Menuju konten utama

Mengapa Pengangguran Terbanyak Justru Lulusan SMK?

Peningkatan pengangguran lulusan SMK berisiko menurunkan kualitas pertumbuhan ekonomi.

Mengapa Pengangguran Terbanyak Justru Lulusan SMK?
ILUSTRASI. Siswa SMK Negeri 9 Surakarta menggelar karya desain grafis dalam pameran hasil praktik pembelajaran program keahlian di sekolah setempat, Solo, Jawa Tengah, Rabu (2/5/2018). ANTARA FOTO/Maulana Surya.

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2018 adalah sebanyak 133,94 juta orang. Adapun angka tersebut meningkat 2,39 juta dari jumlah angkatan kerja pada Februari 2017.

Apabila dirinci lebih lanjut, angka sebesar 133,94 juta orang itu terdiri dari 127,07 juta orang yang merupakan penduduk bekerja, sedangkan 6,87 juta orang dikategorikan sebagai pengangguran.

“Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 140 ribu orang, sejalan dengan TPT [Tingkat Pengangguran Terbuka] yang turun menjadi 5,13 persen pada Februari 2018,” kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (7/5/2018).

TPT sendiri merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar. Berdasarkan data BPS itu, TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah yang tertinggi dibandingkan tingkat pendidikan lain. Besarannya mencapai 8,92 persen.

Kendati masih menjadi yang tertinggi, akan tetapi persentase TPT untuk level pendidikan SMK itu sudah turun sekitar 2,49 persen ketimbang data yang dirilis pada Agustus 2017. Kala itu, persentasenya mencapai 11,41 persen.

Direktur Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Bakrun tidak sepenuhnya setuju pada anggapan bila kualitas pendidikan SMK menyebabkan lulusannya menyumbangkan jumlah pengangguran terbesar. Menurut Bakrun, besaran persentase yang disampaikan BPS itu seharusnya bisa dimaknai bahwa ada fenomena tersendiri pada lulusan SMK.

“Persentase itu, kan, bukan angka kuantitatif. Jadi seharusnya perlu dilihat juga persentase dalam lima tahun terakhir. Tidak akan mungkin langsung berubah, tapi dari tren yang terlihat ada penguatan pada lulusan SMK,” kata Bakhrun kepada Tirto, Selasa (8/5/2018).

Menurut Bakhrun, pemerintah saat ini telah merancang kurikulum yang sesuai dengan keinginan industri. Tak hanya itu, pihaknya juga terus menjalin kerja sama dengan industri guna meningkatkan peluang kerja bagi lulusan SMK.

Akan tetapi, Bakhrun tidak menampik bahwa lulusan SMK saat ini cenderung lebih ingin diakui sehingga ekspektasinya kepada lapangan kerja pun semakin tinggi. Oleh karena itu, Bakhrun menilai lulusan SMK menjadi kian selektif dalam urusan mencari kerja ketimbang mereka yang lulusan SD maupun SMP.

“Kalau dikatakan adanya mismatch, sebenarnya sudah sejak dulu untuk perguruan tinggi juga tidak ada yang match kecuali untuk yang memang [menempuh pendidikan] profesi,” kata Bakhrun.

Guna meningkatkan kualitas pendidikan SMK, Bakhrun menyebut pemerintah terus melakukan sinkronisasi antara kurikulum dengan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, ia berpendapat bahwa kualitas dapat ditingkatkan lewat kerja sama yang erat dan mengembangkan kompetensi yang memang dibutuhkan saat ini.

Bakhrun mengatakan, kurikulum SMK sudah mengadaptasi kurikulum yang lebih modern ketimbang level pendidikan lain. Selain itu, ia juga mengklaim peminat untuk pendidikan SMK relatif meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Rata-rata kenaikannya setiap tahun mencapai 250 ribu siswa di seluruh Indonesia.

Infografik Current Issue SMK pengangguran

Dihubungi secara terpisah, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, kelompok angkatan kerja yang merupakan lulusan SMK maupun SMA (Sekolah Menengah Atas) relatif besar. Berdasarkan data yang dihimpun INDEF, angkatan kerja pada level pendidikan tersebut berjumlah 35,8 juta orang atau sekitar 28,2 persen dari total angkatan kerja.

“Kalau kelompok itu penganggurannya tinggi, maka pendapatan masyarakat secara umum bisa terganggu,” kata Bhima kepada Tirto, Selasa (8/5/2018).

Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa TPT di tingkat SMK berisiko menurunkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Belum lagi ditambah realita bahwa Indonesia bakal menghadapi bonus demografi pada 2030 mendatang.

“Itu dapat berubah jadi bencana demografi karena angkatan kerja produktifnya menganggur,” kata Bhima menambahkan.

Bhima sendiri berpendapat pasar tenaga kerja di Indonesia memiliki kesenjangan pada aspek keahlian. Menurutnya, keahlian yang dihasilkan dari lulusan lembaga pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan industri.

Oleh karena itu, Bhima mengatakan perlunya perombakan pada kurikulum di tataran SMK. Selain memperbanyak praktikum dan meningkatkan keahlian pada hal-hal yang berkaitan dengan digital, Bhima menilai pentingnya pengembangan model pemagangan.

“Jadi SMK sekarang dituntut untuk lebih banyak bekerja sama dengan industri. Program pemagangan bisa jadi solusi,” kata Bhima.

Senada dengan Bhima, pengamat pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema menyatakan perlunya perbaikan pada kurikulum di tingkat SMK. Menurut Doni, kurikulum tersebut seharusnya tidak dibuat oleh pemerintah semata, melainkan dominasi dari dunia industri sehingga lulusannya bisa relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat penggunanya.

“Perbaikan SMK, kan, baru-baru ini saja. Sehingga SMK yang diperbaiki ini pun belum menghasilkan lulusan [yang signifikan]” kata Doni.

Selain dari segi kurikulum, Doni pun mengimbau agar lulusan SMK juga dapat meningkatkan kualitas pada sisi keterampilan dan pengetahuannya. Karena kualitas pada dua hal itu yang masih dianggap rendah, Doni mengatakan dunia industri lebih condong memilih lulusan SMA ketimbang SMK.

Baca juga artikel terkait PENGANGGURAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz