tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko secara tidak langsung menyalahkan Tuhan atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menimpa warga di Sumatera dan Kalimantan. Karenanya, lewat Twitter, dia meminta warga tidak mengeluh, "tapi berusaha menjalaninya dengan ikhlas dan berdoa."
"Segala musibah datangnya dari Allah SWT... Musibah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja... termasuk musibah yang menimpa Pekanbaru, Riau, yang sedang terjadi juga datangnya pun dari Allah SWT," katanya.
Berdasarkan data Global Forest Watch sebagaimana dilansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 1 Agustus 2019 hingga 14 September 2019 setidaknya ada 151.862 titik kebakaran hutan di Indonesia, terbanyak di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
Made Ali, koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), mengatakan apa yang dirasakan warga "seperti dikurung dalam sebuah ruangan tertutup bersama tungku kayu bakar yang menyala." Sedemikian parahnya hingga langit biru pun dirindukan orang-orang Riau sejak Agustus lalu.
Akibat paling fatal: seorang bayi empat bulan di Palembang dikabarkan meninggal karena menderita infeksi saluran pernapasan akut; ada pula seorang kakek di Riau yang ditemukan hangus terbakar di lahan perkebunannya yang dilalap api.
Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisa Khalid memvonis pernyataan Moeldoko sebagai pernyataan yang tidak sensitif dan mensimplifikasi masalah. Faktanya karhutla bisa muncul karena aktivitas manusia. Buktinya polisi sudah menetapkan 185 tersangka perorangan dan empat korporasi atas kejadian ini.
Permintaan agar masyarakat sabar juga tidak tepat karena bagi Khalisa "orang Indonesia yang hidupnya 83 persen di wilayah bencana ini sudah punya sifat-sifat itu."
Orang Indonesia, kata Khalisa di kantor Walhi, Jakarta, Senin (16/9/2019), jauh lebih butuh "pernyataan pejabat publik yang dapat memastikan jaminan perlindungan dan penanganan karhutla."
Masalahnya Moeldoko tidak mencuit apa pun setelah memberi khotbah agar warga selalu sabar dan berdoa itu.
Dia lantas meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi pernyataan Moeldoko, yang dia lantik jadi Kepala Staf Kepresidenan menggantikan Teten Masduki pada 17 Januari 2018. Sebab, katanya, "pernyataan Moeldoko justru blunder buat Jokowi."
Harusnya Bisa Lebih
Yati Andriyani, Koordinator Kontras, LSM yang fokus mengadvokasi isu-isu HAM, mengatakan pernyataan Moeldoko dalam derajat tertentu adalah bukti ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah karhutla yang terus berulang.
Pernyataan Moeldoko juga membuktikan kalau masyarakat tidak bisa bergantung kepada pemerintah, sebab pejabat pemerintahnya sendiri tidak bertindak sesuai jabatannya.
"Semakin terpatri di masyarakat bahwa kita ini seperti tidak punya presiden, karena cara pemerintah merespons segala masalah yang muncul, termasuk kabut asap ini, selalu dengan cara-cara yang permisif tadi," tegas Yati.
Pada akhirnya, pemerintah bisa dianggap pelanggar HAM karena mereka adalah pihak yang memberi konsesi lahan kepada korporasi--tempat titik api berawal.
"Kalau corporate-corporate ini tidak dimintai pertanggungjawaban secara hukum, secara efektif, secara memadai, ya pemerintah sama saja mengafirmasi mereka melakukan kejahatan itu," pungkas Yati.
Jokowi bersama sejumlah menteri, lembaga terkait, dan pemerintah daerah menggelar rapat terkait karhutla di Pekanbaru, Senin malam. Menkopolhukam Wiranto mengatakan setelah itu Jokowi akan turun langsung ke lapangan.
Wiranto bilang Jokowi sangat prihatin dengan karhutla dan dia juga punya perhatian khusus terhadapnya.
Harapannya, setelah rapat itu, mengutip Antara, "penanggulangan hutan ini dapat betul dilaksanakan dengan maksimal."
Sementara Moeldoko pada Agustus lalu pernah bilang: "kami akan melakukan tindakan keras. Lebih keras lagi terhadap para pelanggar itu. Apakah itu korporasi, apakah itu perorangan."
Editor: Rio Apinino