Menuju konten utama

Gubernur BI Dilaporkan Soal Biaya Isi Ulang E-Money

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo dilaporkan ke Ombudsman RI, Senin (18/9/2017), terkait rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik (e-money).

Gubernur BI Dilaporkan Soal Biaya Isi Ulang E-Money
Petugas parkir menjelaskan kepada warga penggunaan sistem layanan parkir berbasis elektronik E-Parkir usai acara Launching Sistem parkir elektronik berbasis e-Money di jalan Gatot Subroto, Solo, Jawa Tengah, Jumat (4/8). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha.

tirto.id - Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) periode 2013-2016 David Maruhum Tobing melaporkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo ke Ombudsman, Senin (18/9/2017). Laporan ini terkait rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik (e-money).

BI dalam waktu dekat akan menerbitkan peraturan yang berisi tentang pengenaan biaya sebesar Rp 1.500-2.000 tiap kali isi ulang. Peraturan BI ini sudah masuk dalam tahap finalisasi dan akan selesai sebelum September 2017. Peraturan ini akan ditindaklanjuti oleh perbankan dan lembaga keuangan.

Ombudsman RI diminta memberikan rekomendasi kepada BI untuk membatalkan rencana penerbitan kebijakan tersebut. Sementara BI diminta melindungi hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan rupiah, baik kertas ataupun logam.

“Seharusnya konsumen justru mendapat insentif dalam pelaksanaan program cashless society,” kata David kepada Tirto.

Pengacara yang fokus di isu perlindungan konsumen ini menduga bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan pada pengusaha serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. David juga menilai bahwa kebijakan tersebut diskriminatif.

“Kebijakan BI tersebut menyebabkan ketidakadilan bagi konsumen berupa pemaksaan untuk tidak bayar tunai, uang elektronik yang mengendap di bank tapi tidak memperoleh bunga dan tidak dijamin Lembaga Penjamin Simpanan. Jika kartu hilang uang yang tersisa juga akan hilang,” katanya.

David juga menilai bahwa kebijakan ini berpotensi melanggar hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan uang kertas atau logam, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Jo. 23 ayat (1) Jo. 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011.

Pada pasal 23 ayat (1) tertera aturan bahwa “setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian rupiah.”

Sementara dalam pasal 33 ayat (2), tertera sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta bagi pihak-pihak yang menolak pembayaran dengan rupiah sebagaimana tertera dalam Pasal 23 ayat (1).

Sebelumnya, Agus Martowardojo mengatakan bahwa aturan ini harus diterbitkan agar ketersediaan fasilitas isi ulang uang elektronik tersedia secara merata. Tanpa itu perbankan tidak bisa menyediakannya. Aturan mengenai ini diwacanakan setelah ada regulasi yang mengharuskan semua jalan tol menggunakan uang elektronik per 31 Oktober lalu.

Baca juga artikel terkait E-MONEY atau tulisan lainnya dari rio apinino

tirto.id - Bisnis
Reporter: rio apinino
Penulis: rio apinino
Editor: Maya Saputri