Menuju konten utama

Alasan Kemenkes Masukkan Tembakau Zat Adiktif di RUU Kesehatan

Tembakau disetarakan dengan zat adiktif seperti narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol dalam draf RUU Kesehatan.

Alasan Kemenkes Masukkan Tembakau Zat Adiktif di RUU Kesehatan
Pekerja menjemur tembakau iris di Argo Wisata Kampung Tembakau, Desa Sukasari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (14/2/2018). ANTARA FOTO/Khairizal Maris

tirto.id - Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi menyatakan tembakau disetarakan dengan zat adiktif seperti narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol karena dampak bahaya merokok. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 154 Draf Rancangan Undang-Undang (RUU Kesehatan) Kesehatan.

Hal itu disampaikan Nadia menangapi penolakan dari para petani tembakau dan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Ketentuan tembakau sebagai zat adiktif dalam Omnibus Law RUU Kesehatan dinilai diskriminatif terhadap nasib mereka.

“Ini menjadi faktor risiko penyakit lain bukan hanya penyakit jantung atau kardiovaskuler tapi juga penyakit kanker atau penyakit kronik lainnya, dan pada akhirnya jadi beban ekonomi baik keluarga dan negara,” kata Nadia melalui pesan singkat kepada reporter Tirto, Kamis (13/4/2023).

Nadia menuturkan risiko kesehatan akibat merokok membuat penduduk produktif banyak yang tidak sehat dan membuat angka harapan hidup rendah.

“Walau bisa panjang umur tapi tidak sehat jadi ujungnya tidak produktif,” kata dia.

Meski begitu, Nadi bilang aturan ini tidak serta-merta membuat pemerintah tidak memedulikan atau angkat tangan terhadap nasib para petani tembakau.

“Tentunya banyak alternatif seperti misalnya pengalihan lahan tembakau, menambah keterampilan petani tembakau atau upaya lainnya untuk perlahan merubah atau alih pekerjaan,” ujarnya.

Nadia mengatakan Kemenkes RI bersama kementerian dan lembaga lain sudah melakukan upaya pembinaan dan memulai pembatasan penggunaan tembakau bahkan semenjak RUU Kesehatan belum dicanangkan.

Perwakilan asosiasi petani tembakau yang tergabung dalam Lembaga P3M (Perhimpunan dan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) menolak dan menuntut penghapusan beberapa poin dalam pasal 154 RUU Kesehatan.

P3M mengklaim RUU Kesehatan membuat para petani tembakau dan ekosistem IHT mendapatkan stigma penguras dana kesehatan atau penyebab kematian.

“Namun lebih parahnya akan mendapat label sebagai pelaku kriminal, layaknya para penanam ganja, pemakai atau bahkan pengedar narkoba,” kata Lembaga P3M dalam keterangan resminya.

Pasal 154 RUU Kesehatan menyamakan zat adiktif yang terkandung dalam hasil olahan tembakau (sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair) dengan zat adiktif dalam narkoba, psikotropika dan minuman beralkohol.

“Ironisnya, persyaratan pemenuhan standar dan atau persyaratan kesehatan hanya diperuntukkan pada hasil tembakau dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya, dan tidak diberlakukan pada zat adiktif dalam narkotika, psikotropika dan minuman keras beralkohol,” tulis Lembaga P3M.

Lembaga P3M mengusulkan penghapusan beberapa substansi pada pasal 154 RUU Kesehatan, salah satunya ayat (5) Pasal 154. P3M juga memberikan masukan agar mencantumkan klausul ‘kewajiban’ pada Pasal 154 ayat (3) huruf (d) sebagai bentuk peringatan kesehatan.

“Usulan ini merupakan bentuk dukungan kami kepada pemerintah untuk senantiasa memberikan edukasi dalam bentuk peringatan kesehatan pada produk zat adiktif,” tulis Lembaga P3M.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan