tirto.id - Presiden Joko Widodo baru saja memerintahkan Mendagri mencabut 3.143 peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada) yang dianggap bermasalah di seluruh Indonesia. Semuanya merupakan perda yang dinilai menghambat masuknya investasi ke negeri ini.
Sementara di sisi lain, pemerintah tak mengambil sikap terhadap perda-perda syariat. “Ada kebutuhan umat Islam untuk mengaktualisasi nilai Islam dalam legal formal,” kata Wasisto Raharjo Jati, peneliti LIPI kepada tirto.id, pada Rabu (27/7/2016). Berikut wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat fenomena perda syariat di Indonesia?
Perda syariat di Indonesia bisa dianalisa dari dua hal. Pertama, munculnya gejala syariatisasi karena kebutuhan untuk menegakkan Islam. Kedua, kebutuhan untuk memperbaiki moralitas. Perda syariat digunakan sebagai benteng moral oleh kelas menengah muslim untuk mempertahankan indentitas mereka sebagai kelompok. Perda ini menjadi simbol agar mereka tetap eksis dan dilegalkan. Ini menegaskan bahwa mereka ada.
Kenapa pilihan akhirnya memunculkan perda syariat?
Secara sosiologis dan historis, kita itu masyarakat yang mayoritas Islam. Intervensi umat Islam itu sudah ada lama. Mulai UU Perkawinan, diturunkan dalam berbagai hal, bank syariah dan lainnya. Ada kebutuhan umat Islam untuk mengaktualisasi nilai Islam dalam legal formal.
Apakah mungkin perda syariat berlaku dalam hukum Indonesia?
Jawabnya bisa dan tidak. Dalam otonomi daerah, adanya perda syariat sangat mungkin muncul. Syaratnya, tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berada di atasnya. Kasusnya lebih ke lokal, masih regional. Kalau sampai nasional, pasti akan pecah-belah. Kalau dilegalkan ke skala nasional dengan muncul UU Syariat, sudah pasti disintegritas menjadi tinggi. Di satu sisi, peraturan hukum di Indonesia tidak mengenal hukum agama. Yang ada, undang-undang biasa yang isinya disarikan dari sumber Al Quran dan hadist.
Apa masalah dengan diterapkannya perda syariat?
Masalahnya adalah nilai dan norma yang diturunkan dari Al Quran dan hadist dilakukan secara tekstual dalam perda syariat. Masalah perda syariat adalah tidak melihat konteksnya. Bukannya saya anti, tapi yang kita lihat, dibuat secara insidental. Lagi ramai kasus narkoba dan miras, kemudian bikin perda syariat. Padahal sebenarnya itu sudah ada undang-undangnya dan sudah ada perdanya. Tapi dengan kata syariat, secara emosional menjadi terwadahi. Padahal aturannya sudah ada. Akhirnya cuma redundan saja.
Apa mungkin perda syariat dihapus oleh pemerintah?
Pasca Soeharto runtuh, kelompok reaksioner makin menguat. Mereka menjadi reaksioner. Mudah menghujat pemerintah. Tapi itu goncangan di tingkat lokal dan tidak akan besar. Pasti ada yang berteriak. Tapi tidak akan sampai menggoyang pemerintah. Tanpa perda syariat pun, sebenarnya sudah diwakili hukum nasional. Kalau mau fair, perda syariat nanti juga ada pada Kristen, Hindu dan Budha.
Bagaimana sebaiknya?
Umat Islam kita lebih menyenangi simbol daripada spiritual. Kita terbiasa menggunakan simbol seperti hijab, pakai sorban dan lain sebagainya. Itu mencerminkan Islam, tapi belum tentu substansinya. Kalau pun daerah masih ngeyel, boleh saja ada aturan syariat tapi sebatas konsensi. Jangan mengikat warga secara legal formal. Sebab perda syariat hanya repetisi hukum nasional
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho