Menuju konten utama

1.765 Perda Dibatalkan, Rp353 Miliar Anggaran Hangus

Pembatalan 1.765 peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada) telah menghanguskan anggaran Rp353 miliar. Presiden Jokowi harus segera menata sistem regulasi di negeri ini. Agar tak ada lagi dana terbuang sia-sia.

1.765 Perda Dibatalkan, Rp353 Miliar Anggaran Hangus
undefined

tirto.id - Ada harga yang harus dibayar atas setiap keputusan yang diambil. Kalimat bijak itu agaknya juga berlaku bagi pemerintah setelah membatalkan 3.143 peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada) yang dinilai bermasalah. Pemerintah pusat sejauh ini telah "membakar" Rp353 miliar untuk pembatalan 1.765 perda.

Kerugian hingga Rp353 miliar itu berasal dari jumlah dana yang dipergunakan selama proses melahirkan sebuah perda. Nilai tersebut belum termasuk kerugian tenaga, waktu dan pikiran yang harus dikeluarkan kepala daerah dan jajarannya, anggota DPRD, serta pihak-pihak terkait lainnya.

Berapa anggaran yang diperlukan untuk pembuatan sebuah perda?

Menarik menyimak apa yang disampaikan Andi Burhanuddin Solong, Ketua DPRD Balikpapan periode 2009-2014, tentang biaya pembuatan sebuah peraturan daerah di wilayahnya.

Menurut Solong, anggaran pembuatan sebuah perda di Balikpapan berkisar antara Rp200 juta hingga Rp500 juta. Biaya kajian akademis menjadi pengeluaran paling menyedot anggaran. Nilainya mencapai sepertiga dari total anggaran.

"Itu yang paling mahal. Kita harus membayar tenaga ahli atau konsultan dan mereka juga biasanya tim. Satu tim bisa tujuh orang anggotanya. Belum lagi kalau harus didatangkan dari luar Balikpapan," kata Andi Burhanuddin Solong seperti dikutip Antara. Selain biaya kajian akademis, komponen pembiayaan lain adalah konsultasi dan studi banding ke daerah lain yang sudah memiliki perda yang bakal dibuat.

Lalu bagaimana di daerah lainnya? Kepala Biro Hukum dan HAM Pemprov Sumsel, Ardani, mengatakan bahwa proses membuat sebuah perda dari pembuatan naskah akademis, pembahasan, hingga disetujui DPRD membutuhkan biaya mencapai ratusan juta rupiah.

“Biaya pembuatan satu perda itu bisa menghabiskan dana sekitar Rp 200 juta. Untuk naskah akademis saja biayanya Rp 50 juta, kemudian ditambah biaya proses lainnya,” katanya. Pemprov Sumatera Selatan sendiri harus kehilangan 60 perda akibat dibatalkan Kemendagri pada Juni lalu.

Jumlah anggaran Rp200 juta untuk pembuatan sebuah Raperda juga dilontarkan Rizki Jonis, anggota badan legislasi DPRD Kota Tangerang Selatan. Menurutnya, biaya ideal pembuatan sebuah perda berkisar antara Rp200 juta hingga Rp300 juta.

Total biaya itu merupakan akumulasi dari beberapa komponen biaya seperti biaya konsultasi, pembuatan naskah akdemik, biaya pembuatan naskah rancangan perda, biaya biaya sosialisasi, hingga disahkan menjadi perda.

Jika melihat estimasi anggaran di tiga daerah tersebut, bisa diasumsikan bahwa rata-rata anggaran yang diperlukan untuk membuat sebuah perda berkisar pada angka Rp200 juta. Nah, jika sebanyak 1.765 perda dibatalkan, artinya pemerintah pusat baru saja menghanguskan anggaran sebesar Rp353 miliar.

Sistem Regulasi Bermasalah

Pembatalan 3.143 perda dan perkada oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, sejatinya tak bisa dilepaskan dari kebijakan Presiden Jokowi untuk menggenjot masuknya investasi asing. Keluarnya 12 paket kebijakan sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah mengakui adanya permasalahan pada sistem regulasi di negeri ini.

Apalagi Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa, perda dan perkada yang dibatalkan dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Sebab telah memperpanjang jalur birokrasi, sehingga menghambat kemudahan berusaha dan investasi.

Presiden pun meminta agar ke depan, para gubernur, bupati dan wali kota serta anggota dan pimpinan DPRD membuat peraturan yang mendorong pembangunan daerah dan bukan sebaliknya.

Lalu mengapa selama ini banyak kepala daerah yang berinisiatif membuat perda yang belakangan justru dinilai bermasalah?

Menurut Siti Zuhro, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perda bermasalah lahir karena para kepala daerah ingin mendapatkan tambahan pendapatan selain dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan pendapatan asli daerah (PAD). Munculnya kebijakan otonomi daerah yang menuntut para kepala daerah membiayai daerah masing-masing, justru berpotensi membuat pihak pemda bertindak melampaui batas kewenangannya.

Lalu bagaimana mengatasinya?

Menurut Siti, ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, memperbaiki kualitas pembuatan perda. Dimulai sejak proses perumusan, proses menjadi rancangan perda, hingga masuk ke program legislasi daerah.

Kedua, melibatkan pakar atau ahli dalam perumusan untuk menghindari kemungkinan terjadinya asal comot alias copy paste dari perda milik daerah lain. Dan ketiga, mengefektifkan program koordinasi, pembinaan dan pengawasan (korbinwas) antarjenjang pemerintahan. Tujuannya, terjadi kesatupaduan peraturan mulai dari pusat hingga daerah.

Penghangusan anggaran senilai Rp353 miliar sebagai dampak pembatalan 3.143 perda dan perkada oleh Mendagri, semoga saja menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pemangku kepentingan di negeri ini. Presiden Jokowi harus segera menata sistem regulasi agar tak terjadi lagi tumpang-tindih aturan. Juga agar tak ada lagi ratusan miliar dana yang mubazir.

Baca juga artikel terkait PERDA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Hukum
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti