tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil membuat lima kesimpulan dalam laporan awal mereka terkait pemantauan terhadap insiden kerusuhan dan kekerasan dalam aksi 21-22 Mei 2019 di Jakarta. Dalam insiden itu, 8 orang tewas dan 441 terduga provokator ditangkap polisi.
Koalisi aktivis tersebut terdiri atas YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, AJI, LBH Pers, Lokataru Foundation dan Amnesty International.
“Pertama, aksi itu mengonfirmasi, massa dan aparat menjadi pelaku kekerasan,” kata pendiri Lokataru Foundation, Nurkholis Hidayat di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat pada Minggu (26/5/2019).
Kedua, ada gap soal narasi dalam pernyataan Polri tentang kericuhan direncanakan, tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian dan bahwa perusuh merupakan preman bayaran.
Ketiga, tindakan kekerasan tidak bisa dijustifikasi oleh apa pun karena bertentangan dengan peraturan hukum dan HAM.
Keempat, keterangan Polri dan pemerintah tidak konsisten soal jenis peluru yang dipakai saat pengamanan aksi, pelaku kekerasan dan klaim soal tidak adanya kekerasan aparat.
Sementara dalam kesimpulan yang kelima, koalisi menyatakan elite politik harus bertanggung jawab penuh atas insiden kerusuhan dan jatuhnya korban dalam aksi massa tersebut.
“Elite harus bertanggung jawab penuh atas eskalasi [kerusuhan] dan korban jiwa yang ada dalam peristiwa itu," kata Nurkholis.
"Dalang di balik kejadian itu harus ditemukan agar tidak terjadi peristiwa serupa dan impunitas di masa mendatang,” dia menambahkan.
Nurkholis juga menegaskan lembaga seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, Komisi III DPR dan Komisi Kepolisian Nasional harus segera mengevaluasi kinerja Polri dalam menangani kerusuhan dalam aksi 21-22 Mei.
“Tim investigasi di luar kepolisian itu penting, karena publik juga butuh. Kami di sini untuk memberikan pandangan imparsial dan mengisi kekosongan yang terlambat dilakukan institusi negara dalam menjalankan fungsi itu, agar tidak bias terhadap satu kelompok,” ucap Nurkholis.
Koalisi Masyarakat Sipil juga berpendapat adanya dugaan pelanggaran HAM terhadap korban yang terdiri dari tim medis, jurnalis, penduduk setempat serta peserta aksi.
Sementara itu, berdasarkan pengumuman kepolisian, di antara ratusan tersangka kerusuhan di aksi 21-22 Mei 2019, ada kader Partai Gerindra.
Polda Metro Jaya sudah menetapkan dua pengurus DPC Gerindra Tasikmalaya, yakni I (Sekretaris DPC) dan O (Wakil Sekretaris DPC) sebagai tersangka dalam kasus ambulans pembawa batu yang ditemukan dalam aksi 22 Mei.
Kepolisian menyebut, kedua tersangka diduga mendapat perintah dari DPC Gerindra Tasikmalaya, sebagai lanjutan instruksi dari Jakarta, untuk membawa ambulans demi mengantisipasi jatuhnya korban pada aksi 21-22 Mei.
Akan tetapi, kedua tersangka belum memberikan keterangan soal asal batu dan siapa yang memerintahkan mereka mengangkutnya dengan ambulans.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom