tirto.id - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah menyelidiki seluruh perusahaan produsen dan penyedia obat sirop yang mengandung Etilen glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Kasus gangguan ginjal akut (acute kidney injury/AKI) misterius pada anak diduga akibat cemaran senyawa berbahaya tersebut
“Segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup yang diduga mengandung etilen glikol dan dietilen glikol,” kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur melalui keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022).
Saat ditemukan pelanggaran hukum, Isnur meminta pemerintah mengambil tindakan tegas berupa sanksi administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Temuan itu kemudian diteruskan ke tahap pro justitia atau proses hukum berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan.
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),” bunyi Pasal 196 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Isnur menambahkan keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan dan pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara.
Isnur menyayangkan lemahnya fungsi pengawasan dari pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, lambannya respons pemerintah atas kasus gangguan ginjal akut telah menelan banyak korban jiwa.
“YLBHI menilai pemerintah lambat merespon kasus tersebut, sehingga situasi ini membahayakan keberlangsungan hidup bagi anak,” ujarnya.
YLBHI mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganan gangguan ginjal akut tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak. Korban dalam persebaran penyakit ini masuk kategori anak sebagai kelompok rentan.
“Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara,” bunyi Pasal angka 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
Selain itu, YLBHI mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menyiapkan alternatif obat bagi anak selain obat sirop atau cair. YLBHI juga mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan perlindungan yang komprehensif berupa pencegahan efektif, rehabilitasi korban yang terindikasi mengalami dampak, memprioritaskan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan (faskes) untuk kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak ini, serta melibatkan peran orang tua, keluarga, dan masyarakat.
“Dengan ini kami menghimbau kepada negara untuk melaksanakan tugas konstitusionalnya dengan memaksimalkan sumber daya secara maksimum untuk menjamin keselamatan warga negara atas peristiwa ini,” tutur dia.
Dalam keterangan terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Menkes) memastikan fenomena gagal ginjal akut pada anak disebabkan cemaran zat kimia Etilen Glikol (EG ), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE) pada obat sirup. Menurut Budi, kepastian ini dikeluarkan setelah Kementrian Kesehatan melakukan penelitian cukup panjang.
"Hasilnya kita simpulkan penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran dari pelarut obat itu," ujar Budi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022).
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Gilang Ramadhan