tirto.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2018 mencapai 5,06 persen. Ada berbagai faktor mempengaruhinya, salah satunya dari sisi pertumbuhan lapangan usaha di sektor konstruksi, yang kontribusinya mencapai 0,72 persen.
Pertumbuhan sektor konstruksi ini pada triwulan I-2018 sebesar 7,35 persen terhadap triwulan I-2017 (year on year/yoy). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi ini terbesar kedua setelah kontribusi dari sektor industri pengolahan yang sebesar 0,97 persen dengan angka pertumbuhan 4,50 persen.
Kepala BPS Suhariyanto, yang biasa dipanggil Kecuk, menyebutkan nilai kontribusi sektor konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10,49 persen atau senilai Rp367,8 triliun. Sementara, PDB total triwulan I-2018 adalah Rp3.505 triliun.
Secara hitungan tahunan atau year on year (yoy), kontribusi konstruksi mengalami peningkatan dengan pertumbuhan positif. Namun jika dibandingkan terhadap triwulan IV-2017 (quartal to quartal/qtq), maka ada penurunan pertumbuhan sektor konstruksi sebesar minus 4,60 persen.
Dilihat kontribusi terhadap PDB turun Rp13,1 triliun, dari triwulan IV-2017 sebesar Rp380,9 triliun menjadi Rp367,8 triliun.
Di sisi lain, Indeks Tendensi Bisnis (ITB) yang mencerminkan kondisi bisnis yang bergairah dan optimisme pelaku usaha di sektor konstruksi pada triwulan I-2018 mengalami kelesuan. ITB mencapai di level 100, yaitu 92,16. Angka ini turun dibandingkan triwulan IV-2018 sebesar 107,47.
Kecuk pun memperkirakan kondisi bisnis konstruksi belum cukup membaik pada pada triwulan II-2018, dengan hanya diperkirakan nilai indeksnya naik menjadi 98,72.
"Mungkin ini lebih disebabkan karena mereka menyadari bahwa pada Mei dan Juni [triwulan II-2018] memasuki puasa, sehingga hari kerjanya akan berkurang. Itu yang menyebabkan sektor konstruksi dan pertambangan dan penggalian di bawah indeks 100," ungkapnya di kantor BPS Jakarta pada Senin (7/5/2018).
Pengamat melihat fenomena di sektor konstruksi memang ada sedikit anomali. Di satu sisi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tapi di sisi lain indeks tendensi bisnisnya rendah. Ada beberapa analisa yang coba dijabarkan oleh pengamat ekonomi.
"Sebenarnya di sektor Konstruksi ini ada anomali. Mendekati 2019 seharusnya kan pelaku usaha optimis karena proyek infrastruktur mengalami percepatan," ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Tirto pada Selasa (8/5/2018).
Ia menganalisa penyebab ITB pada sektor konstruksi rendah. Pertama, adalah proyek infrastruktur cenderung padat modal dan padat teknologi, sehingga multiplier effect-nya masih kecil ke ekonomi khususnya ke kontraktor kecil.
"Ini sempat dikonfirmasi oleh data Gapensi [Asosiasi Jasa Konstruksi Nasional] bahwa jumlah kontraktor berkurang 37 ribu perusahaan dalam 3 tahun terakhir. Karena kurang dilibatkan ke proyek infrastruktur, pembayaran bermasalah dan sebagainya. Jadi tidak semua pengusaha konstruksi happy dengan proyek infrastruktur," terangnya.
Kedua, serapan tenaga kerja sektor Konstruksi dari data BPS terus merosot 1,17 persen (1,08 juta orang) dari 6,72 persen (8,14 juta orang) per Agustus 2017 menjadi 5,55 persen (7,06 juta orang) per Februari 2018.
"Ini jadi indikasi bahwa pembangunan infrastruktur tidak efektif serap tenaga kerja. Bahkan, data BPS tahun 2016 sudah bilang penyerapan tenaga kerja sektor konstruksi turun 230 ribu orang," ucapnya.
Ia kemudian menambahkan bahwa hal itu dapat mencerminkan bahwa harapan pemerintah infrastruktur mendorong ekonomi belum sepenuhnya berjalan.
Lalu ia melanjutkan bahwa faktor ITB sektor Konstruksi masih rendah juga karena imbas sektor properti. Artinya tekanan pada pembangunan perumahan, hotel, bangunan perkantoran masih cukup besar. Sejak 2014-2017, disebutkannya, penjualan properti masih lambat.
"Faktornya karena daya beli masyarakat terutama kelas menengah cenderung turun, sementara kelas atas menahan belanja akibat ada ketidakpastian politik dan risiko usaha besar," terangnya.
Direktur Center of Reform on Economics (Core), Muhammad Faisal menjabarkan analisa yang sedikit berbeda mengenai ITB yang rendah dari sektor konstruksi.
Pertama, mulai tahun ini juga pemerintah sudah berencana mengerem laju pembangunan beberapa proyek infrastruktur. Contohnya, pengurangan proyek yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), dari semula 245 proyek menjadi 222 proyek.
"Berdasarkan evaluasi bahwa implementasi proyek tersebut terkendala di lapangan, sehingga hingga kini belum masuk tahap konstruksi," ujarnya.
Kemudian faktor kedua, yang mungkin terkait dengan faktor pertama adalah masalah pembiayaan proyek konstruksi atau infrastruktur.
"Dari sisi pembiayaan yang sebenarnya relatif terbatas terutama yang di luar pembiayaan APBN. Juga dari sisi kredit perbankan di sektor ini yang NPL-nya (non-performing loan/kredit bermasalah) masih tinggi," tuturnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri