Menuju konten utama

AJI Ajukan Wartawan Udin Dapat Penghormatan Guillermo dari UNESCO

Saat ini AJI sedang melengkapi persyaratan pengajuan itu untuk diserahkan ke UNESCO pada tahun depan.

AJI Ajukan Wartawan Udin Dapat Penghormatan Guillermo dari UNESCO
Solidaritas untuk wartawan Udin. FOTO/antaranews

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun ini mendaftarkan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) untuk mendapatkan penghormatan Guillermo Cano World Press Freedom Prize yang dikeluarkan UNESCO. Udin didaftarkan dalam penghargaan itu salah satunya untuk mendorong kasusnya bisa dituntaskan, atau setidaknya mendapat perhatian dunia.

“Udin akan kita ajukan untuk mendapat penghagaan dari UNESCO/Guillermo Cano World Press Freedom Prize, hal tersebut menjadi semangat baru untuk mendorong kasus ini,” ujar anggota AJI Yogyakarta Bambang Muryanto dalam dikusi bertajuk ”22 Tahun, Apakah Kasus Udin Bisa Dituntaskan?" di Yogayakarta, Kamis (16/8/2018).

Penghargaan UNESCO/Guillermo Cano World Press Freedom Prize diberikan kepada seseorang atau organisasi ataupun institusi, yang dinilai memberikan kontribusi luar biasa dalam membela dan/atau mempromosikan kebebasan pers di mana pun di dunia. Penghormatan tersebut pada tahun ini diterima oleh Mahmud Abu Zeid.

Bambang menjelaskan, saat ini AJI sedang melengkapi persyaratan pengajuan itu untuk diserahkan ke UNESCO tahun depan. Ia juga menjelaskan, untuk menentukan penghargaan tersebut, UNESCO akan berkonsultasi dengan pemerintah Indonesia.

Terkait kasus Udin yang setelah 22 tahun ini belum menemui titik terang, anggota Koalisi Masyarakat untuk Udin (KAMU), Tri Guntur Naraya menegaskan, pendekatan hukum tidak cukup untuk menuntaskan kasus tersebut.

“Strategi menemukan titik terang kasus Udin tidak cukup jika hanya melalui pendekatan instrumentalisme hukum, pengadilan, legalis. Harus ada gerakan massa,” ujar Guntur yang juga tergabung dalam Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII).

Ia juga menjelaskan, kasus Udin merupakan banalitas yang mencuat sebagai salah satu aspek kemunduran yang luar biasa. Kematian Udin, kata dia, menandakan bahwa banalitas dan vulgaritas kekerasan sudah sampai puncaknya.

Dalam kesempatan yang sama, Pemimpin Redaksi Bernas.id, Philipus Jehamun pesimistis kasus Udin bisa terungkap. Sebab, berdasarkan pengalaman selama ini, kasus yang diduga melibatkan aparat negara tidak pernah dituntaskan.

“Pengalaman, setiap kasus yang diduga kuat melibatkan aparat negara tidak akan tuntas. Misalnya saja Marsinah, Wiji Thukul dan di era sekarang seperti Novel Baswedan,” ujar Philip, teman dekat Udin ini.

Namun, ia menambahkan, diskusi dan aksi yang dilakukan untuk mengenang Udin tetap harus dilakukan. Udin menjadi inspirasi, seorang jurnalis penuh keberanian, perjuangan demi kebenaran.

Sementara itu, Kepala Ombudsman Perwakilan DIY, Budi Masturi menjelaskan, komitmen negara dalam menuntaskan kasus Udin sangat lemah.

“Sebenarnya tidak tuntasnya pengusutan Udin memberi gambaran kepada kita bahwa komitmen negara sangat lemah,” ujarnya.

Budi mengatakan, selain jalur litigasi, harus ada upaya pendekatan lain. Sebab, jika melalui jalur litigasi, ada kendala waktu bahwa kasus tersebut sudah lama dan akan menemui kendala teknis. Ia menyarankan upaya lain yang bisa dilakukan, di antaranya, negara mengakui ketidakmampuan menuntaskan kasus Udin dan meminta maaf pada publik.

Selain itu, Budi juga menyarankan perluu dibangun tugu atau monumen Udin untuk merawat memori publik tentang catatan kelam tentang kebebasan pers. Kamudian, soal tanggung jawab negara untuk menanggung perekonomian keluarga Udin.

Udin meninggal pada 16 Agutus 1996 di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Wartawan harian Bernas, surat kabar lokal di Yogyakarta ini meninggal setelah menderita luka serius di kepala dan perut akibat dipukul dengan batang besi oleh dua orang tak dikenal.

Dua tamu itu datang ke rumah Udin pada 13 Agustus 1996. Setelah memukul Udin di rumahnya, dua pelaku itu kabur dengan sepeda motor.

Udin dirawat di RS Bethesda, tetapi tidak kunjung sadar. Ia meninggal tiga hari setelah kejadian. Sumber lokal berspekulasi bahwa pembunuhan Udin terkiat artikelnya soal perselisihan tanah dan korupsi oleh pemerintahan Bantul.

Kasus kematian Udin terus didesak oleh AJI untuk dituntaskan oleh negara. Buat mengenang dan biar publik ingat atas keberaniannya, AJI memakai namanya untuk penghargaan jurnalisme bagi jurnalis Indonesia yang menjadi korban kekerasan dalam menjalankan tugas, selain terus mengingatkan negara bahwa masih ada ancaman atas kebebasan pers.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Sarah Rahma Agustin (Magang)

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Sarah Rahma Agustin (Magang)
Penulis: Sarah Rahma Agustin (Magang)
Editor: Dipna Videlia Putsanra