satu opsi untuk mengisi kesenjangan dalam pemenuhan layanan kesehatan untuk masyarakat,” ujar Narila.

Baca juga artikel terkait TELEMEDICINE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang