tirto.id - Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membatalkan 3.143 peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada) yang dianggap bermasalah di seluruh Indonesia. Perintah dikeluarkan pada Maret 2016. Presiden mengatakan, perda-perda tersebut bermasalah karena menghambat invetasi dan memberatkan masyarakat.
Tiga bulan berselang, Tjahjo Kumolo pun bertindak. Pada 16 Juni, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi mengumumkan pembatalan 3.143 perda dan perkada yang dinilai bermasalah tersebut. Beberapa perda yang dihapus di antaranya terkait investasi dan pendidikan.
Pembatalan 3.143 perda dan perkada tersebut dilandasi dua pertimbangan. Pertama, terkait konsistensi dengan peraturan yang berada di atasnya. Maksudnya, perda dibuat pihak pemerintah daerah berdasarkan undang-undang. Namun, dalam perjalanannya, undang-undangnya ternyata telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu contoh, Perda Nomor 7 tahun 2014 tentang “Pengelolaan Air Tanah” di Sumatera Utara. Perda tersebut terpaksa dibatalkan karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang “Sumber Daya Air” sudah dibatalkan oleh MK pada 18 Februari 2015. Secara otomatis, perda tersebut gugur karena aturan di atasnya sudah tidak ada lagi.
Pertimbangan kedua, sejumlah perda dianggap mempersulit investasi ekonomi dan menghambat pelayanan publik. Perda-perda yang dimaksud adalah perda yang berkaitan dengan izin, seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), izin ganguan atau Hinderordonnantie (HO) dan retribusi.
Pemerintah beranggapan, perda tersebut sudah tidak relevan lagi. Sebut saja HO yang tidak bisa diterapkan pada perusahaan yang berada di kawasan industri. Perda itu lebih cocok untuk perusahaan yang berada di pemukiman warga. Jika izin HO harus diterapkan pada semuanya, maka justru akan menyulitkan.
Tidak hanya HO, maka otomatis retribusi yang memberatkan pelaku usaha pun turut dibatalkan. Banyak pelaku usaha yang merasa keberatan karena terlalu banyak retribusi yang harus dikeluarkan. Sebagai gantinya, pemerintah akan mengeluarkan satu izin saja untuk izin usaha.
Investasi Jadi Kunci
Sejak awal pemerintah sudah menegaskan bahwa target membatalkan sejumlah perda adalah demi kepentingan mendorong investasi. Hal itu dilakukan, salah satunya, untuk mengejar target investasi pada tahun 2016 sebesar Rp594,5 triliun.
Target yang sebenarnya tidak terlalu tinggi, jika dibandingkan dengan realisasi investasi tahun 2015 yang mencapai Rp545,4 triliun. Jumlah itu naik 17,8 perda dari realisasi di tahun 2014 yang mencapai Rp463,1 triliun.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sudah mengumumkan, pada semester I 2016, realisasi investasi sudah mencapai Rp294,8 triliun atau sudah mencapai 50,1 persen dari target tahun 2016.
Data BPKM juga menunjukan bahwa penanaman modal asing (PMA) pada semester pertama 2016 sudah mencapai Rp195,5 triliun atau 65,6 persen dari total investasi. Sementara penanaman modal dalam negeri (PMDN) sudah mencapai Rp102,6 triliun. Keberhasilan pada semester pertama ini, ditengarai disebabkan munculnya 10 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi.
Kemudahan invetasi sebenarnya tidak hanya dilakukan pemerintah dengan cara menghapuskan perda-perda tersebut. Saat ini, pemerintah tengah menggodok pemberian kemudahan layanan investasi bagi peserta tax amnesty atau pengampunan pajak. Selain itu, investor juga akan mendapatkan kemudahan pelayanan izin selesai dalam waktu tiga jam, bebas bea masuk, percepatan di jalur hijau dan insentif pajak seperti tax allowance.
Seharusnya dengan kemudahan yang sudah ada, serta penghapusan perda, pemerintah tidak hanya bisa sekadar memenuhi target, tapi melampaui target tersebut. Jika tidak, tentu upaya penghapusan perda tidak berdampak apa-apa.
Belum Sentuh Perda Intoleran
Pada saat bersamaan, pemerintah ternyata belum bersikap tegas bersikap terhadap sejumlah perda yang dinilai menghambat toleransi. Wasisto Raharjo Jati, peneliti LIPI menyebut perda yang menghambat toleransi antara lain perda syariat. Menurutnya, perda-perda syariat yang ada saat ini ibarat bom waktu. Suatu saat berpotensi menimbulkan perpecahan. Apalagi, perda-perda itu kebanyakan merupakan pengulangan dari perda yang sudah ada.
“Misal soal miras, itu sudah ada undang-undangnya. Kenapa masih ada yang bikin perda syariat miras? Ini kan hanya redundan saja,” katanya kepada tirto.id, pada Rabu (27/7/2016).
Menurutnya, jika pemerintah berani membatalkan perda yang menghambat invetasi sehingga ekonomi stagnan, maka seharusnya juga bisa mengambil langkah serupa untuk perda intoleransi.
Menteri Tjahjo sendiri menegaskan, tidak ada penghapusan terhadap perda syariat. Jika pun ada yang bermasalah, pihaknya akan terlebih dulu melakukan penyelarasan bersama organisasi keagamaan.
Kehadiran perda syariat sendiri memang masih memunculkan pro dan kontra. Pemerintah memilih jalan “aman” dengan membiarkan perda tersebut tetap ada. Ketegasan pemerintah terasa berbeda jika dibandingkan dengan sikap terhadap perda-perda yang dianggap menghambat investasi.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho