tirto.id - “Kejadian dua ibu yang menuntun anaknya terus meledakkan diri di parkiran gereja adalah tindakan yang tidak mungkin muncul dari orang memahami ajaran Islam dan tuntunan jihad, bahkan tidak mungkin muncul dari orang yang sehat akalnya. Begitu juga dengan kejadian seorang ayah yang membonceng anak kecilnya dan meledakkan diri di depan kantor polisi, qadarullah si anak terpental dan alhamdulillah si anak terpental masih hidup. Tindakan tersebut merupakan tindakan keji dengan dalih jihad dan hisab.”
Dua pernyataan itu muncul dari mulut dari Aman Abdurrahman, terdakwa kasus terorisme, saat membacakan nota pembelaan di Ruang Oemar Seno Aji, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat akhir pekan lalu, 28 Mei 2018.
Pernyataan Aman adalah hujjah untuk pengikutnya. Ia adalah ustaz yang disegani anggota Jamaah Anshar Daulah, organisasi yang didirikan Aman saat mendekam di balik jeruji besi Lapas Nusakambangan, Jawa Tengah, pada 2015.
Sambutan datang dengan cepat dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Hanya berselang beberapa saat selepas Aman mengucapkan pernyataan yang sebenarnya tak ia tuliskan dalam nota pembelaan setebal 60 halaman.
“Tolong nanti viralkan pernyataan Aman Abdurahman di sidang,” ujar Tito seperti dikutip Kompas.com.
Rekam Jejak Aman
Pernyataan Aman yang mengutuk aksi Dita Oeprianto dan pengebom berlatar JAD di Surabaya seolah menjadi antitesis dari sosok yang dikenal publik selama ini. Lelaki kelahiran Sumedang, 5 Januari 1972 ini lebih dikenal lantaran dirinya merupakan penganjur serangan bom Thamrin, Samarinda, Kampung Melayu, Bima, dan Medan.
Awalnya, Aman dikenal sebagai mubalig. Ia banyak memberi ceramah soal tauhid dan aqidah. Namanya mulai disangkutpautkan dengan terorisme saat terjadi ledakan di rumah kontrakannya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, pada 2004.
Bapak empat anak ini divonis hukuman tujuh tahun penjara lantaran dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dalam proses perakitan bom yang kemudian meledak di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, 21 Maret 2004; serta memiliki bahan peledak tanpa hak yang ditengarai dapat digunakan untuk aksi terorisme.
Aman kemudian mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Di dalam lapas, Aman sempat menerbitkan sebuah buku berjudul Seri Materi Tauhid yang terbit pada Februari 2008 atau Shafar 1429 Hijriah--buku ini belakangan menjadi rujukan sejumlah orang dan bahkan diunggah ke sejumlah situsweb.
Penjara tak juga berhasil mengerangkeng Aman. Ia semakin leluasa menerjemahkan sejumlah buku, salah satunya "Apakah Demokrasi Sejalan dengan Islam?" (PDF). Kemampuan bahasa Arab yang dimiliki Aman terbilang bagus lantaran dia penyandang gelar sarjana dari LIPIA.
Lebih kurang lima tahun mendekam di sel, Aman bebas. Lelaki yang menghabiskan masa kecilnya di Cimalaka, Sumedang ini kemudian mulai kembali terlibat dengan aktivitas jihadis. Dalam salinan vonis Mahkamah Agung terhadap Abu Bakar Ba’asyir, Aman ikut disebut sebagai salah satu donatur tadrib asykari (pelatihan militer) di perbukitan Jalin Jantho pada 2010.
Selain menyumbang dana, Aman juga menjanjikan mengirim sejumlah muridnya ikut dalam pelatihan yang dipimpin Abu Tholut, pemimpin Laskar Asykari Jamaah Ansyarut Tauhid (JAT). Kasus ini yang kemudian membawa Aman kembali ke tahanan.
Pada 20 Desember 2010, Aman pun divonis sembilan tahun penjara terkait kasus ini. Aman kemudian mendekam di jeruji Nusakambangan, Jawa Tengah, hingga 12 Agustus 2017.
Pada 12 Agustus itu, Aman seharusnya bebas setelah mendapat remisi 20 bulan kurungan. Belum sempat menyesap udara bebas, pemilik nama asli Oman Rahman ini kembali dibawa Densus 88 Antiteror ke Mako Brimob pada 18 Agustus 2017. Penangkapan terakhir ini yang saat ini membuatnya menjadi terdakwa. Ia dituduh menjadi otak di balik sejumlah serangan bom di Indonesia.
Sosok Ideolog dan Dihormati
Dalam laporan yang ditulis Detik.com pada 11 Februari 2016 yang berjudul "Merekrut ISIS dari Balik Jeruji," mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Saud Usman Nasution menyebut Aman sebagai orang pertama yang berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi ketika pemimpin teroris tersebut mendeklarasikan ISIS pada 29 Juni 2014. Aman juga menganjurkan para pengikutnya berangkat ke Suriah.
Menurut Solahudin, pengamat terorisme dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Aman adalah ideolog dan rujukan bagi kelompok Jamaah Anshar Daulah. Ia disegani lantaran pengetahuan agamanya dianggap paling tinggi.
“Dengan kata lain, dia adalah ideolognya JAD. Dia [juga] dikenal dengan sebutan Singa Tauhid,” kata Solahudin kepada Tirto, Selasa (29/5/2018).
Sejauh ini, Solahudin mengatakan, status Aman masih sangat berpengaruh. Ini terbukti saat insiden kerusuhan di Mako Brimob, Aman menjadi negosiator yang dipercayai polisi untuk meredam ‘keberingasan’ narapidana dan tahanan teroris di dalam Rutan Mako Brimob.
"Waktu kasus Brimob, mereka ingin ketemu dan dialog dengan Aman," ucap Solahudin.
Soal peran ini, Tirto sempat menurunkan artikel bertajuk ‘Rekaman Negosiasi Aman Abdurrahman & Wakil Tahanan Mako Brimob’. Aman diketahui meminta para pengikutnya untuk melunak dan menyerahkan diri. Meski begitu, tersurat dalam rekaman tersebut bahwa Aman tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Jihad Versi Aman
Menilik rekam jejak dan citra Aman, hujjah Aman di muka persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Akhmad Jaini menjadi terasa ganjil. Bagaimana seorang ideolog kelompok teroris bisa berkomentar soal bom Surabaya dengan nada kecaman?
Soal ini, Solahudin menyebut di dalam ISIS ada dua faksi pendapat soal jihad yang melibatkan anak dan perempuan. Sejak lama, kata dia, sebagian ulama jihadi menganggap jihad kaum perempuan adalah melahirkan dan naik haji. "Kelihatannya Aman mengambil pendapat ini," kata Solahudin.
Saat ini, Solahudin mengatakan bahwa ada revisi pandangan di kalangan ISIS yang membolehkan aksi kaum perempuan. Revisi pandangan ini tidak diketahui Aman lantaran ia sudah mendekam di sel isolasi setelah bom Thamrin 2016. "Dia enggak dapat update soal revisi itu," ucap Solahudin.
Pendapat Direktur Eksekutif Institute for Policy and Analysist Conflict (IPAC) Sidney Jones juga senada. Menurut Jones, kondisi ini mungkin terjadi lantaran sudah terjadi perpisahan ideologis. Sejak lama Aman berada di sel isolasi di Mako Brimob, sehingga sudah tak berkomunikasi lagi dengan narapidana dan tahanan terorisme yang kebanyakan merupakan pengikutnya.
“Sekarang mungkin sudah jelas, sudah terjadi semacam perpisahan secara ideologis antara Aman dengan yang lain,” kata Sidney kepada Tirto, Senin malam (28/5/2018).
Terjadinya perubahan sikap yang ditunjukkan Aman dianggap Jones biasa saja, lantaran sejak lama Aman merasa ada kesalahan tafsir yang dipahami pengikut dari tulisannya. “Tulisan Aman masih tetap dipakai sebagai justifikasi ISIS, walaupun menurut Aman sendiri [tulisan tersebut] disalahtafsirkan oleh beberapa pengikutnya.”
Salah satu tulisannya yang salah ditafsirkan, kata Jones, misalnya adalah tulisan dia yang menjadi justifikasi untuk membunuh polisi. Menurut Jones, Aman memberi batasan untuk serangan yang dilakukan terhadap polisi. Artinya, tak semua polisi bisa dikatakan sama salahnya dan halal darahnya. "Harus lihat latar belakang individunya [tiap-tiap polisi]," ucap Sidney.
Pendapat ini berbeda dengan kelompok garis keras di ISIS yang menyalahgunakan tulisannya. "Yang pakai tulisan Aman yang bilang semua polisi harus dibunuh." Simpangan tafsir atas buku Aman yang terjadi pada kelompok ISIS di Indonesia membuat sikap Aman dalam agenda pleidoi itu menjadi hal yang bisa dipahami.
Di depan majelis hakim, Aman bersuara dengan lantang soal pengeboman di Surabaya:
“Saya katakan orang-orang yang melakukannya, orang-orang yang merestuinya, orang-orang yang mengajarkannya atau menamakan jihad itu adalah orang yang sakit jiwanya dan frustrasi dengan kehidupan Islam. Walaupun saya mengkafirkan aparat pemerintah Indonesia dan aparaturnya, tapi ketahuilah, sampai detik ini saya dalam rekam-rekaman kajian, atau dalam tulisan yang disebarluaskan belum memberikan seruan atau ajaran kepada saudara-saudara kami yang hidup di masyarakat ini untuk mulai menyerang aparat keamanan.”
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Maulida Sri Handayani