tirto.id - Wali Kota Depok, Mohammad Idris, diduga telah melanggar aturan administrasi karena melakukan kampanye tanpa izin pada Pilkada Kota Depok 2024.
Dugaan pelanggaran itu tercantum berdasarkan surat laporan nomor 03/Reg/LP/PW/Kota/13.07/X/ 2024, 2024 yang ditandatangani Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Depok M Fathul Arif, Sabtu (12/10/2024).
Perkara ini bermula ketika petahana yang menjabat Wali Kota Depok sejak 2016 itu hadir dalam kampanye pasangan calon (paslon) wali kota dan wakil wali kota Depok nomor urut 1, Imam Budi Hartono-Ririn Farabi A Rafiq di Cilodong, Depok, Senin (30/9/2024).
Dalam hal ini, Idris tidak melayangkan izin cuti yang ditembuskan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mengatur seorang wali kota untuk mengajukan izin cuti jika hendak kampanye. Ketentuan itu diatur dalam pasal 70 ayat 2 yang menyatakan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ini termasuk memenuhi ketentuan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan. Serta menjalani cuti di luar tanggungan negara.
"[Terlapor, Mohammad Idris] terbukti melanggar tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan," tulis surat tersebut.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, melihat kasus yang melibatkan Mohammad Idris, dalam dugaan pelanggaran kampanye tanpa izin cuti adalah persoalan serius yang harus ditanggapi secara tegas oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Berdasarkan laporan, Idris meng-endorse salah satu calon wali kota melalui video yang direkam pada hari Senin, sementara surat cuti kampanye baru diterbitkan pada hari Rabu, 2 Oktober 2024.
“Ini jelas merupakan pelanggaran administratif, karena kepala daerah yang ingin berkampanye diwajibkan untuk terlebih dahulu mengambil cuti dari jabatannya,” kata Annisa kepada Tirto, Selasa (15/10/2024).
Kampanye oleh pejabat publik tanpa cuti tidak hanya melanggar aturan, tetapi menurut Annisa, juga membuka potensi penyalahgunaan sumber daya negara (abuse of state resources), misalnya menggunakan fasilitas atau wewenangnya untuk kepentingan politik tertentu.
“Dalam hal ini, Idris sebagai Wali Kota Depok memiliki akses terhadap fasilitas negara yang seharusnya tidak digunakan dalam aktivitas kampanye, seperti kendaraan dinas, staf pemerintah, atau kantor pemerintahan. Abuse of state resources ini menjadi bentuk ketidakadilan bagi calon lain yang tidak memiliki akses serupa,” jelas dia.
Dia menekankan, dalam konteks regulasi pemilu di Indonesia, kepala daerah yang akan berkampanye wajib cuti dari jabatannya untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga netralitas.
Endorsement yang dilakukan oleh Idris sebelum cuti diterbitkan bukan hanya pelanggaran aturan teknis, tetapi juga menciptakan preseden buruk dalam menjalankan pemilu yang adil.
“Tindakan seperti ini mengaburkan batas antara peran sebagai kepala daerah yang seharusnya netral dengan peran sebagai figur politik,” jelasnya.
KPU Jangan Jadi Macan Ompong
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, mengatakan jika berbicara sanksi, maka pelanggaran yang dilakukan Mohammad Idris seharusnya dapat dikenai Pasal 547 UU Pemilu. Ancamannya, pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.
“Tapi kan selama ini sanksi terhadap pejabat negara ataupun ASN yang melanggar aturan kampanye tidak pernah benar-benar dieksekusi. Ini membuat pelanggaran semacam ini dipandang sebelah mata karena ujung-ujungnya hanya berupa teguran lisan atau tertulis,” jelas Musfi kepada Tirto, Selasa (15/10/2024).
Selama ini, kata Musfi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu selalu disebut sebagai macan ompong. Mereka punya aturan rinci terkait pelanggaran kampanye, tapi tidak bisa apa-apa. Menurutnya, jika ingin benar-benar netral, kenapa tidak sekalian semua pejabat negara dilarang kampanye tanpa terkecuali.
“Masalahnya kan, karena masih menjabat mereka dapat menggunakan pengaruh dan fasilitasnya untuk melakukan intervensi dan menghindari sanksi hukum,” ujar Musfi.
Menurut Musfi, dengan aturan sekarang, ada banyak sekali celah yang digunakan pejabat negara untuk ikut kampanye. Ini yang membuat Bawaslu selalu menghentikan laporan dengan alasan 'tidak memenuhi unsur pelanggaran'.
Apalagi kalau kandidat yang dilaporkan menang pilkada, KPU dan Bawaslu tidak berani menyentuh kepala daerah terpilih.
Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menambahkan seharusnya memang baik Bawaslu maupun KPU dalam hal ini tidak tembang pilih dalam mengusut kasus dugaan pelanggaran. Maka, ketika terjadi pelanggaran harus segera ditindak tegas.
“Jangan sampai tembang pilih atau bahkan malah pengawas pemilunya menjadi macam ompong seperti itu. Jangan sampai hal itu terjadi gitu,” ujar Arfianto kepada Tirto, Selasa (15/10/2024).
Dia mengatakan jika memang sudah ada buktinya atau ada laporannya, seharusnya Bawaslu maupun KPU bisa segera untuk menindaklanjutinya dan juga mengumumkan pelanggaran dan menjatuhkan sanksi. Dengan demikian, diharapkan penyelenggara pemilu bisa berlaku adil dan juga menegakkan aturan.
Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, mengatakan memang dalam hal ini butuh langkah ketegasan hukuman bagi mereka yang melanggar aturan, sehingga bisa menimbulkan efek jera.
Sehingga, kasus seperti pada saat Pilpres 2024 ketika Gibran Rakabuming Raka bagi-bagi susu di acara Car Free Day (CFD) yang jelas melanggar aturan, setelah dinyatakan terbukti melanggar, tapi eksekusi hukumannya tidak muncul.
“Jadi menurut saya perlu dilakukan oleh KPU untuk segera memberikan sanksi yang setimpal dan menimbulkan efek jera kepada kepala daerah tersebut,” ujar Kunto kepada Tirto, Selasa (15/10/2024).
Annisa Alfath menambahkan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu memang harus bertindak tegas dalam menangani pelanggaran semacam ini. Jika dibiarkan tanpa sanksi, hal ini dapat mendorong pelanggaran yang lebih masif oleh pejabat publik lainnya.
KPU setidaknya, kata Annisa, dapat menegakkan sanksi administrasi yang diatur dalam regulasi pemilu, termasuk memberikan peringatan keras, membatasi aktivitas kampanye Idris. Langkah tegas ini penting untuk memastikan bahwa pemilu berjalan adil dan transparan.
Dia menekankan, jika kasus ini tidak ditindak secara cepat dan tepat, tidak menutup kemungkinan bahwa pejabat lain akan merasa berani melakukan pelanggaran serupa. Efek domino ini dapat mengurangi kualitas pemilu dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
“Maka sanksi tegas diperlukan untuk menjaga kredibilitas sistem pemilu serta mencegah munculnya ketidakadilan dalam kontestasi politik,” jelas Annisa.
Dalam kasus ini, Bawaslu sendiri sudah mengirimkan rekomendasi kepada KPU untuk mengambil langkah tindak lanjut berdasarkan hasil kajian dan rekomendasi yang mereka terima dari Bawaslu terkait pelanggaran tersebut. Sesuai aturan, KPU berkewajiban melaksanakan apa yang menjadi rekomendasi yang diterbitkan oleh Bawaslu.
Sementara itu, Anggota KPU RI, Idham Holik, mengatakan penanganan dugaan pelanggaran kampanye itu justru merupakan kewenangan atributif Bawaslu. Dalam hal ini Bawaslu nantinya yang akan melakukan kajian dan berwenang melakukan pengambilan putusan.
"Dia harus sampaikan putusan. [Jika terbukti pelanggaran] nanti akan dikoordinasikan ke Kementerian Dalam Negeri, karena beliau [Muhammad Idris] pejabat atau kepala daerah kan," jelas Idham saat dihubungi Tirto, Selasa (15/10/2024).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto