tirto.id - DPR RI kembali diminta untuk tak sekadar bersolek dan unjuk gigi tanpa menjalankan tugas fungsinya. Hal itu dilontarkan sejumlah pengamat hukum dan pegiat demokrasi, merespons pernyataan DPR yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) tukang stempel pemerintah.
Mulanya, ucapan yang tertuju untuk MK dan MA itu dilontarkan anggota Komisi III DPR RI, Benny Kabur Harman. Politikus Partai Demokrat itu menyoroti program yang disampaikan MK dan MA terkait penyusunan anggaran 2025. Benny menilai, agenda lembaga yudikatif itu terkesan hanya melaksanakan program pemerintah.
Benny melontarkan kritik, kata dia, penyusunan anggaran oleh MK, MA, dan Komisi Yudisial merujuk pada agenda strategis nasional yang disusun oleh pemerintah. Ia menilai hal itu bermasalah, sebab ketiga lembaga yudikatif ditempatkan sebagai subordinasi kekuasaan eksekutif.
"Apa maunya pemerintah, MA tukang stempel, sama juga dengan MK, tukang stempel kehendak penguasa," kata Benny dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, di Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (4/9/2024).
Bahkan, Benny menilai langkah lembaga yudikatif itu seperti kembali ke zaman Orde Lama. Ia memandang semestinya lembaga-lembaga itu memiliki agenda yang otentik. Lebih lanjut, Benny menilai putusan MA turut mengakomodasi keinginan penguasa, yakni pada perkara judicial review Peraturan KPU.
“Kalau kemudian MA itu bikin judicial review PKPU, itu masuk akal. Karena cara pikirnya tadi adalah melaksanakan program pemerintah," kata Benny.
Sekilas, memang kritik dari Benny K Harman tampak garang dan patut diapresiasi. Namun, jadi soal ketika anggota DPR itu menuding MK dan MA sebagai tukang stempel pemerintah. Pasalnya, sejumlah pihak menilai sebutan itu lebih pantas tersemat untuk DPR, yang kerap meloloskan produk legislasi berbau kepentingan penguasa.
Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, memandang sikap kritis DPR melakoni fungsi pengawasan anggaran pertama-tama perlu diapresiasi. Namun, sikap kritis ini seakan baru timbul dan baru terlihat masyarakat sejak 10 tahun ke belakang.
“Sehingga wajar jika publik menilai ucapan anggota DPR terhadap MK dan MA kesannya sekadar mencari sensasi, atau bahkan mencari-cari kesalahan,” kata Kholil kepada reporter Tirto, Kamis (5/9/2024).
Lembaga Yudikatif sendiri punya tujuan yang harus dicapai, yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Maka, kata Kholil, anggaran yang disusun MK dan MA harus diorientasikan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Maka apapun program dan anggaran itu, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan ke publik bahwa itu demi hukum dan keadilan, maka MK dan MA dinilai sudah menjalankan fungsinya dengan benar. Adapun cap ‘tukang stempel’ pemerintah, lebih pantas dinilai dari sikap dan konsistensi suatu lembaga dalam menjalankan tugasnya.
“Bukan dinilai dari susunan program dan anggarannya tetapi dari sikapnya, yaitu apakah lembaga tersebut mampu menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional saat berhadapan dengan kekuasaan atau tidak,” terang Kholil.
Kholil memberikan contoh, dalam putusan MK Nomor 60/2024 dan Nomor 70/2024 lalu, MK dinilai berpihak pada keadilan sehingga tidak bisa dicap sebagai tukang stempel keinginan penguasa. Justru, kata dia, sikap DPR yang secepat kilat menggelar sidang untuk merevisi UU Pilkada setelah terbit putusan MK, pantas dicurigai sebagai sikap khas tukang stempel.
Apalagi jika menengok performa selama ini, DPR dan pemerintah selalu dengan mudah menelurkan produk undang-undang kontroversial. Pembentukan produk legislasi tiba-tiba berjalan mulus tanpa adanya sikap kritis dari DPR, misalnya dalam pembuatan UU Ibu Kota Negara (IKN).
Kholil berpendapat, jika DPR memang menjalankan fungsinya, proses lahirnya UU IKN pasti akan sengit. Yang terjadi justru sebaliknya, DPR langsung main stempel mengesahkan.
“Padahal UU IKN ini menyedot anggaran publik secara besar-besaran. Pajak rakyat banyak dihabiskan untuk membangun sesuatu yang tidak prioritas, di tengah-tengah banyaknya kebutuhan prioritas masyarakat,” ucap Kholil.
Tirto sudah berusaha meminta tanggapan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, ihwal pernyataan Benny yang menyebut MK hanya tukang stempel pemerintah. Namun, Fajar mengatakan belum bisa mengomentari karena tak ikut dalam rapat bersama Komisi III DPR RI.
"Saya belum bisa respons, karena saya enggak ikut RDP tadi. Saya sedang ada tugas lain," kata Fajar singkat kepada Tirto, Rabu sore.
Sementara itu, Juru Bicara MA, Suharto, belum merespons Tirto hingga berita ini ditulis.
Sementara itu, Direktur Eksekutif dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, memandang pernyataan Benny soal MA dan MK yang terkesan tunduk pada pemerintah, spesifik mencecar soal penyusunan anggaran. Menurut Rizky, skema anggaran lembaga-lembaga negara saat ini, salah satunya mengacu pada RPJPN dan RPJMN yang penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas selaku pemerintah.
Rizky memandang, komentar Benny masih masuk sebagai penerapan check and balances. Di mana tanggung jawab pengelolaan keuangan negara memang ada di pemerintah, namun lembaga negara di cabang kekuasaan lain berperan memberi masukan. Adapun untuk DPR, memang punya kewenangan mengawasi pelaksanaan anggaran.
“Perlu diketahui juga salah satu tahap penyusunan kedua dokumen perencanaan tersebut [RPJPN dan RPJMN] adalah Musrenbangnas, di mana semua lembaga negara termasuk MA dan MK hadir dan memberi masukan dalam forum tersebut,” kata Rizky kepada reporter Tirto, Kamis.
Pemerintah dalam penyusunan dokumen perencanaan hukum nasional wajib memastikan bahwa putusan-putusan MA dan MK sudah diintegrasikan di dalamnya. Adapun MA dan MK, saat menyusun rencana strategis lembaga harus menyelesaikan agenda RPJMN.
Di sisi lain, Rizky memandang kinerja legislasi DPR dan pemerintah memang patut dikritik. Terutama dalam 5 tahun belakangan, keduanya kompak menelurkan produk-produk hukum yang abai terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat.
“Revisi UU KPK tahun 2019 bisa dibilang titik penanda dimulainya proses legislasi yang kacau dan ugal-ugalan. Karena legislasi seolah-olah dimaknai sebagai proses dan produk keinginan pemerintah, bukan instrumen pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat,” ucap Rizky.
Pakar Hukum Tata Negara, Herlambang P Wiratraman, sependapat bahwa proses legislasi di DPR berjalan buruk dan ugal-ugalan. Pembentuk undang-undang masih sering abai pada rencana pembentukan produk legislasi yang prioritas untuk rakyat. Ia menilai, praktik seperti ini sudah termasuk dalam autocratic legalism.
“Satu ugal-ugalan, dua tidak menunjukkan partisipasi yang bermakna, dan ketiga sering kali mengesahkan hal yang dikubur oleh putusan MK. Ini yang disebut illegality dalam skema autocratic legalism,” kata Herlambang kepada reporter Tirto, Kamis.
Herlambang menyayangkan bahwa DPR dan pemerintah kerap membuat produk legislasi yang seolah menopang kepentingan oligarki. Misalnya dalam pembentukan UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga UU Minerba.
Adapun terkait kritik Benny kepada MK dan MA dalam penyusunan anggaran, Herlambang melihat ada relevansi soal lembaga kehakiman yang memiliki kecenderungan tunduk dalam skema lembaga eksekutif. Seharusnya, lembaga kehakiman dapat bertindak lebih mandiri.
“Ini sebetulnya merefleksikan suatu ketidakmandirian dari institusi kehakiman. Secara ketatanegaraan, sebetulnya kehakiman bisa menetapkan atau menentukan sendiri skema penganggaran mereka,” kata dia.
Berkaca dan Evaluasi
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menegaskan bahwa lembaga yang paling pantas disebut ‘tukang stempel’ adalah DPR. Pasalnya, wakil rakyat di Senayan itu justru yang paling sering menimbulkan kerusuhan ketatanegaraan selama ini.
“Misalnya mengeluarkan undang-undang yang kemudian kontroversial. Ini agak salah alamat Benny mengkritik [MK dan MA] demian,” kata Haykal kepada reporter Tirto, Kamis.
Secara objektif, kata dia, memang MK dan MA tidak lepas dari kritik dan apresiasi. Misalnya, MK pernah membuat putusan Nomor 90/2023 soal batas usia capres-cawapres. Putusan ini membuat putra presiden, Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu belum cukup umur, dapat mendaftar dan memenangkan Pilpres.
Namun, MK kemudian mengeluarkan putusan yang sejalan dengan konstitusi lewat putusan 60 dan 70 yang meluruskan penafsiran MA dan KPU soal batas usia calon kepala daerah.
Adapun MA, kata Haykal, sempat membuat gaduh karena putusan soal syarat usia kepala daerah. Namun, Haykal turut mengapresiasi putusan MA soal keterwakilan perempuan di pemilu legislatif.
Di sisi lain, justru sangat sulit memberikan apresiasi kepada DPR sejauh ini. DPR cenderung menjadi tukang stempel pemerintah karena tidak memberikan perdebatan membangun atau tidak mengonstruksi aspirasi rakyat dalam pembentukan undang-undang.
“DPR dalam forum legislasinya sering kali itu malah menyebabkan kekisruhan dibandingkan MA dan MK. Tidak bisa DPR cuci tangan kalau kekisruhan ini adalah kesalahan MK dan MA yang menjadi stempel pemerintah,” ujar Haykal.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai bukan hanya pemerintah yang memanfaatkan kekuasaan di bidang anggaran untuk dapat ‘mengintimidasi’ lembaga negara lain. DPR, kata Lucius, juga kerap melakukan itu, misalnya mengancam tidak mendukung anggaran yang diajukan KPK saat mereka tidak akur.
DPR dalam hal ini seharusnya bisa mencarikan jalan keluar agar program anggaran MA dan MK tak seakan ‘manut’ pemerintah saja.
“Di situlah fungsi anggaran DPR bisa digunakan. Kan yang punya kuasa mengawasi pemerintah dan membahas anggaran itu adalah DPR,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Kamis.
Lucius memandang, dalam pelaksanaan fungsi anggaran, tidak ada gagasan atau usulan progresif dari DPR yang bisa memperlihatkan keberpihakan mereka terhadap rakyat. DPR lebih banyak menyetujui anggaran pemerintah tanpa catatan dan tambahan yang berarti.
Adapun dalam fungsi pengawasan sama saja. Sikap kritis dari DPR mengontrol pemerintah, baru terasa setelah timbul perpecahan koalisi dukungan terhadap pemerintahan saat ini.
Bukti lain, kata Lucius, terlihat dengan jelas dalam pembentukan legislasi. Hampir semua undang-undang prioritas yang diinginkan pemerintah dengan mudah disetujui DPR. Bahkan, DPR rela membahas kilat rancangan undang-undang jika pemerintah berkehendak.
“Kalau DPR hanya bisa berkomentar seperti yang disampaikan Benny di atas, ya sami mawon dong. DPR-nya, sama-sama jadi tukang stempel pemerintah,” pungkas Lucius.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky