tirto.id - Soni Sumarsono, Pelaksana Tugas Gubernur (PLT) menganggap desain kepala Mass Rapid Transit (MRT) yang rencananya akan mulai diproduksi Februari tahun ini perlu dibikin lebih aerodinamis. Rencana ini sudah pasti mendapat reaksi berlawanan dari Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“Kalau bentuk aerodinamis, toh kita enggak ngebut di dalam kota, kok,” jelas Ahok.
Penggemar otomotif niscaya akrab dengan istilah aerodinamika atau aerodinamis. Apalagi penggemar otomotif yang juga menggemari olahraga Moto GP atau Formula One (F1). Sebab aerodinamika adalah salah satu kompenen penting yang sering dibahas tiap musim kompetisi karena acap menentukan kemenangan.
Teknologi Aerodinamis
Secara sederhana, aerodinamika merupakan ilmu yang mempelajari efek yang ditimbulkan oleh udara yang bergerak. Berasal dari kata "aero" yang berarti udara dan "dinamika" yang bisa diartikan sebagai kekuatan atau tenaga.
Teknologi bersifat aerodinamis pada akhirnya dikembangkan untuk menjadi solusi memecah hambatan udara yang muncul karena efek pergerakan sebuah benda. Karena semakin cepat sebuah benda bergerak, hambatan udara yang dilawan akan semakin kuat.
Ada beberapa gaya yang memengaruhi benda dalam teori aerodinamika. Misalnya, lift yang merupakan gaya angkat aerodinamika dan drag, gaya tahan aerodinamika.
Gaya tahan aerodinamika yang awalnya dianggap merupakan masalah karena melawan laju kendaraan yang disebabkan gesekan kendaraan dengan udara, pada perkembangannya malah justru menjadi hal yang bisa dimanfaatkan.
Pada praktiknya, pemanfaatan gaya tahan aerodinamika untuk dialihkan menjadi gaya angkat aerodinamika sudah dilakukan manusia sejak berabad-abad silam.
Teknologi kapal layar, kincir angin, bahkan sampai kisah-kisah legenda, seperti kisah Icarus, adalah petunjuk bahwa manusia sudah memanfaatkan hambatan udara dan menciptakan teknologi aerodinamis. Bahkan beberapa pemikiran Leonardo da Vinci tentang teori gaya tahan aerodinamika sederhana pun sudah muncul dalam Codex “On the Filght of Birds”.
Gaya angkat aerodinamika mempunyai arah ke atas yang biasa disebut gaya angkat positif, sedangkan untuk arah sebaliknya disebut gaya angkat negatif. Gaya angkat negatif (lebih akrab dengan istilah downforce) inilah yang kemudian dimanfaatkan kendaraan darat seperti mobil, motor, maupun kereta api.
Contoh paling mudah dalam pemaksimalan efek downforce bisa dilihat pada desain body Formula One. Desain body Formula One merupakan upaya membuang gaya tahan aerodinamika dari depan untuk mengalirkannya semulus mungkin ke belakang dengan tetap menjaga kendaraan tetap berada di darat.
Karena efek pembuangan udara yang secepat kendaraan seperti Formula One ini berpotensi juga memberi gaya angkat positif, maka sudah tentu diperlukan desain body yang tidak hanya mampu mengarahkan gaya tahan aerodinamika secepat mungkin ke belakang namun juga mampu memberi gaya tekan kendaraan ke bawah.
Caranya, salah satunya adalah menutup semaksimal mungkin akses udara yang berpotensi akan melewati ruang di bawah kendaraan dan memperluas akses laju udara sebesar-besarnya ke atas kendaraan. Itulah yang jadi jawaban mengapa desain kendaraan cepat selalu memilki jarak body dengan tanah begitu rendah.
Haruskah Desain Kepala MRT Aerodinamis?
Jawaban atas pertanyaan di atas bisa iya bisa tidak.
Iya, jika MRT akan digunakan dengan kecepatan maksimal. Presiden Direktur MRT Jakarta, Tribudi Rahardjo, mengklaim bahwa kecepatan maksimal MRT nantinya ada di angka 110 kilometer per jam.
Barangkali Anda akan menilai ini bukanlah kecepatan yang luar biasa, apalagi jika kendaraan Anda mampu melaju di atas kecepatan 120 km/jam. Namun, karena MRT adalah kendaraan bebas hambatan, kecepatan yang terkesan kecepatan standar jika di posisikan di atas aspal akan jadi luar biasa jika melaju mulus tanpa perlu berhenti-henti di atas rel.
Jika menggunakan kecepatan maksimal, sudah barang tentu MRT memerlukan desain yang aerodinamis. Desain kepala MRT yang keluar ke publik dan disebut Sumarsono “seperti kepala jangkrik” adalah desain kepala kereta standar seperti KRL harus diakui memang tidak menunjang.
Desain ini dimungkinkan memperbesar efek pithing moment, rolling moment, dan voming moment atau dalam istilah sederhananya ngleyang seperti tendangan knukle shoot ala Cristiano Ronaldo. Efek yang tentu akan semakin besar dampaknya saat dua MRT saling berpapasan dalam kecepatan tinggi.
Masalahnya, menurut Direktur MRT Jakarta, MRT rencananya hanya akan digunakan pada kisaran kecepatan 30 km/jam karena aspek keamanan. Dan karena efek aerodinamika baru akan terasa pada kecepatan di atas 80 km/jam, maka desain kepala MRT dibuat seluas kepala gajah sekalipun sama sekali tidak punya pengaruh signifikan.
Daya Hambat Kebijakan Sumarsono
Daripada memikirkan bentuk kepala MRT yang aerodinamis, Sumarsono seharusnya perlu mendesain kembali beberapa kebijakan yang tidak aerodinamis. Sejak Ahok dan Djarot Saiful Hidayat dinonaktifkan karena menjadi peserta cagub dan cawagub Pilgub DKI 2017, beberapa perubahan kebijakan maupun langkah-langkah yang dilakukan Sumarsono mengalami drag dari publik.
Dengan masa jabatan yang singkat—hanya 3,5 bulan, sejak akhir November 2016 sampai pertengahan Februari 2017, Sumarsono terhitung begitu cepat mengganti beberapa kebijakan Gubernur Ahok. Kecepatan yang tidak memikirkan “gaya tahan aerodinamika” dari publik yang merespons beberapa keputusannya. Bahkan di change.org telah muncul petisi yang menuntut Presiden Jokowi menegur keras Sumarsono.
Petisi yang muncul dari beberapa kebijakan yang tidak mempedulikan efek downforce. Misalnya, Sumarsono merombak SPD DKI Jakarta, serta memutuskan untuk memberi dana hibah yang ditujukan kepada Bamus Betawi sejumlah Rp2,5 miliar dari APBD-P DKI 2016 dan Rp5 miliar dari APBD DKI 2017.
Sumarsono kembali mengabaikan desain aerodinamis kebijakannya manakala menghentikan sementara 14 proyek lelang dini dengan alasan menjaga psikologi politik anggota DPRD DKI. Ia bahkan dengan cukup berani mengubah Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara DKI Jakarta. Beberapa keputusan Sumarsono kontroversial ini bahkan belum termasuk melakukan rapat di atas kereta wisata mewah Jakarta-Yogyakarta.
Sumarsono terus tancap gas tanpa memikirkan efek dari kecepatannya mengambil keputusan-keputusan kontroversial. Ia terus melaju dengan semakin cepat, dan -- seperti yang sudah diuraikan-- laju yang semakin cepat akan menghadirkan hambatan yang semakin besar pula.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS