Menuju konten utama

Yang Tak Luhut Pikirkan jika Nilai Tukar Rupiah 10 Ribu/Dolar AS

Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menargetkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali di bawah Rp10 ribu, dan itu bermasalah.

Yang Tak Luhut Pikirkan jika Nilai Tukar Rupiah 10 Ribu/Dolar AS
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan berbincang dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri KKP Edhy Prabowo dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menghadiri Presidential Lecture Internalisasi dan Pembumian Pancasila di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/12/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.

tirto.id - Nilai tukar rupiah di bawah Rp10 ribu per dolar AS terakhir kali terjadi pada 12 Juli enam tahun lalu. Setelah itu, mata uang Indonesia ini mengalami fluktuasi dengan tren melemah hingga akhirnya tembus ke level Rp14 ribu per dolar AS.

Meski trennya demikian, toh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan punya pendapat lain. Di kantornya, Jakarta, Selasa (3/12/2019), ia yakin rupiah bisa kembali "di bawah Rp10 ribu".

"Dalam dua tahun ke depanlah. Kalau ini sesuai rencana, ya. Jalan," kata mantan tentara ini. Rencana yang dimaksud adalah jika defisit transaksi berjalan "single digit" alias 1 miliar dolar AS.

Untuk itu, Luhut menerangkan, pemerintah terus memacu sektor-sektor usaha strategis, seperti industri baterai litium, migas, petrokimia, hingga pariwisata.

Namun rupiah menguat sebenarnya tak melulu baik. Jika naik drastis justru bisa jadi bumerang bagi perekonomian nasional.

Alasannya sederhana saja, kata peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy. Jika rupiah menguat, itu artinya barang-barang yang didatangkan dari luar (impor) harganya bisa lebih murah karena mata uang yang disepakati dalam perdagangan internasional adalah dolar AS.

"Karena harganya murah, impor bahan baku berpotensi melonjak. Apalagi, sekitar 60 persen kebutuhan bahan baku industri Indonesia itu masih dipenuhi dari impor," kata Yusuf kepada reporter Tirto, Kamis (12/12/2019).

Selain bahan baku, Yusuf juga mengatakan sangat mungkin terjadi lonjakan impor pada barang-barang jadi.

Apabila industri hulur sampai hilir di dalam negeri tidak siap menghadapi komoditas ini, maka ia akan kalah bersaing.

Kurs rupiah yang menguat drastis juga bisa memengaruhi ekspor. Menurut Yusuf, produk Indonesia saat ini diminati negara asing lantaran lebih murah ketimbang produk lokal negara tujuan.

Namun jika kurs rupiah menguat, harga produk ekspor Indonesia juga akan ikut ikut naik. Dengan kondisi tersebut, kata Yusuf, tak menutup kemungkinan minat beli negara asing juga turun karena harganya tidak semurah sebelumnya.

Inilah alasan mengapa Cina mengambil kebijakan mendevaluasi kurs renminbi. Tujuannya agar produk dalam negeri mereka bisa penetrasi lebih dalam ke pasar-pasar di luar negeri, termasuk Indonesia.

"Ini bisa jadi masalah kalau daya saing produk kita masih rendah," kata Yusuf.

Barang Impor ke Indonesia Makin Deras

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto sepakat dengan apa yang dikatakan Yusuf. Menurut Anne, kurs rupiah di bawah Rp10 ribu per dolar AS bisa berdampak buruk bagi daya saing industri di luar negeri.

Anne juga khawatir impor bahan baku dan produk tekstil akan masuk makin deras seiring dengan kurs rupiah yang menguat. Padahal untuk saat ini saja kondisinya tak menguntungkan, katanya.

"Jangan kurs Rp10 ribu, tapi impor justru gila-gilaan. Bahan baku murah akan percuma kalau industri lokal tidak bisa bersaing atau ekspor kita tidak bisa bersaing," kata Anne di kantor BKPM.

Kekhawatiran juga dirasakan pelaku usaha lainnya, di antaranya Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi Lukman. Menurut Adhi, rupiah bergerak ke Rp10 ribu secara drastis berpotensi menimbulkan ketidakpastian.

Dia menilai kurs Rp14 ribu per dolar AS sebenarnya tidak buruk. Selama pemerintah bisa menjaga stabilitas nilai tukar pada level tertentu, lanjut Adhi, bagi pelaku usaha hal itu jauh lebih baik.

"Bagi industri makanan dan minuman yang penting [rupiah] stabil. Kalau mendadak berubah, akan jelek pengaruhnya ke ekspor. Kalau tidak stabil juga akan sulit menentukan harga pokok produksi. Semua perlu kestabilan," ucap Adhi.

Ganggu Pariwisata

Kritik juga disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, pemerintah lebih baik fokus menjaga kestabilan nilai tukar ketimbang mengejar target penguatan rupiah.

"Buat pelaku usaha yang paling penting itu stabilitas, bukan langsung ke Rp10 ribu, justru itu sebabkan ketidakpastian. Ini juga bisa memengaruhi kontrak panjang perusahaan, dimana asumsi kurs yang dipakai Rp14 ribu," ucap Bhima kepada reporter Tirto.

Bhima juga mengkhawatirkan kurs rupiah yang menguat berdampak terhadap arus kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Bagaimanapun, dari perspektif wisman, biaya wisata ke Indonesia akan lebih mahal ketimbang sebelumnya.

Ujung-ujungnya, melemahnya pariwisata justru akan menyulitkan perbaikan defisit transaksi berjalan. Apalagi faktanya sumbangan sektor pariwisata terhadap devisa terbilang besar.

"Wisman dari AS yang mau masuk ke Indonesia jadi menahan diri dulu karena penguatannya sangat signifikan," ucap Bhima.

Akhirnya Bhima menyarankan Luhut dan pemerintah pada umumnya tak pelru perlu muluk-muluk mengejar penguatan nilai tukar rupiah secara drastis, apalagi kondisi pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan juga diproyeksikan masih melambat.

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR RUPIAH MENGUAT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang