Menuju konten utama
Decode

Pusat Data di Seberang Lautan, Risiko di Pelupuk Mata

Apa saja risiko data pribadi yang disimpan di pusat data yang berlokasi di luar negeri?

Pusat Data di Seberang Lautan, Risiko di Pelupuk Mata
Header Periksa Data Urgensi Menarik Pusat Data ke Dalam negeri. tirto.id/Fuad

tirto.id - Penyimpanan data penting di server luar negeri menimbulkan kekhawatiran terkait keamanan data dan kedaulatan digital. Meskipun ada aturan yang mengizinkan penggunaan server asing, banyak pihak mendorong agar data sensitif tetap disimpan di dalam negeri demi penegakkan hukum yang lebih mudah dan keamanan siber yang lebih baik.

Keberadaan pusat data (data center) menjadi salah satu sorotan di tengah berbagai kasus yang berkaitan dengan data pribadi di Indonesia. Pasalnya, lokasi dari data center dilihat berkaitan dengan keamanan pengelolaan data pribadi.

Salah satu kasus yang berkaitan dengan hal ini adalah sistem penghitungan suara di Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), yang oleh banyak pihak, dinilai penuh anomali. Terutama sistem Sirekap dan pemilu2024.kpu.go.id.

Pasalnya, menurut temuan Cyberity, komunitas yang berfokus pada isu keamanan siber, sistem pemilu2024.kpu.go.id dan sirekap-web.kpu.go.id menggunakan layanan cloud yang lokasi server-nya berada di Republik Rakyat Tiongkok, Prancis, dan Singapura.

Menurut Cyberity, data penting seperti data pemilu seharusnya disimpan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang akan berlaku penuh pada Oktober 2024 ini.

Perlu diketahui bahwa pihak KPU kemudian membantah temuan dari Cyberity. Mereka menegaskan, situs Sirekap dikembangkan dan merujuk ke regulasi-regulasi yang ada. Sirekap juga disebut tidak memuat data pribadi. Meski begitu, pihak KPU tidak menampik kalau jaringan Sirekap terhubung dengan banyak negara. Hal ini untuk menunjang kinerja situs yang lebih cepat lewat jaringan yang dimaksud.

Namun, apakah itu data center? Dan mengapa ada urgensi data center sebaiknya berlokasi di dalam negeri, menyusul berlaku penuhnya UU PDP?

Apa Itu Data Center?

Merujuk pada pengertian yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, data center adalah fasilitas yang digunakan untuk menempatkan sistem elektronik dan komponen terkaitnya, untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data.

Lain lagi, perusahaan teknologi kenamaan asal Amerika Serikat, International Business Machine Corporation (IBM), mendeskripsikan data center sebagai ruangan, bangunan, atau fasilitas fisik yang menampung infrastruktur teknologi informasi untuk membangun, menjalankan, dan menyediakan aplikasi serta layanan.

Adapun sejumlah komponen yang menyusun pusat data bisa mencakup router, switch, firewall, sistem penyimpanan (storage), server, dan pengontrol pengiriman aplikasi.

Asosiasi Penyelenggara Data Center Indonesia (Indonesia Data Center Provider Organization, IDPRO) menjelaskan, seiring dengan perkembangan zaman yang serba digital, keberadaan data center dalam kehidupan masyarakat juga menjadi semakin penting dan memberi pengaruh besar.

“Kalau dilihat dari sudut pandang makro, adanya transformasi digital yang masif di banyak instansi publik maupun sektor privat, (keberadaan) data center ini menjadi tulang punggung dari banyak digital platform, mulai dari pendidikan, kesehatan, keuangan, dan lain-lain,” terang Ketua Umum IDPRO, Hendra Suryakusuma, saat bincang dengan Tirto, Selasa (24/9/2024).

Hendra memaparkan, di Indonesia terdapat sekitar 100 penyedia layanan pusat data, namun yang tergabung dengan IDPRO sejauh ini ada 14 anggota. "Ini semua (anggota IDPRO) yang major data center, yang memiliki tier 3 certification dan rata-rata (kapasitas) di atas 2 megawatt ke atas," terangnya.

Pria yang juga menjabat sebagai CEO Greenex DC, perusahaan data center ramah lingkungan, ini menambahkan, dari 14 anggota yang ada saat ini, potensi kapasitas sebesar 250 megawatt (MW). Jika dibandingkan tahun 2016, saat pertama kali IDPRO berdiri, peningkatannya signifikan. Kala itu dengan enam anggota yang tergabung, kapasitas dari perusahaan yang tergabung dalam asosiasi baru sekitar 32 MW.

Tidak hanya peningkatan kapasitas, secara kualitas pun data center yang tergabung dalam IDPRO cenderung mapan. "Hampir semua anggota IDPRO itu sudah dapat sertifikasi Tier III atau rated 3 dari EPI,” tutur Hendra. EPI sendiri adalah perusahaan asal Benua Eropa yang menjadi badan sertifikasi untuk fasilitas dan operasi pusat data.

Dia menjelaskan, ada empat tingkatan atau tier fasilitas data center. Ada Tier 1 sampai Tier 4. Semakin tinggi tingkatnya, semakin baik ketahanan infrastrukturnya dan lebih andal.

Sederhananya, menurut Hendra, ketika sebuah data center masuk di Tier III/Rated 3 dari EPI, data center ini punya kemampuan untuk menjaga kualitas transfer data. "Jadi ketika terjadi maintenance untuk perangkat yang ada di data center itu, baik mechanical, electrical, ataupun cooling, tidak boleh menyebabkan downtime," terangnya.

Data Center Telkom

Data Center Telkom. FOTO/Internal Telkom

Apa Urgensi Pengalihan Pusat Data ke Dalam Negeri ?

Menuju berlaku penuhnya UU Perlindungan Data Pribadi pada Oktober 2024, pakar IT, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menyebut keberadaan UU PDP pada prinsipnya memang mendorong adanya pemusatan data center di dalam negeri.

Terkait penempatan pusat data, Heru menjelaskan bahwa PP Nomor 82 Tahun 2012, tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, mengamanatkan bahwa penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia.

Pasal 17 ayat 2 PP tersebut menjelaskan penempatan pusat data di Indonesia didasarkan atas kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.

Namun, kemudian PP tersebut direvisi menjadi PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang memberikan celah bagi penyelenggara sistem elektronik lingkup publik untuk menyimpan data di luar negeri.

Hal ini seperti yang termaktub dalam pasal 20 ayat 3 PP tersebut yang berbunyi, “Penyelenggara sistem elektronik lingkup publik dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan Sistem Elektronik dan Data Elektronik di luar wilayah Indonesia dalam hal teknologi penyimpanan tidak tersedia di dalam negeri.”

“Tentu (PP 71 Tahun 2019) perlu kita tinjau kembali. Karena kalau kita melihat UU PDP ini kan arahnya adalah bagaimana data yang dihasilkan orang Indonesia diproses di Indonesia kemudian juga disebarkan di Indonesia oleh orang Indonesia itu wajib ditempatkan di Indonesia,“ kata Heru kepada Tirto, Kamis (26/9/2024).

Data Pemerintah

Ilustrasi data yang diminta oleh pemerintah. Getty Images/iStockphoto

Heru menilai, kebijakan pemusatan data center di Indonesia merupakan sebuah keharusan karena merupakan amanat undang-undang. Meski, ia tak menampik adanya keresahan soal keamanan siber di Indonesia yang masih sering mengalami kebocoran.

“Misalnya data kita ditempatkan di negara lain, kita lebih tidak tahu data itu disalahgunakan, atau mungkin bagaimana diproses. Sementara, kalau di Indonesia ini kan paling tidak kita tahu data itu akan diapakan. Walaupun memang di sisi lain juga keamanannya perlu ditingkatkan, kemudian juga perlindungan datanya juga perlu diawasi,” lanjut Heru.

Hendra dari IDPRO juga menyebut pihaknya sangat mendukung upaya mendorong regulasi onshoringdata center. Istilah ini berarti alih daya domestik, atau sederhanya memindahkan pusat data perusahaan yang beroperasi di Indonesia dari luar ke dalam negeri.

Dia menjabarkan setidaknya ada lima keuntungan dengan melakukan onshoring data center. Pertama dari segi penegakan hukum.

“Misalnya ini terkait dengan insiden data kita di-breach ternyata server-nya ada di luar negeri gitu, kalau terjadi seperti itu dan tidak ada perjanjian yurisdiksi antara dua negara ini ekstradisi maka proses investigasi dari penegak hukum kita kan jadinya sulit. Intinya sih dengan adanya data center di Indonesia upaya penegak hukum jadi lebih mudah,” terangnya.

Kedua, terkait operasinya, transfer data juga bisa menjadi lebih cepat karena latency-nya lebih baik. Ketiga, bertambahnya infrastruktur pusat data bisa membantu serapan produksi listrik yang dihasilkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang masih berlebih, terutama di Jawa-Bali.

Keuntungan keempat, pengalihdayaan pusat data ke Tanah Air, akan mendukung tumbuh kembang industri terkait pengembangan data center. Sejalan dengan hal itu, benefit kelima, peningkatan kapasitas dan kuantitas sumber daya manusia, terutama terkait manajemen operasional data center, cloud computing engineers, dan network engineers juga akan ikut.

Senada, akademisi dan praktisi hukum teknologi informasi dari Universitas Padjajaran, Danrivanto Budhijanto, juga menyinggung soal konsekuensi hukum dan keamanan jika instansi pemerintah atau perusahaan privat di Indonesia menyimpan data di data center luar negeri.

“Apabila kita bicara negara lain maka kita yang menaruh data di sana, harus tunduk pada undang-undang perlindungan data di sana. Dia (negara tersebut) punya hak untuk melakukan apapun apabila terkait keamanan di sana.” terangnya kepada Tirto, Rabu (25/9/2024)

Sebagai informasi, dari sisi pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Hadi Tjahjanto, mengatakan, pemerintah akan memprioritaskan pembangunan pusat data nasional (PDN) demi memperkuat kedaulatan digital nasional sekaligus menggantikan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) yang sempat diserang ransomware.

Demi mewujudkan penyimpanan data milik masyarakat yang terpusat secara nasional. pemerintah sendiri akan membangun 3 PDN yang terletak di dalam negeri, yakni PDN Batam, Cikarang dan di IKN Nusantara.

Tidak Buru-Buru?

Meski melihat urgensinya, Danrivanto menilai pemerintah dan pelaku industri tidak perlu terburu-buru untuk segera melakukan pemusatan data center di dalam negeri. Menurutnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari segi kesiapan sumber daya manusia (SDM) dan teknis infrastruktur data center yang ada di Indonesia.

“Mau di Indonesia atau di luar negeri kalau dia tingkat security-nya kemudian data protection dalam pengertian firewall-nya, maupun backup-nya itu tidak mengikuti standar yang seharusnya dia mau taruh di manapun tetap itu memiliki risiko,” lanjutnya

Dalam konteks pencegahan risiko pencurian dan kebocoran data, Danrivanto menilai lebih penting untuk memikirkan aspek mitigasi dan recovery sebagai pilar utama dari pusat data tersebut. Jika memang ada wacana untuk melakukan pemusatan data center di Indonesia, menurutnya itu sebaiknya dilakukan secara bertahap.

“Jadi, tahap pertama, kalau belum sanggup, jangan dipaksakan. Bertahap nanti pelan-pelan yang tadinya 100 persen di luar, menjadi 50 persen di Indonesia kemudian lama-lama 75 persen dan 100 persen di Indonesia,” tambah dia.

Danrivanto, yang juga menjadi anggota tim pemerintah dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menceritakan, keputusan menyimpan data di data di luar negeri bukan berarti kompetensi data center yang ada di Indonesia buruk.

Ia menyoroti jumlah data center di Indonesia yang belum mencukupi untuk melayani semua instansi pemerintah dan perusahaan privat untuk menyimpan datanya. Hal ini disebabkan membangun data center membutuhkan investasi yang besar dan harus didukung dengan kualitas infrastruktur tinggi.

Hal ini berimbas pada pertumbuhan ekosistem dan industri data center di Indonesia tidak semasif industri lain.

“Apakah data center di Indonesia itu sanggup? Sanggup. Tapi kalau swasta dan nasional atau layanan pemerintahan dan layanan kenegaraan mau semuanya pakai data center dengan kualitas Tier 4 di Indonesia, waduh, lumayan berat itu. Data Center di Indonesia yang memiliki kualitas tinggi belum cukup,” ujar Danrivanto.

Senada, dalam satu kesempatan, Presiden Direktur and Founder PT DCI Indonesia Otto Toto Sugiri, melihat kebutuhan data center di Indonesia masih sangat besar karena masih relatif tertinggal dari sisi kapasitas dibanding negara tetangga.

Sebagai informasi, DCI Indonesia merupakan pelaku bisnis data center asal Indonesia yang saat ini mengoperasikan data center terbesar se-Asia Tenggara.

Tak heran, salah satu perusahaan teknologi terbesar di Indonesia, Blibli, alias PT Global Digital Niaga Tbk., menyebut bahwa perusahaan ini memiliki data center yang terletak di Indonesia dan di luar Indonesia. Pendekatan data center di dalam dan luar negeri diambil untuk memberi layanan yang terbaik bagi pelanggan, menurut perusahaan ini.

"Saat ini, Blibli memiliki data center yang terletak di berbagai lokasi strategis, termasuk di Indonesia dan luar Indonesia, dengan pertimbangan analisis risiko dan juga penyediaan infrastruktur maupun teknologi stack yang mumpuni dalam memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggan Blibli baik dari segi lokasi maupun kenyamanan serta berpedoman pada setiap regulasi dan praktik industri terbaik," begitu penjelasan Senior Vice President Infrastructure & Technical Support Blibli, Ongkowijoyo, lewat pesan tertulis kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).

Dalam menentukan penempatan lokasi data center, Blibli mengedepankan beberapa faktor utama, seperti aksesibilitas, stabilitas jaringan, kematangan infrastruktur dan teknologi, serta SDM yang dapat menunjang sistem yang digunakan.

Terkait penempatan lokasi data center, Blibli juga memperhatikan hal teknis seperti multiple availability zone, backup system, dan disaster recovery test.

"(Hal ini) untuk memastikan bahwa setiap tingkatan dalam organisasi dapat memulihkan operasi penting bilamana terjadi gangguan atau bencana yang mengganggu sistem, serta mempersiapkan seluruh tingkatan organisasi dalam menghadapi berbagai potensi gangguan dan menjaga kelangsungan operasional," tambah Ongkowijoyo.

Hal ini juga diakui oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi yang menyebut pengembangan potensi data center di Indonesia baru sebesar empat persen dari potensi nasional.

“Jadi kita akan mendukung pengembangan selanjutnya akan jalan terus karena potensinya masih baru empat persen dari potensi nasional. Pemenuhan kebutuhan data center di Indonesia masih baru sedikit jadi menurut saya potensi pasarnya masih sangat besar,” ujar Budi, seperti dikutip dalam situs Aptika Kominfo, Selasa (15/8/2023).

Padahal, menurut Menteri Budi baru-baru ini, industri pusat data atau data center menjadi salah satu penggerak utama ekonomi dan teknologi di masa depan. Peningkatan pertumbuhan industri pusat data menjadi bagian dari strategi percepatan transformasi digital nasional.

Guna memperkuat iklim investasi, meningkatkan persaingan usaha, dan menjawab kebutuhan publik melalui inovasi sektor industri pusat data, Budi Arie menyatakan, pemerintah akan memperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik untuk Lingkup Publik.

Menkominfo menyatakan, revisi terbatas terhadap regulasi yang ada diharapkan dapat meningkatkan kepastian hukum dalam beberapa norma kunci. Menurut Menteri Budi, penyusunan kebijakan yang ramah industri merupakan upaya menciptakan iklim persaingan usaha yang adil dan mendorong perkembangan industri yang lebih sehat.

"Ini mencakup klasifikasi data, akses sistem dan data elektronik untuk pengawasan dan penegakan hukum, serta fasilitas investasi terkait lahan, pasokan energi, dan energi hijau," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (11/9/2024).

Namun, menurut Hendra dari IDPRO, upaya menarik investor untuk membangun pusat data di Indonesia tidaklah mudah. Sebab perlu investasi yang nilainya tidak kecil. Sebagai gambaran untuk membangun infrastruktur data center, tiap 1 MW perlu dana sekitar 11 juta dolar AS. Nilai itu belum termasuk dengan biaya untuk tanah atau lahan.

Oleh karena itu, sangat wajar kalau investor akan mencari negara yang yang memiliki insentif yang lebih besar, juga pajak atau import duty yang lebih menguntungkan.

“Dari IDPRO kami masih melihat bahwa onshoring data center regulation itu penting untuk ditegakkan. Tapi di sisi lain, insentif yang diberikan untuk para pelaku industri data center –karena investment-nya besar dan efek domino terhadap pembangunannya ini juga luar biasa menguntungkan– jadi ini harusnya diberikan insentif lebih," katanya.

Selain itu, soal kepastian hukum dan regulasi, seperti misalnya import duty, juga disebut masih kerap mengganjal. Terakhir, dia menyinggung soal industri penunjang, dalam hal ini pasokan energi. Industri pusat data yang sangat banyak memerlukan energi listrik juga sebaiknya didukung ekosistem yang berkelanjutan. Hal ini terkait juga dengan kemudahan menjalankan usaha.

Namun, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, meyakini, hadirnya UU PDP dan pengaturan standar pengamanan data pribadi, akan memberikan dampak positif pada bisnis data center di Indonesia.

“Hal ini dapat mendorong peningkatan kualitas dan standar keamanan data center di Indonesia, sehingga memberikan perlindungan yang lebih baik bagi data-data sensitif,” katanya kepada Tirto, Rabu (25/9/2024).

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait UU PDP atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto & Alfitra Akbar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto & Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty