tirto.id - Akhlak yang mulia merupakan salah satu indikator kekuatan iman seorang muslim. Bagaimanapun juga, salah satu misi ajaran Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.
Hal itu tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak,” (H.R. Baihaqi).
Saking pentingnya akhlak dalam Islam, sebagaimana dilansir NU Online, ia menjadi disiplin ilmu tersendiri di antara bidang-bidang keilmuan lainnya.
Kadang kala, ia diintegrasikan dengan tasawuf dan filsafat karena berhubungan erat dengan konsep etika, moralitas, dan lain sebagainya.
Selain dilakukan pada orang lain, akhlak terpuji juga mesti diterapkan pada diri sendiri dengan menjalankan perintah agama dan menghindari perilaku-perilaku tercela yang dilarang Islam.
Berikut ini akhlak terpuji yang dapat diterapkan pada diri sendiri sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhlak(2020) yang ditulis oleh Muta'allimah.
1. Menuntut ilmu
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Bahkan, ayat pertama yang diturunkan pada Rasulullah adalah perintah membaca, sebagai salah satu cara untuk memperoleh ilmu.
Seseorang yang menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh berarti ia sudah berakhlak mulia pada dirinya sendiri, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
"Barang siapa menempuh satu jalan [cara] untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga," (H.R. Muslim).
Ilmu yang wajib dipelajari seorang muslim adalah ilmu agama, minimal paham dasar-dasar ajaran Islam. Selanjutnya, ia juga dituntut untuk menimba ilmu duniawi sesuai dengan bidang yang ia geluti sehari-harinya.
2. Bekerja keras
Islam sangat mewanti-wanti umatnya untuk tidak menjadi pemalas. Jika seseorang memiliki suatu keinginan, ia diimbau untuk bekerja keras merealisasikan keinginannya tersebut.
Dalam Islam, bekerja keras istilahnya adalah berikhtiar sesuai kemampuan masing-masing. Bekerja keras dan tidak berpangku tangan pada orang lain adalah teladan dari Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau:
"Barangsiapa yang pada waktu sore merasa lelah karena pekerjaan kedua tangannya [bekerja keras] maka pada saat itu dosanya diampuni,” (H.R. Thabrani).
3. Bekerja cerdas: produktif, kreatif, dan inovatif
Selain bekerja keras, Islam juga mengajarkan umatnya untuk bekerja cerdas dengan kinerja yang produktif, kreatif, dan inovatif. Orang yang bekerja cerdas akan mencari cara agar kinerjanya efisien dan tidak membuang-buang waktu.
Dalil untuk bekerja cerdas ini tertuang dalam Al-Quran surah Ar-Ra'du ayat 11:
"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia," (QS. Ar-Ra’du [13]: 11).
Perintah untuk inovatif dan kreatif ini bertujuan agar umat Islam selalu melek perkembangan zaman, serta tidak tertinggal dengan umat-umat lainnya.
Sebagai misal, di tengah perkembangan teknologi yang pesat, seorang muslim dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungannya, mengembangkan diri, serta menyesuaikan dengan kondisi era sekarang.
Metode dakwah juga harus adaptif, seperti memanfaatkan media sosial, surat kabar, saluran televisi, hingga kanal YouTube agar menjangkau audiens yang lebih luas.
Kendati ada perintah untuk kreatif dan inovatif, namun hal ini hanya berlaku untuk perkara dunia, bukan dalam perkara ibadah. Mengada-ada hal baru dalam perkara ibadah tergolong bidah yang dilarang Islam.
4. Bertawakal pada Allah
Seorang muslim tidak hanya menyandarkan usahanya atas kemampuannya sendiri, melainkan juga memasrahkan hasil usahanya kepada Allah SWT.
Berserah diri pada Allah SWT atas usahanya itu dikenal dengan sebutan tawakal, yaitu mewakilkan dirinya kepada Allah. Apabila seorang muslim bertawakal pada Allah, maka ia tidak akan kecewa atau berputus asa atas hasil apa pun yang ia peroleh nantinya.
Muh. Muinudinillah Basri dalam buku Indahnya Tawakal (2008) menjelaskan bahwa tawakal mencakup permohonan total kepada Allah SWT agar memberikan pertolongan dan rida atas tekad yang sudah ditetapkannya.
Tawakal dapat dimulai ketika seorang muslim sudah menetapkan tekad ingin melakukan suatu hal, tidak harus menunggu hingga ia berikhtiar terlebih dahulu, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 159:
“Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertwakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal pada-Nya," (Ali Imran [3]: 159).
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno