tirto.id - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai beberapa pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sangat berbahaya karena negara berpotensi terlalu jauh mengurusi urusan personal, terlebih mengenai ibadah keagamaan.
"Padahal namanya pemerintah itu bisa berganti-ganti corak pemerintahannya. Kalau sekarang bisa menghargai keberagaman dan pemerintahan berikutnya bisa sangat intoleran bagaimana? Jika pemerintah membuang HAM sebagai prioritas, tentu ini sangat barbahaya," katanya sangat dihubungi reporter Tirto pada Minggu (28/10/2018) pagi.
"Justru RUU ini berpotensi menjadi pintu masuk menghambat keberagaman di Indonesia," lanjutnya.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) juga mengeluarkan rilis sebagai respons terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru. Mereka mengkritik beberapa pasal dari RUU tersebut, khususnya pasal 69-70, yang terlalu mengatur secara detail aktivitas keagamaan sekolah minggu dan katekisasi.
Beberapa hal yang dipermasalahkan seperti jumlah minimal peserta didik hanya 15 orang dan harus mendapat izin dari Kanwil Kemenag daerah setempat. Hal tersebut dirasa tidak cocok mengingat sistem pendidikan sekolah minggu dan katekisasi sangat kultural.
Kata Asfin, jika pemerintah memiliki argumen agar pengajaran keagamaan tidak sembarangan dan tidak ditunggangi pihak tertentu, hal tersebut tak bisa ditanggulangi lewat UU.
"Memang pembatasan hanya bisa dengan UU. Tapi dilihat dulu apa yang diatur, harusnya yang diatur itu yang umum-umum saja. Tidak mengajarkan hate speech atau rasialisme, misalnya, jadi harus yang umum. Kalau ini terlalu detail," katanya.
Asfin juga menilai jika pendidikan keagamaan harus memiliki peserta didik minimal 15 orang, hal tersebut sangat menyulitkan agama minoritas yang jumlahnya sedikit di daerah-daerah terpencil.
"Jika menggunakan minimal nominal, ini sangat terlihat mengacu agama mainstream. Bagaimana jika agama minoritas? Bagaimana jika dalam satu daerah hanya ada dua orang? Harusnya pemerintah berpikir ke arah sana juga," katanya.
Pasal soal sekolah minggu dan katekisasi juga mendapat kritik dari aktivis Kristen dan Lintas Agama Jeirry Sumampow. Ia mengatakan beberapa pasal di dalam RUU itu tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Salah satu yang dikritik Jeirry adalah pasal soal penerapan sekolah minggu dan katekisasi dalam RUU tersebut yang ia nilai keliru. Ia mengatakan bahwa apa yang tertulis dalam RUU tidak sesuai dengan kegiatan di lapangan.
Jeirry yang pernah menjabat sebagai Kepala Humas Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) ini menilai pemberlakuan minimal 15 peserta didik di sekolah minggu dan katekisasi tidak tepat dan justru akan menjadi pembatasan beribadah.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dipna Videlia Putsanra