tirto.id - Etika, sebagai alasan utama Partai Nasdem enggan bergabung ke dalam kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tampak normatif belaka. Nasdem merasa tak enak atau ewuh pakewuh mengajukan calon menteri sebab menjadi gerbong terbelakang barisan parpol pendukung Prabowo-Gibran.
Parpol yang dipimpin Surya Paloh itu menyatakan ‘tahu diri’ untuk mendahulukan posisi-posisi menteri diambil oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, Saan Mustopa, menyatakan langkah Nasdem dilandasi etika dan kepantasan politik. Nasdem juga buru-buru mengklarifikasi bahwa mereka tetap di barisan parpol pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran meski tidak masuk kabinet. Saan menegaskan, Nasdem tidak ada niatan menjadi oposisi bagi pemerintahan mendatang.
“Enggak ada oposisi. Kita tetap dalam barisan pemerintahan Pak Prabowo-Pak Gibran,” kata Saan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/10/2024).
Sehari sebelumnya, pernyataan Nasdem tidak bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran mencuat dari mulut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Nasdem, Hermawi Taslim. Ia menyatakan Nasdem memutuskan tak masuk kabinet Prabowo-Gibran disebabkan banyak hal. Hermawi tak mengungkapkan alasan-alasan parpolnya.
Menurutnya, Nasdem hanya ingin pemikirannya diterima di pemerintah Prabowo ketimbang memasang kader ke dalam kabinet. Kendati tak masuk kabinet, kata Taslim, Nasdem akan berkomitmen berkontribusi untuk pemerintah mendatang.
“Jadi, bukan soal menolak atau menerima tetapi sikap Nasdem adalah memberi kontribusi lain selain menempatkan orang di kabinet,” ujar Taslim.
Malu-malu Kucing tapi Takut Jadi Oposisi
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai sikap Nasdem tidak mencerminkan alasan etika sebagai landasan utama mereka memutuskan tidak masuk kabinet Prabowo-Gibran. Nasdem, sebagaimana parpol lainnya, sama-sama tetap mematok kekuasaan sebagai tujuan.
Jika benar ingin memakai alasan etika, kata Dedi, Nasdem seharusnya tegas menyatakan diri ada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Seharusnya tegas menyatakan berada di luar dan deklarasi diri mengawal [pemerintahan] Prabowo sebagai penyeimbang,” kata Dedi dihubungi reporter Tirto, Senin (14/10/2024).
Menurut Dedi, langkah Nasdem memutuskan tak masuk kabinet Prabowo menunjukkan dua hal. Pertama, Nasdem tidak nyaman satu gerbong dengan parpol di KIM sehingga enggan bergabung ke kabinet.
Namun, Nasdem tetap menyatakan mendukung total pemerintahan mendatang untuk mereduksi ketegangan di koalisi. Dedi menilai, ketidaknyamanan Nasdem bisa disebabkan karena residu politik saat Pilpres 2024. Nasdem dinilai cukup banyak ditekan karena mendukung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar saat Pilpres 2024.
Alasan selanjutnya, isu PDIP yang semakin merapat kepada pemerintahan Prabowo-Gibran juga dinilai bisa jadi pemicunya. Nasdem, kata Dedi, bisa jadi menunjukkan sinyal tidak suka PDIP bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran.
“[Karena] Bisa saja PDIP akan bergabung ke KIM,” ucap Dedi.
Dedi menilai, agak sulit mengharapkan PDIP menjadi oposisi. Pasalnya, gestur politik parpol berlogo banteng bermoncong putih itu semakin hangat dengan Prabowo. Terlebih, rencana pertemuan Prabowo dan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, semakin menguat.
Ia menambahkan, ucapan Nasdem berpotensi mendatangkan sentimen negatif jika tiba-tiba mereka menerima posisi menteri di kabinet. Parpol ini akan dinilai labil oleh masyarakat dan barisan pemilihnya.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, justru menilai pernyataan Nasdem tidak bisa ditafsirkan harfiah. Politisi, kata dia, kerap kali menggunakan bahasa kiasan, bercabang, dan simbolik dalam pernyataan mereka.
“Dalam kebiasaan politik Indonesia, sudah jadi semacam norma umum kalau mendukung pemerintah akan diberi timbal balik kursi. Apalagi Nasdem yang perolehan suaranya besar,” ucap Musfi kepada reporter Tirto, Senin (14/10/2024).
Musfi menilai pernyataan Nasdem hanya semacam lip service kepada publik agar terlihat tampak sebagai kesatria. Dengan menyebut komitmen mendukung total, Prabowo toh dinilai bakal tetap menawarkan posisi di kabinet kepada Nasdem.
Lebih lanjut, dalih Nasdem enggan masuk kabinet sebab mereka belakangan masuk koalisi parpol pendukung Prabowo-Gibran juga mengada-ada. Menurut Musfi, parpol yang memilih mendukung pemerintahan saat kabinet sudah terbentuk saja masih diberikan posisi. Misal, Partai Demokrat yang masuk ke pemerintahan Presiden Jokowi di penghujung periode.
“Karena pada praktiknya, memberi kursi adalah cara untuk mengunci dukungan partai di pemerintah,” terang Musfi.
Musfi melihat, pernyataan ini bagian dari strategi tawar-menawar Nasdem kepada Prabowo. Kalau melihat ke belakang, kata dia, Nasdem kerap memainkan bahasa simbolik seperti ini.
Pada 2019 misalnya, sebab tidak setuju Partai Gerindra gabung ke pemerintahan Jokowi, Nasdem sempat mengancam akan jadi oposisi pemerintah. Surya Paloh ketika itu bahkan sudah bertemu dengan PKS, yang merupakan parpol oposisi. Namun di akhir, Nasdem tetap berada di barisan kabinet pemerintahan Jokowi.
“Tapi kan itu jadi gertakan dan lip service semata. Ujungnya Nasdem tetap di pemerintah dan diberi jatah kursi menteri,” terang Musfi.
Strategi Tawar-Menawar
Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menilai pernyataan Nasdem memang sengaja terlihat bersayap dan tidak tegas sebab menyerahkan ‘bola’ kepada Prabowo. Ia menilai, ini menjadi strategi Nasdem untuk memperkuat tawar-menawar kepada Prabowo untuk kabinet mendatang.
“Kemungkinan yang dinegosiasikan adalah jumlah kursi ataupun posisi-posisi yang sifatnya strategis,” ujar Anto dihubungi reporter Tirto, Senin (14/10/2024).
Menurut Anto, tidak ada makan siang yang gratis dalam politik. Ia pesimistis Nasdem bakal menolak tawaran posisi dari Prabowo di pemerintahan. Anto memandang, pernyataan Nasdem justru menjadi tanda bahwa tawar-menawar masih berlangsung.
“Karena kalau cuma mendukung tidak mendapatkan apa-apa ya, lantas untuk apa mereka mendukung?,” ucap Anto retoris.
Hal senada turut diungkapkan analis politik dari Trias Politika, Agung Baskoro. Menurutnya, bisa saja Nasdem memang tidak mendapat posisi di kabinet Prabowo. Namun, mereka tetap diberikan keuntungan di sektor lain, seperti ekonomi dan jaminan hukum.
Di sisi lain, sebut Agung, sikap Nasdem bakal membuat Ketua Umum mereka, Surya Paloh, akan dipandang berbeda oleh Prabowo. Sikap ini akan membuat Prabowo dan Paloh makin erat karena menghargai posisi satu sama lain dengan tidak saling memaksa.
“Apa yang sudah dirajut personal, dipertegas dengan hal konkret positif dan substantif. Paloh ingin terlihat berbeda dengan ketum parpol lain,” kata Agung kepada reporter Tirto, Senin (14/10/2024).
Sejak Awal Tak Mau Posisi Menteri
Sementara itu, Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan sejak awal Partai Nasdem memang tidak berniat menempatkan kadernya untuk menjadi menteri di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran. Padahal, Prabowo sendiri sudah menawarkan.
“Bukan tidak mendapat kursi di kabinet,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/10/2024).
Dasco menjelaskan, keputusan Nasdem sudah diambil usai pertemuan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, dengan Prabowo. Persamuhan ini berlangsung setelah Nasdem tak berhasil membawa Anies Baswedan menang dalam Pilpres 2024.
Dasco mengaku Prabowo sebetulnya tetap meminta Nasdem mengajukan kader terbaiknya mengisi kursi di kabinet pemerintahan. Namun, Nasdem tetap pada pendiriannya untuk tak memberikan nama calon menteri.
Terpisah, Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan Partai Nasdem tetap menjadi bagian dari koalisi pemerintahan Prabowo Subianto meskipun memutuskan tidak mengambil bagian di kabinet.
Muzani menekankan tidak masuk atau tidak ambil bagian dari susunan kabinet bukan berarti Nasdem tidak menjadi bagian dari pemerintahan.
"NasDem tidak mengajukan daftar untuk duduk di kementerian, tapi Nasdem mengatakan bagian dari koalisi [KIM]," kata Muzani di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (14/10/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto