tirto.id - Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Dadan Suharmawijaya berkomitmen untuk menindaklanjuti aduan David Tobing terkait rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik atau e-money yang dibebankan konsumen.
“Karena ini kebijakan dikeluarkan BI, dan yang menjadi terlapor adalah BI. Pak David Tobing melaporkan adanya dugaan maladministrasi BI atas kebijakan isi ulang tersebut,” ujar Dadan di kantornya pada Senin (18/9) siang.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) periode 2013-2016 David Maruhum Tobing melaporkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo ke Ombudsman, Senin (18/9/2017). Laporan ini terkait rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik (e-money).
Baca juga:Gubernur BI Dilaporkan Soal Biaya Isi Ulang E-Money
Dadan menyebutkan Ombudsman akan memverifikasi aduan David dalam kurun waktu maksimal 14 hari. Menurut Dadan, poin-poin yang akan dikaji di antaranya menimbang kapasitas Ombudsman dalam menangani aduan tersebut hingga pendalaman terhadap potensi maladministrasi.
Baca juga: Aksi-aksi Tindakan Hukum oleh David Tobing
“Selanjutnya Ombudsman akan memanggil para pihak. Kita juga minta kelengkapan data ke pelapor dalam 30 hari. Kalau pelapor tidak melengkapi data yang dibutuhkan, itu dinilai mencabut laporannya,” kata Dadan.
“Tapi kalau sudah melengkapi semuanya, kita akan melakukan proses klarifikasi. Dari sana kita baru mengeluarkan sesuatu yang bersifat hasil telaah,” tambah Dadan.
Ia menyebutkan bahwa Ombudsman bakal cenderung melihat rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik ini dari segi substansi.
“Kita akan telaah kenapa biaya isi ulang harus jadi beban konsumen? Padahal ini upaya untuk memperlancar bentuk layanan, kemacetan, dan sebagainya, bukannya itu jadi tanggung jawab penyelenggara?” ucap Dadan.
Ia turut mempertanyakan keuntungan yang didapat dari pengenaan biaya isi ulang tersebut. Dadan berjanji pihak perbankan bakal ikut dipanggil, mengingat sebelum ini tidak ada pengenaan biaya bagi masyarakat yang hendak mengisi saldo uang elektronik.
“BI tentu jadi pihak yang utamanya kita minta klarifikasi. Kemudian nanti pihak-pihak yang terkait, seperti penyelenggara jalan tol juga dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai pengawas dari otoritas keuangan,” ungkap Dadan.
Dadan menyatakan bahwa pelaporan terkait pengenaan biaya isi ulang uang elektronik baru dilakukan oleh David. Kendati demikian, Dadan tidak menampik apabila permintaan dari masyarakat untuk menindak rencana pemberlakuan aturan tersebut sudah didengar oleh Ombudsman.
Sementara itu, David menekankan bahwa setidaknya ada dua dugaan yang menjadi landasan pelaporannya ke Ombudsman. Kedua dugaan tersebut ialah pelanggaran hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas maupun logam sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, serta tindakan maladministrasi.
“Dugaan maladministrasinya yaitu membuat kebijakan yang memihak dan menguntungkan golongan tertentu. Dalam hal ini, kebijakan diduga menguntungkan perbankan dan pengelola bank,” jelas David di Kantor Ombudsman.
David pun lantas menyinggung alasan dikenakannya biaya tambahan itu yang disebut untuk pemeliharaan. “Itu kan konsekuensi pemilik alat. Kalau dia tidak sanggup melakukan transaksi seperti itu, ya jangan lakukan,” kata David.
Ia berpesan agar pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan transaksi nontunai memiliki kesiapan secara finansial. Sehingga masyarakat tidak dibebankan dengan biaya tambahan, mengingat pilihan untuk transaksi tunai pun lambat laun bakal ditiadakan.
“Tolonglah konsumen diberikan pilihan. Dia mau bayar tunai atau uang elektronik, tapi ada pilihannya. Selama Undang-Undang Mata Uang masih mengatur uang logam dan uang kertas, tidak boleh menolak uang tersebut,” ujar David.
Senada dengan David, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mengkritik rencana Peraturan BI tersebut. YLKI menilai aturan tersebut bertentangan dengan upaya BI untuk mewujudkan masyarakat yang lebih ramah dengan transaksi nontunai.
“Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya isi ulang. Justru dengan model uang elektronik, konsumen layak mendapatkan insentif,” ujar Ketua Harian YLKI Tulus Abadi kepada Tirto.
Tulus menegaskan pengenaan biaya isi ulang masih bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank untuk mengisi saldo. “Selebihnya no way, harus ditolak!” kata Tulus.
Selain itu, Tulus juga menilai sektor perbankan yang menggali pendapatan dengan mengandalkan “uang recehan” tidaklah pantas. Ia mendorong agar BI membatalkan rencana pembuatan aturan tersebut.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo telah memastikan bahwa aturan terkait pemungutan biaya isi saldo uang elektronik perbankan dari konsumen akan terbit akhir September 2017.
Agus berpendapat kebijakan tersebut dibuat karena mempertimbangkan kebutuhan perbankan terhadap biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.
“Kami berharap masyarakat memahami kalau tidak ada biaya isi ulang, nanti akan terbatas itu kesediaan sarananya,” ujar Agus pada Jumat (15/9) lalu di Banten sebagaimana dikutip dari Antara.
Untuk pengenaan biayanya, kalangan pelaku usaha jasa sistem pembayaran mengusulkan adanya fee based income di kisaran Rp1.500 hingga Rp2.000 setiap kali dilakukannya isi ulang.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Suhendra