tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai usulan TNI terlibat dalam bisnis menjadi cerminan kemunduran upaya reformasi militer. Usulan ini sejalan dengan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang saat ini telah disetujui DPR RI menjadi RUU usul inisiatif dewan.
"Kami memandang usulan Kababinkum TNI tersebut merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, dalam keterangan yang diterima Tirto, Selasa (16/7/2024).
Ia mengatakan militer dididik, dilatih ,dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre atau hakikat militer di negara manapun.
Dimas mengatakan tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit. Oleh karena itu, prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis.
"Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara," ucap Dimas.
Menurut Dimas, rencana menghapuskan larangan bisnis dalam UU TNI bukan hanya akan berdampak pada lemahnya profesionalisme militer, tetapi turut berpengaruh pada lemahnya usaha militer menjaga pertahanan negara dan kedaulatan negara. Sebab, kata dia, bertambahnya tugas yang jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan.
Lebih lanjut, Dimas berkata militer diberikan anggaran yang besar triliunan rupiah untuk belanja alat utama sistem senjata (alutsista). Mulai dari pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, helikopter dan sebagainya yang sepenuhnya ditujukkan untuk menyiapkan kapabilitas mereka untuk berperang, bukan kemudian untuk berbisnis dan berpolitik.
Ia mengatakan sekian banyak anggaran negara yang berasal dari pajak rakyat digunakan untuk belanja alutsista, sepenuhnya ditujukan agar tentara profesional dalam bidangnya menjaga pertahanan negara bukan untuk berbisnis dan berpolitik.
"Karena itu rencana revisi usulan mencabut larangan berbisnis dalam UU TNI adalah sesuatu yang berbahaya dalam pembangunan profesionalisme militer itu sendiri," tutur Dimas.
Selain itu, lanjut dia, dimasukkannya pasal larangan berbisnis dalam batang tubuh UU TNI adalah karena pengalaman historis masa Orde Baru, dimana tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengganggu, bahkan mengacaukan profesionalisme militer sendiri pada masa itu. Dampak lainnya, bahkan hingga mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil.
Lebih jauh, Dimas sebut ketika reformasi 1998 bergulir, militer dikembalikan ke fungsi aslinya untuk pertahanan negara. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah harus segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang kontroversial ini karena hanya akan memundurkan jalanya reformasi tubuh TNI.
"Salah satu permasalahan profesionalisme TNI adalah mengenai bisnis keamanan di perusahaan milik swasta dan negara serta pengamanan proyek-proyek pemerintah," kata Dimas.
Ia mengatakan penghapusan Pasal 39 huruf c tersebut, dapat melegalkan dugaan praktik bisnis keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam.
Sebut saja, kata dia, pengamanan PT. Freeport Indonesia di Papua, Pengamanan PT. Dairi Prima Mineral di Sumatera Utara, Pengamanan PT. Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat (2018), Pengamanan PT. Duta Palma, Kalimantan Barat (2024).
Termasuk keterlibatan dalam perampasan tanah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) oleh PTPN II di Sumatera Utara (2020), Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, Wadas (2021), PSN Smelter Nikel CNI Group, Sulawesi Tenggara (2022), PSN Rempang Eco City, Batam (2023), hingga PSN Bendungan Lau Simeme, Sumatera Utara (2024).
Praktik pengamanan ini menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil akan meletakan prajurit TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat yang sedang bersengketa dengan perusahaan, tidak jarang praktik pengamanan menimbulkan kekerasan.
Menurut dia, sudah selayaknya yang dilakukan negara bukanlah merevisi UU TNI dengan mencabut larangan berbisnis, tetapi memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan anggaran negara bukan dengan memberikan ruang prajurit TNI untuk berbisnis.
"Praktik ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru. Selain itu, militer harus jelas alokasi anggaran pertahanannya untuk memastikan alutsista yang modern dan kesejahteraan prajurit," jelas Dimas.
Sebelumnya, Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro mengatakan pihaknya mengusulkan agar prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis. Padahal, dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang berlaku saat ini, utamanya Pasal 39 huruf c, prajurit aktif tak boleh terlibat dalam bisnis.
“Kemudian yang kita sarankan Pasal 39. Ini mungkin kontroversial, tapi Bapak/Ibu, istri saya punya warung di rumah. Kalau ini diterapkan, maka saya kena hukuman,” kata Kresno dalam acara ‘Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri’ di Hotel Borobudur, Kamis pekan lalu, dikutip Tirto dari Youtube Kemenkopolhukam, Senin (15/7/2024).
Kresno berkata istrinya di rumah memiliki usaha warung, secara tidak langsung dirinya terlibat dalam kegiatan bisnis, sebab Kresno ikut membantu sang istri mengantar barang belanjaan.
“Prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis. Saya pasti mau enggak mau terlibat. Wong, aku ngantar belanja dan sebagainya. Apakah kemudian ini eksis. Sekarang kalau diperiksa, saya bisa kena," ucap Kresno.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto