Menuju konten utama

Ambisi Besar Penerapan AI di Pemerintahan, Sudah Siapkah?

Regulasi menjadi faktor krusial dalam memastikan bahwa penerapan AI di pemerintahan tidak berujung pada penyalahgunaan.

Ambisi Besar Penerapan AI di Pemerintahan, Sudah Siapkah?
Ilustrasi Artificial Intelligence. foto/istockphoto

tirto.id - Penerapan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di berbagai sektor pemerintahan telah menjadi salah satu agenda besar yang terus didorong atas nama transformasi digital. Terlebih pemerintah melihat AI saat ini sebagai katalis utama dalam meningkatkan efisiensi birokrasi, memperkuat layanan publik, hingga mempercepat pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi.

Dari sistem administrasi yang lebih cepat, analisis data yang lebih akurat, hingga otomatisasi berbagai tugas pemerintahan, AI diyakini akan membawa Indonesia menuju era digital yang lebih maju. Keyakinan ini yang akhirnya membuat pemerintah pusat dan daerah berambisi atau berlomba untuk menerapkan AI di berbagai sektor lingkungan pemerintahan masing-masing.

Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU) adalah salah satu yang mendorong penggunaan teknologi AI untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang efektif, efisien dan berkelanjutan. Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggodo, menyatakan bahwa AI sudah digunakan dalam pelaksanaan pembangunan kendati masih terbatas.

Kementerian PU melalui Direktorat Jenderal Bina Marga menerapkan pemanfaatan AI dengan mengeluarkan SE Direktur Jenderal Bina Marga Nomor 16/SE/Db/2024 tentang Pedoman Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) Untuk Pemantauan Kondisi Permukaan Jalan.

Dengan adanya pedoman tersebut, melalui pendekatan berbasis AI, maka diharapkan dapat diwujudkan jaringan jalan yang lebih andal, efisien, dan berkelanjutan, demi pelayanan terbaik bagi masyarakat dan peningkatan perekonomian nasional dalam jangka panjang.

Penerapan AI juga akan dimanfaatkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, menginginkan teknologi kecerdasan buatan dapat diterapkan secara bertahap dalam pelaksanaan program-program kerja di bawah naungan kementeriannya. Namun dalam implementasinya, pihaknya tetap akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital untuk merancang penerapan teknologi tersebut.

"Kita akan pelan-pelan, bertahap, hati-hati, dan terus melibatkan Kementerian Komunikasi dan Digital di berbagai sektor," kata Muhaimin mengutip Antara.

Muhaimin Iskandar

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar mengatakan pemerintah akan membagikan bantuan khusus, bagi penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem berdasarkan data tunggal sosial ekonomi nasionaldi kantornya, Kamis (30/1/2025). Tirto.id/Auliya Umayna

Namun, seiring dengan ambisi besar pemerintah mengadopsi teknologi AI, muncul pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana kesiapan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi revolusi AI. Baik dari aspek regulasi, talenta digital, hingga mitigasi risiko yang mungkin timbul akibat pemanfaatan teknologi ini secara masif.

Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC, Pratama Persadha, melihat salah satu tantangan terbesar dalam penerapan AI di Indonesia saat ini adalah kesiapan Sumber Daya Manusia. Meskipun pemerintah telah mencanangkan berbagai program pengembangan talenta digital, jumlah tenaga ahli AI yang benar-benar mumpuni masih sangat terbatas.

Bahkan menurut dia, sekalipun universitas dan lembaga pendidikan mulai menawarkan program studi terkait AI, namun kecepatan pertumbuhan kebutuhan tenaga kerja di bidang ini jauh melampaui jumlah lulusan yang tersedia. Akibatnya, banyak instansi pemerintah dan perusahaan akhirnya mengadopsi teknologi AI tanpa memiliki tenaga ahli yang cukup untuk memahami atau mengelolanya secara efektif.

“Tanpa dukungan SDM yang memadai, pemanfaatan AI berisiko tinggi mengalami kegagalan, baik dalam hal implementasi maupun dalam mengantisipasi dampak negatifnya,” jelas dia kepada Tirto, Jumat (14/2/2025).

Selain masalah talenta digital, regulasi juga menjadi faktor krusial dalam memastikan bahwa penerapan AI tidak berujung pada penyalahgunaan atau bahkan potensi kerugian negara. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang secara komprehensif mengatur penggunaan AI.

Kebijakan yang ada, kini masih berfokus pada perlindungan data pribadi dan keamanan siber, yang meskipun relevan, belum cukup untuk mengakomodasi kompleksitas AI dalam skala besar. Tanpa regulasi yang jelas, penggunaan AI di sektor pemerintahan bisa menjadi ladang bagi praktik yang tidak bertanggung jawab, termasuk bias algoritma dalam pengambilan keputusan, penyalahgunaan data warga negara, hingga ketergantungan pada teknologi asing tanpa mekanisme kontrol yang memadai.

Ketidaksiapan regulasi, menurut Pratama, juga membuka celah bagi berbagai ancaman dan bahaya dari penerapan AI. Salah satu risiko terbesar adalah manipulasi data dan keputusan berbasis AI yang dapat digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Dalam sistem pemerintahan yang semakin terdigitalisasi, keputusan berbasis AI dapat berpengaruh langsung terhadap kebijakan publik, dari alokasi anggaran hingga sistem peradilan.

“Jika algoritma yang digunakan tidak diawasi dengan ketat, potensi manipulasi atau kesalahan yang merugikan masyarakat menjadi sangat tinggi,” kata dia.

Dengan berbagai tantangan di atas, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, pun ragu teknologi AI ini bisa diterapkan di pemerintahan untuk saat ini. Mengingat masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Teknologi virtual reality (VR) saja, kata Huda, yang digadang-gadang akan dilakukan untuk proses pelayanan publik, sampai sekarang belum ada realisasinya. PR utamanya adalah meningkatkan kualitas infrastruktur digital di pemerintahan. Infrastruktur digital ini termasuk data storage yang masih saja bermasalah.

“Pusat Data Nasional masih bisa dibobol, infrastruktur internet yang tidak stabil, itu dahulu yang diselesaikan,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (14/2/2025).

Masalah sumber daya manusia yang masih tertinggal juga masih menjadi masalah. Huda ragu ASN siap dengan penerapan AI di sektor pemerintahan. Pemerintah tidak boleh tutup mata akan kekurangan-kekurangan ini. Mengingat ini adalah masalah dasar harus diselesaikan terlebih dahulu.

“Yang tidak kalah penting adalah aturan pengembangan AI yang masih belum prudent. Aturan yang tidak prudent bisa menimbulkan dampak negatif dari pengembangan AI. Bagaimana kebijakan perlindungan data, hingga pemanfaatan AI yang masih mengambang,” jelas dia.

Indonesia Bisa Mencontoh Negara-Negara Lain

Seiring dengan pesatnya perkembangan AI, Indonesia semestinya belajar dengan berbagai yang lebih dulu merumuskan dan menerapkan regulasi untuk memastikan penggunaan teknologi ini secara etis dan aman. Namun, pendekatan terhadap regulasi AI berbeda-beda di setiap negara, mencerminkan perbedaan budaya, sistem hukum, dan prioritas nasional.

Uni Eropa (UE) berada di garis depan dalam upaya mengatur AI melalui proposal Artificial Intelligence Act (AI Act). Regulasi ini bertujuan untuk mengklasifikasikan aplikasi AI berdasarkan tingkat risikonya, mulai dari risiko minimal hingga tinggi, dan menetapkan persyaratan yang sesuai untuk setiap kategori.

“Pendekatan ini menekankan pada transparansi, keamanan, dan hak asasi manusia, dengan tujuan memastikan bahwa teknologi AI digunakan untuk kepentingan masyarakat luas,” ujar Pratama Persadha.

Di Amerika Serikat, pendekatan terhadap regulasi AI lebih terfragmentasi. Alih-alih memiliki kerangka kerja federal yang komprehensif, beberapa negara bagian seperti California dan Colorado telah memberlakukan undang-undang mereka sendiri terkait penggunaan AI.

Selain itu, pada 2023, Presiden Joe Biden mengeluarkan perintah eksekutif yang menetapkan pendekatan regulasi AI, meskipun kemudian dicabut oleh pemerintahan berikutnya. Pendekatan yang beragam ini mencerminkan dinamika politik dan perbedaan pandangan tentang bagaimana sebaiknya AI diatur di tingkat nasional.

Sedangkan Cina telah mengambil langkah proaktif dengan menerapkan peraturan sementara yang mengatur penggunaan AI. Negara ini menekankan pada transparansi dan perlindungan terhadap teknologi seperti Deepfake.

Ambisi Tiongkok Kuasai AI

Ambisi Tiongkok Kuasai AI. foto/istockphoto

Regulasi tersebut mengharuskan AI untuk mematuhi dan menghormati kepentingan pribadi dan bisnis, serta tidak menggunakan informasi pribadi tanpa izin. Pendekatan ini menunjukkan upaya Cina untuk menyeimbangkan antara inovasi teknologi dan perlindungan privasi warganya.

Sementara negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, Brasil, dan Kanada juga sedang mengembangkan regulasi AI mereka sendiri, dengan fokus pada aspek-aspek seperti transparansi dan akuntabilitas. Misalnya, Jepang telah merilis prinsip-prinsip tentang penggunaan AI yang berpusat pada kepentingan manusia sejak tahun 2019, menekankan pentingnya etika dalam pengembangan dan penerapan teknologi ini.

Di Indonesia, meskipun belum ada regulasi khusus yang mengatur AI, pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan kerangka kerja yang relevan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi dasar hukum yang relevan dalam konteks penggunaan AI.

Di sisi lain, pemerintah juga sedang menyiapkan pengaturan mengenai pemanfaatan teknologi AI yang lebih solid. Hal itu ditujukkan agar menjadi kerangka hukum untuk memastikan pemanfaatan AI yang bertanggung jawab dan menguntungkan bagi seluruh masyarakat.

“Kita akan mengembangkan prinsip-prinsip pengembangan dan penggunaan AI ini agar nanti bisa diadopsi secara vertikal oleh masing-masing sektor, baik pendidikan, kesehatan, sarana, financial services," ujar Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria.

Hanya saja, perlu menjadi catatan Pemerintah Indonesia harus memahami bahwa penerapan AI tidak bisa dilakukan secara ugal-ugalan tanpa diiringi kebijakan yang matang. Perlu ada keseimbangan antara inovasi dan regulasi, antara percepatan digitalisasi dan perlindungan terhadap risiko yang menyertainya.

“Langkah yang harus diambil tidak hanya sekedar mengadopsi AI, tetapi juga membangun ekosistem yang mendukung pemanfaatan teknologi ini secara etis, aman, dan bertanggung jawab,” jelas dia.

CEO Phire Studio, Henke Yunkins, menambahkan pemanfaatan AI secara ugal-ugalan tanpa diiringi regulasi meningkatkan potensi penyalahgunaan hingga kerugian negara. Maka ke depan perlu dilakukan tata kelola, tetapi bukan berarti harus membuat regulasi AI secara terburu-buru hanya untuk menangani risiko penyalahgunaan.

“Fokus utama sebaiknya pada pemanfaatan regulasi yang sudah ada untuk menangani dampak negatif AI, sambil mendorong pertumbuhan ekosistem AI di Indonesia,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (14/2/2025).

Maka, pendekatan yang bisa diterapkan adalah sectoral and risk-based regulation, di mana aturan dibuat berdasarkan risiko penggunaan AI di sektor tertentu. Misalnya, AI dalam layanan keuangan dan kesehatan yang berdampak besar pada masyarakat bisa memiliki standar tata kelola yang lebih ketat dibandingkan AI dalam sektor pariwisata atau edukasi yang basis risikonya lebih rendah.

Selain itu, penerapan soft governance seperti panduan etika, standar industri, dan pengujian transparansi dapat menjadi solusi yang lebih fleksibel dan adaptif dalam menghadapi perkembangan teknologi AI yang cepat. Contohnya, Singapura mengembangkan AI Verify Toolkit, alat yang membantu perusahaan mengaudit AI mereka secara mandiri untuk mendeteksi bias atau potensi penyalahgunaan. Pendekatan seperti ini bisa diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan akuntabilitas AI tanpa menghambat inovasi.

Namun paling penting adalah, jika sampai diterbitkan regulasi AI di Indonesia, terutama karena AI ekosistem di Indonesia yang masih dini, harus bersifat enabling, adaptif dan tidak menjadi penghalang bagi startup serta UKM yang ingin memanfaatkan AI.

“Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia bisa menyeimbangkan inovasi dan perlindungan publik tanpa perlu membatasi pertumbuhan ekosistem AI yang masih dalam tahap awal,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang