tirto.id - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali kenaikan tarif BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. MA membatalkan isi Pasal 34 ayat (1) dan (2) yang terdapat dalam Perpres itu.
MA menilai beleid tersebut bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H Jo Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Kenaikan iuran juga dinilai bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 (huruf f, b, c, d, dan e) Pasal 17 (ayat 3) UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional.
MA juga menilai Perpres yang memuat kenaikan iuran JKN bertentangan dengan Pasal 2, 3, 4 (huruf b, c, d, dan e) UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS serta Pasal 4 Jo Pasal 5 ayat (2) Jo Pasal 171 UU Nomor 36 tahun 2000 tentang kesehatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah masih mempelajari dampak pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini. Sebab konsekuensinya sangat besar pada keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Apalagi, kata Sri Mulyani, penerbitan Perpres 75 tahun 2019 sudah berdasarkan kajian matang. Pemerintah menghitung soal kemampuan peserta baik yang mampu dan tidak, kesehatan keuangan hingga kewajiban atau tunggakan BPJS Kesehatan pada seluruh fasilitas kesehatan.
Sri Mulyani memastikan, “Keputusan ini [pembatalan kenaikan berdasarkan putusan MA] membuat semua berubah,” kata dia di kantor Direktorat Pajak Kementerian Keuangan, Selasa (10/3/2020).
Akan tetapi, Sri Mulyani memastikan kalau pemerintah akan mengambil langkah alternatif demi tetap mengamankan nasib peserta JKN. Ia mengatakan, pemerintah juga akan mendorong transparansi pengelolaan anggaran BPJS Kesehatan di masa depan untuk meningkatkan partisipasi publik.
“Kami akan meminta BPJS Kesehatan lebih transparan, biaya operasi, bayar gaji, utang, defisit dan jatuh tempo supaya masyarakat tahu ini masalah kita bersama,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Staf Khusus Presiden Jokowi dalam bidang hukum, Dini Purwono. Ia berkata pemerintah menghormati keputusan MA dan akan mengkaji segala dampaknya sebelum mengambil keputusan. Dini juga memastikan kalau pelayanan kepada masyarakat lewat BPJS tetap berjalan.
“Intinya apa pun langkah pemerintah nantinya, masyarakat tidak perlu khawatir karena pelayanan kepada masyarakat pengguna BPJS akan tetap menjadi perhatian utama pemerintah,” kata Dini.
Optimalkan Penerimaan Lewat Iuran Lama
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan pemerintah harus segera menjalankan putusan MA dengan menerbitkan Perpres baru pengganti Perpres 75 tahun 2019 yang isinya mengembalikan angka iuran sesuai Perpres sebelumnya.
“Putusan MA bersifat final dan mengikat dan pemerintah wajib menjalankan. Artinya pemerintah harus membuat Perpres baru merevisi Perpres 75 dengan mengubah Pasal 34 yaitu menjadi iuran kelas 1 [sebesar] Rp80 ribu, [kelas] 2 Rp51 ribu, [dan kelas] 3 Rp25.500,” kata Timboel kepada reporter Tirto, Selasa (10/3/2020).
Timboel mengatakan putusan MA membuat pemerintah harus segera mengembalikan angka biaya pembayaran BPJS Kesehatan seperti semula. Sebab, putusan MA secara tidak langsung mengembalikan angka biaya mandiri ke Perpres Nomor 82 tahun 2018.
Timboel mendesak agar pemerintah segera menerbitkan Perpres baru karena ada dampak domino dari putusan MA. Pertama, pemerintah memungut biaya lebih dari ketentuan pungut sebelumnya. Oleh karena itu, kelebihan uang pungut sebaiknya dialokasikan sebagai bayaran layanan di bulan berikutnya.
Ia mencontohkan, bea layanan kelas 1 saat ini naik 100 persen. Apabila ada peserta membayar sejak Januari hingga Maret 2020, maka peserta tidak perlu membayar iuran pada April hingga Juni karena sudah membayar.
Selain itu, pemerintah harus segera menerbitkan Perpres baru karena masih ada warga yang terpaksa membayar sesuai ketentuan Perpres 75 tahun 2019. Sebab, kanal pembayaran seperti gerai supermarket atau bank mengacu kepada BPJS Kesehatan, sementara BPJS tidak bisa mengubah biaya tanpa ada payung hukum berupa Perpres.
Oleh karena itu, Timboel mendorong agar pemerintah segera menerbitkan Perpres baru agar masyarakat bisa membayar dan pemerintah menjalankan putusan MA.
“Enggak apa-apa pemerintah mengkaji, tapi kalau menurut saya sih dalam satu minggu harus keluar Perpres, paling tidak dua minggu,” kata dia.
Harapannya, kata Timboel, Perpres baru bisa diterapkan pada 1 April 2020.
Timboel menyarakankan pemerintah tidak perlu mengubah banyak isi Perpres selain isi Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) terkait biaya PBPU dan peserta BP. Sebab, iuran mandiri hanya mengantongi 15 persen dari total penerimaan BPJS Kesehatan. Sementara 85 persen penerimaan BPJS Kesehatan merupakan kontribusi dari PBI APBN, PBI APBD, PPU Pemerintah dan PPU Swasta.
Pemerintah sebelumnya menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena angka defisit yang terus-menerus terjadi.
Berdasarkan catatan Tirto, defisit BPJS Kesehatan sudah muncul sejak 2014. Namun defisit beruntun mulai terjadi sejak 2017 (menjadi Rp13,8 triliun) dan pada 2018 naik menjadi Rp19,5 triliun.
Sri Mulyani memperkirakan defisit BPJS Kesehatan pada 2019 mencapai Rp32,8 triliun dari prediksi BPJS Kesehatan Rp28,9 triliun. Adapun defisit itu telah menguras uang pemerintah hingga Rp25,7 triliun dalam lima tahun terakhir.
Atas pertimbangan tersebut, pemerintah akhirnya menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk menutupi biaya karena tidak sedikit keuangan rumah sakit terdampak akibat masalah klaim BPJS Kesehatan.
Banyak yang Turun Kelas
Timboel memahami potensi kenaikan iuran yang diatur di Perpres 75 bisa mencapai Rp26 triliun, sementara Perpres sebelumnya hanya sekitar Rp14 triliun. Akan tetapi, realisasi akibat BPJS Kesehatan setelah biaya naik justru membuat masyarakat turun kelas dan menimbulkan loss.
Timboel pun menyarankan pemerintah mengembalikan penerapan PP 86 tahun 2013 tentang sanksi penerapan pelayanan publik jika peserta tidak membayar iuran.
Masyarakat tidak bisa mendapat pelayanan KTP atau pembuatan paspor sehingga masyarakat dipaksa untuk membayar iuran BPJS Kesehatan dan mendapat fasilitas kesehatan BPJS Kesehatan, kata Timboel.
Menurut Timboel, potensi penerimaan bisa lebih tinggi karena salah satu masalah kesulitan penerimaan uang BPJS Kesehatan berasal dari penunggak.
"Yang menunggak itu ada banyak loh, 45 persen. Iurannya saja satu bulan Rp3,5 triliun. Kalau dia kan harus dibayar 24 bulan, berarti 23 bulan berikutnya anggaplah rata-rata misalnya Rp2 triliun. Rp2 [triliun] dikali 24 itu sudah besar loh,” kata Timboel.
Timboel menambahkan, “Jadi pemerintah enggak usah khawatir dengan putusan MA, tetapi sekarang bagaimana strategi untuk meningkatkan iuran dengan meningkatkan efektivitas penggunaan PP 86 tahun 2013, sanksi tidak mendapat pelayanan publik.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz