tirto.id - Gedung Balai Kota DKI Jakarta menjadi sasaran aksi belasan pemuda yang menamakan diri sebagai Gerakan Pribumi Indonesia (Gerprindo), Selasa (11/12/2019). Abdurrahman, koordinator massa, menyebut kehadiran mereka dalam rangka menolak izin pelaksanaan acara hiburan tahunan Djakarta Warehouse Project (DWP) yang diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Abdur mengecap DWP sebagai agenda “penuh maksiat". Oleh sebab itu ia menuntut Anies membuktikan komitmen agar "kemaksiatan tidak ada di ibu kota".
“Kami ingin jangan sampai cuma Alexis yang ditutup,” ucapnya menyindir.
Abdur bukan satu-satunya. Ormas lain yang menamakan diri Gerakan Pemuda Islam (GPI) mewacanakan bakal ada agenda penolakan langsung oleh ribuan massa di sekitar JIExpo, lokasi DWP pada hari pelaksanaan 13-15 Desember 2019 besok.
Alasan GPI menolak DWP sebelas dua belas dengan Gerprindo. Rahmat Himran, koordinator GPI, mengklaim organisasinya beberapa tahun belakangan rutin “menyusup” ke acara tersebut dan mendapati ada praktik pesta miras, seks bebas, dan narkoba.
Klaim Rahmat soal narkoba memang belum teruji, dan bisa jadi wacana membawa ribuan massa aksi di lokasi bakal jadi gertak sambal belaka. Namun, terlepas dari konteks itu, penolakan Gerpindo dan GPI bukanlah sesuatu yang baru.
Mencuat pada Tahun Pertama Anies
DWP bukan gelaran musik kemarin sore. Sejak edisi perdananya, acara yang mengusung sajian utama musik EDM ini telah menyedot lebih dari 20 ribu wisatawan mancanegara.
Pertama kali dirintis dengan nama Blowfish Warehouse Project oleh salah satu klub malam di Jakarta pada 2008, mulanya nyaris tak ada pihak yang secara terbuka memprotes pelaksanaan kegiatan ini. Gelombang protes terbuka secara besar-besaran, baru mencuat pada 2017, saat tahun pertama masa kepemimpinan Anies.
Protes pertama datang pada 29 November 2017, saat dua ormas yang menamakan diri Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Peduli Bangsa berunjuk rasa di depan balai kota.
Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sandiaga Uno, mulanya tak terlalu menggubris protes itu. Ia malah mempertanyakan motif di balik penolakan tersebut, sebab DWP dinilai memberi kontribusi pemasukan ekonomi bagi DKI.
Namun, respons itu berubah tatkala pada Selasa 12 Desember 2017 alias tiga hari sebelum acara dihelat, Front Pembela Islam (FPI) dan Bang Japar mendatangi Balai Kota DKI Jakarta. Dua ormas yang punya jumlah massa lebih ini datang dengan tuntutan berbeda. FPI mendesak agar transaksi miras tak dibolehkan di dalam area DWP, sementara Bang Japar menentang budaya asing di DWP.
Dua poin imbauan dikeluarkan. Pertama, Pemprov melarang penjualan miras untuk pengunjung di bawah 21 tahun, lalu ada instruksi agar ada tarian tradisional diselipkan di atas panggung.
Tapi tetap saja, imbauan itu tak sesuai dengan tuntutan para ormas yang menuntut satu hal tegas: agar izin acara dicabut. Aksi berlanjut. Saat hari pelaksanaan DWP 2017, massa dari lebih banyak organisasi mendatangi JIExpo. Selain FPI dan Bang Japar, ormas-ormas yang ikut dalam protes antara lain Laskar Pembela Islam (LPI), Paguyuban Warga Betawi (PWB), Forkabi Kemayoran, Majelis Taklim Al-Muhibbin, dan Majelis Taklim Sirojul Mubtadiin.
Di tengah tekanan itu, sempat muncul pula berbagai ormas yang membela Anies. Salah satunya ormas Gerak Betawi yang mempertanyakan kenapa penolakan DWP tak terjadi di era gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purama.
“Kenapa tahun-tahun sebelumnya waktu Ahok tidak ada protes? Giliran sekarang begitu rame dan gaduh? Ada apa ini?,” Wakil Ketua Umum Gerak Betawi, Dany Kusuma kala itu, seperti dilansir Warta Kota."Ini Jakarta, Ibu Kota Negara. Tentu acara-acara bernuansa musik tidak bisa dilarang. Musik adalah bahasa yang universal dan ajang seni."
Pindah Setahun Tak Mengurangi Tekanan
Pada edisi 2018, DWP pindah lokasi ke Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali. Muncul dugaan panitia menempuh langkah itu karena khawatir gelombang protes kembali akan mereka terima.
Dugaan ini dibantah oleh manajemen DWP. Mereka menyebut kepindahan ke Bali karena menghormati tahapan Pilpres dan tak ingin mengganggu tensi politik tinggi di ibu kota.
Dan benar saja, klaim “tidak takut protes” itu tahun ini dibuktikan pihak DWP dengan keberanian mengembalikan acara ke Jakarta.
Namun, toh kepindahan selama setahun tak bisa begitu saja menghapus protes yang ada. Tuntutan agar izin acara dicabut masih berdengung.
Hingga artikel ini rilis, Anies tidak menyatakan sikap pribadinya soal mendukung atau menolak DWP. “Itu saya tidak komentar. Tanyanya kepada Kepala Dinas Pariwisata,” ujarnya.
Adapun Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI, Alberto Ali tidak menggubris tuntutan mencabut acara. Disparbud tetap mengizinkan penyelenggaraan DWP 2019, meski dengan beberapa catatan khusus.
Pertama, mereka meminta panitia menuruti aturan legal formal serta nilai kepatuhan budaya. Lalu, Disparbud meminta panitia menjamin DWP 2019 bebas dari peredaran narkoba dan zat adiktif lain.
Jika janji dari pihak panitia pelaksana DWP 2019 dilanggar, maka Pemprov DKI Jakarta akan bertindak tegas termasuk di dalamnya bisa mencabut izin kegiatan,” ujar Alberto dalam pernyataan resminya.
Sikap Disparbud untuk tetap membolehkan pelaksanaan DWP wajar belaka. Sebab secara finansial DWP punya pengaruh untuk geliat ekonomi ibu kota. Tahun lalu misal, saat acara ini dipindah ke Bali, Jakarta diperkirakan kehilangan potensi pemasukan sampai Rp6 miliar.
"DWP itu adalah pendapatan DKI yang terakhir. Dan itu bukan setahun ini aja, udah bertahun-tahun ini dia kan kerja di situ, di hajat akhir tahun ya. Dan ini pendapatan," ujar Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Gilang Ramadhan