Menuju konten utama

Yang Untung dan Buntung Soal Biaya Isi Ulang E-Money

Benarkah aturan tarif isi ulang uang elektronik sebuah keputusan tepat?

Yang Untung dan Buntung Soal Biaya Isi Ulang E-Money
Ilustrasi Top up. FOTO/uxdesign.cc

tirto.id - “Atas kebijakan baru Bank Mandiri, nilai pengisian saldo Go-Pay Anda akan dipotong Rp2.500 oleh Bank Mandiri per 15 September 2017.”

Go-Jek mengirimkan pesan itu ke konsumen tentang potongan Rp2.500 jika melakukan isi ulang lewat Bank Mandiri. Kejadian ini lantas menuai pro dan kontra dan mengawali polemik biaya isi ulang uang elektronik alias e-money.

Potongan itu diduga sebagai biaya administrasi untuk transaksi isi ulang. Hal ini tentu mengejutkan banyak orang, sebab sejak tabiat masyarakat berubah menggunakan e-money, biaya semacam itu tak ada alias gratis. Lantas ada sentimen negatif datang dari konsumen, sebabnya sederhana: bagi sebagian orang uang sebesar Rp2.500 memang mungkin kecil, tapi belum tentu bagi yang lainnya.

Namun, sebelum protes berkembang lebih besar, Go-Jek akhirnya mengirim pesan lagi mengatakan: “Terkait dengan SMS dari GO-JEK tanggal 13 September 2017, bersama ini kami konfirmasi bahwa pemotongan nilai pengisian saldo Go-Pay sebesar Rp2.500 untuk top up (isi ulang) melalui Bank Mandiri tidak akan diberlakukan,” keterangan GO-JEK melalui rilis, 15 September 2017.

Baca juga: Go-Jek Batalkan Rencana Biaya Tambahan Isi Ulang Go-Pay

Namun, setelah itu bukan berarti pembahasan tarif isi ulang e-money berhenti di sana. Bank Indonesia (BI), ingin membuat sebuah aturan baru tentang tarif isi ulang. Tujuannya untuk melancarkan pelaksanaan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang sudah digagas sejak satu dekade lalu, tapi baru dicanangkan lebih luas pada 2014 silam. Program itu ingin mendorong masyarakat Indonesia menjadi Cashless Society, yang dalam transaksi keuangan tak lagi ribet memakai uang kartal, tapi cukup dengan uang elektronik.

Manfaatnya memang positif. Uang elektronik membawa kemudahan transaksi dan efisiensi: tak perlu lagi bawa dompet, kalau sudah pegang ponsel. Selain ada berapa banyak waktu yang dihemat ketika tak perlu lagi lari sana-sini cari ATM demi uang tunai. Belum lagi perkara keamanan. Transaksi cashless lebih mudah dilacak, dan jauh dari ancaman korupsi. Lalu soal urusan menyelamatkan lingkungan: berapa banyak kertas yang bisa dihemat dengan berkurangnya uang kartal yang beredar di masyarakat.

Baca juga:

Demi menuju ke sana, sejumlah kementerian juga mengeluarkan aturan yang dapat membantu percepatan GNNT. Salah satunya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI)¸Perbankan dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). PT Jasa Marga, selaku operator tol untuk menerapkan pembayaran tol dengan e-money serentak mulai Oktober 2017. Bahkan, pengguna jalan tol tidak harus menghentikan kendaraan di gerbang tol untuk bertransaksi tunai pada Desember 2018.

Sebelum itu terwujud, BI tampaknya ingin lebih dulu mengatur tentang tarif isi ulang e-money. Aturan itu akhirnya keluar, Kamis, 21 September 2017. Lebih cepat dari target awalnya, akhir bulan ini. Gubernur BI Agus Martowardojo beralasan aturan itu perlu lebih cepat keluar untuk mendukung sistem pembayaran e-toll bertahap mulai per 1 Oktober 2017. Agus berpendapat kebijakan itu dibuat mempertimbangkan kebutuhan perbankan terhadap biaya investasi, terutama dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.

“Yang paling utama Bank Indonesia akan perhatikan adalah perlindungan konsumen. Meyakinkan bahwa sistem itu tidak kemudian mengambil manfaat atau ada rente ekonomi,” ungkap Agus, Selasa, 19 September.

Ketentuan isi ulang e-money itu dikategorikan jadi dua jenis. Pertama, Top Up On Us: isi ulang yang dilakukan lewat bank penerbit kartu. Untuk transaksi ini, pengisian ulang bernilai sampai Rp200 ribu tidak dikenakan biaya. Di atas itu, dikenakan biaya. Tarif maksimal yang diatur tak boleh lebih dari Rp750.

Kedua, disebut Top Up Off Us: isi ulang yang dilakukan lewat bank lain atau mitra lain, akan dikenakan biaya maksimal sebesar Rp1.500. Misalnya, seorang nasabah Bank A ingin isi ulang lewat Bank B, atau pihak ketiga seperti di minimarket dan lainnya.

Baca juga: BI Tetapkan Biaya Isi Ulang E-Money Maksimal Rp1.500

Penentuan nilai Rp200 ribu sebagai batas dikenakannya biaya isi ulang adalah karena 96 persen masyarakat Indonesia lebih sering melakukan top up di bawah angka tersebut. Sementara tarif Top Up Off Us dibikin untuk menyeragamkan harga di pasar yang masih variatif. “Kalau isi di pihak ketiga bisa Rp2.000 sampai Rp4.000. Kita bikin batasnya, biar tertib,” tambah Agus.

Infografik Drama ISI Ulang Top Up

Mereka yang Menolak

Aturan ini kemudian menuai banyak respons. Salah satunya datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Demi nama konsumen, mereka menolak tarif isi ulang e-money. “Ketika sedang menggalakkan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai), seharusnya jangan dinodai dengan polemik seperti ini,” kata Sularsi, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI saat dihubungi Tirto, Kamis, 21 September.

Bank Indonesia, menurut Sularsi, harusnya lebih fokus pada literasi keuangan masyarakat Indonesia, yang diklaimnya baru mencapai 60 persen. Perpindahan transaksi masyarakat dari yang tadinya tunai menjadi non tunai perlu sosialisasi lebih terutama pada masyarakat di luar Jakarta.

“Menumbuhkan kesadaran untuk bertransaksi non tunai, itu lebih penting. Bukannya langsung dikenakan biaya semacam ini,” ungkap Sularsi.

Nada serupa juga datang dari ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira. Ia menganggap biaya tersebut bisa menjadi disinsentif terhadap masyarakat, terlebih menjelang penerapan elektronifikasi 100 persen pembayaran jasa tol pada 31 Oktober 2017. Pengenaan biaya isi saldo justru membuat masyarakat enggan menggunakan uang elektronik dan kembali ke transaksi tunai.

“Awalnya sudah meminta masyarakat lebih aktif menggunakan uang elektronik dan mendorong gerakan non tunai, tapi sekarang justru dikenakan biaya,” kata Bhima dikutip dari Antara.

“Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-money tidak perlu lagi memungut biaya isi saldo meskipun hanya Rp1.000 sekali transaksi,” kata Bhima.

Analisis Bhima ada benarnya. Sebagian bank memang tak ikut pasang tarif isi ulang uang elektronik jika masih transaksi lewatnya. Misalnya, Bank Mandiri. “Top up di ATM tidak di-charge. Kalau vendor lain, seperti Indomaret itu kan menggunakan infrastruktur mereka (sehingga kena tarif Top Up Off Us),” kata Direktur Utama PT Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo, Selasa, 19 September 2017.

Namun, dengan disahkannya aturan tersebut, bank yang selama ini menggratiskan tarif Top Up On Us, akhirnya punya dasar menerapkan biaya. Sudah hal umum, fee base income atau pendapatan non bunga perbankan menjadi hal penting untuk mendongkrak bisnis bank.

Perbankan tentu tak ada yang menolak mendapat kesempatan semacam ini, tapi bagi konsumen tentu ada dari sebagian mereka tak mudah menerimanya karena ada potensi aturan yang dilanggar.

Bagi Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) David Maruhum Tobing melaporkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo ke Ombudsman beberapa hari lalu. Menurutnya, aturan itu berpotensi melanggar Undang-Undang Mata Uang Nomor 7 Tahun 2011, yang mengatur bentuk rupiah sebagai uang logam maupun kertas, bukan uang elektronik.

Ia juga menilai kebijakan ini berpotensi melanggar hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan uang kertas atau logam, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Jo. 23 ayat (1) Jo. 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011.

Gubernur BI Agus Martowardojo sempat menanggapi keberatan dari David Tobing. “Mungkin belum dibaca dengan lengkap. Terkait dengan Undang-Undang Mata Uang, yang utama itu adalah pembayaran dalam Rupiah dan dilakukan secara tunai dan non tunai. Jadi yang paling utama adalah membayar dalam Rupiah,” jelas Agus.

Baca juga:

Sesuai amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004, tugas BI di bidang sistem pembayaran memang mencakup sistem pembayaran tunai dan non tunai. Uang elektronik yang termasuk non tunai juga sudah diatur di sejumlah peraturan BI, termasuk regulasi isi ulang uang elektronik ini yang baru aktif 21 Oktober mendatang.

Namun David tetap menyesalkan tindakan BI karena tetap mengeluarkan aturan tersebut. “Seakan ada target yang harus dikejar. Masalah ini sedang diselidiki Ombudsman terkait dugaan maladministrasinya,” ucap David kepada Tirto melalui pesan singkat, pada Kamis siang.

Ia memang belum lihat aturan itu secara lengkap, namun saat disinggung mengenai biaya isi ulang uang elektronik yang dipatok di kisaran Rp750 hingga Rp1.500, David memberikan pandangannya:“Intinya nilai uang tunai yang dipegang masyarakat tidak boleh berkurang ketika diarahkan ke uang elektronik.”

Bank Indonesia sudah memutuskan soal biaya isi ulang ini, di sisi lain masih ada upaya menunggu telaah dari Ombudsman soal pelemik ini. Ombudsman memang punya tugas melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Masih ada ruang bagi Ombudsman sebelum kebijakan BI yang kontroversial ini berlaku efektif akhir bulan depan.

Ombudsman kini jadi tumpuan untuk mencegah potensi maladministrasi bisa terjadi yang bisa merugikan konsumen nantinya. Dalam keterangan resmi BI, soal ketentuan isi ulang ini, menegaskan "Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengevaluasi kebijakan skema harga." Tentu ini bisa jadi potensi makin membebani konsumen di kemudian hari bila aturan ini lolos dari dugaan maladministrasi atau sebaliknya.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait E-MONEY atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra