Menuju konten utama

Penanganan Karhutla dan Cerita Warga Saat Kabut Asap Merajalela

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan telah mengakibatkan penyakit di masyarakat, meningkatkan biaya hidup, serta mengganggu sejumlah aktivitas.

Penanganan Karhutla dan Cerita Warga Saat Kabut Asap Merajalela
Seorang anak menembus asap kebakaran lahan yang merambat ke kebun karet di Desa Soak Batok, Indralaya Utara, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Mushaful Imam/wpa/hp.

tirto.id - Bagi Winda, 34 tahun, asap dan kobaran api bukan lagi jadi hal asing. Kini hampir setiap hari, ibu dari dua anak yang tinggal di wilayah Palangkaraya, Kalimantan Tengah itu melihat pemandangan tersebut dari hutan di depan rumahnya.

"Pokoknya sangat parahlah kalau bicara soal asap," umpat Winda saat menceritakan kesehariannya sejak asap menyelimuti Palangkaraya, pada Jumat (13/9/2019) sore.

Winda mengisahkan rumahnya yang telah diselimuti asap sejak sekitar Juni lalu. Bahkan sejak Agustus, api kebakaran hutan pun akrab di matanya. Semakin hari, keadaan semakin buruk. Kini, jarak pandang di kawasannya hanya sekitar 1 meter.

Sebenarnya bukan jarak pandang yang menjadi kekhawatiran utama Winda, melainkan hambatan dalam aktivitas, serta kesehatan anak-anaknya.

"Kalau yang besar itu kan SMP, batuk-batuk juga, terus masuknya jadi siang, jadi pulangnya bisa sore. Karena ada edaran dari pemerintah, kalau pagi itu kan asapnya jadi pekat banget pokoknya," kisahnya.

Winda juga cemas terhadap kondisi kesehatan anak keduanya yang baru menginjak usia dua tahun. Selama dua bulan belakangan, anak bungsunya batuk-batuk tanpa henti. Kata dia, sang buah hati didiagnosa dokter mengidap ISPA (infeksi saluran pernapasan).

"Aktivitas anak juga terganggu karena asap. Biasanya kan mereka main di luar, sekarang kan dikurung terus di rumah. Terus kalau keluar harus pakai masker. Anak-anak itu kan, kayak anak saya, masih 2 tahun, pakai masker itu mereka berasa keganggu sekali," ujar Winda.

Ia dan suaminya pun merasakan dampak udara kotor yang terpaksa mereka hirup setiap hari. Winda merupakan seorang pekerja sekaligus ibu rumah tangga. Ini artinya ia harus keluar rumah setiap hari. Meski telah menggunakan masker, rupanya itu tak membantu menghalau pusing dan muntah.

Winda dan keluarganya tak sendiri, tetangganya pun harus mengalami nasib serupa, tak pandang usia, dari anak hingga lanjut usia. "Jadi hampir semua lah di sini anak-anak kena karena keadaannya seperti ini. Ada yang batuk, pilek, diare," kisahnya.

Winda pun takut jika kejadian asap ini berulang sebagaimana yang juga sempat terjadi pada 2015 lalu.

"Khawatirlah kalau terulang seperti 2015, karena waktu itu udaranya sampai warna oren. Lalu juga takut paru-paru anak, apalagi masih kecil. Dampaknya akan sangat terasa, gak usah bicara hari tua, sekarang aja banyak yang keluar masuk rumah sakit," kata dia.

Winda berharap agar pemerintah segera menangani permasalahan kebakaran tersebut ke akar permasalahannya, bukan sebatas mematikan api, agar tak terus berulang.

Tak hanya itu, ia juga meminta pemerintah bisa memperbanyak titik-titik pemberian oksigen, serta menurunkan tenaga medis ke masyarakat, terutama.yang berada di daerah dan jauh dari pusat kota.

Di Indonesia, bencana kabut asap tak hanya melanda wilayah Kalimantan Tengah, tapi juga mengganggu hampir seluruh provinsi di Kalimantan, serta beberapa wilayah di Sumatera, seperti Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat. Bahkan di Kota Pekanbaru, warna kabut asap menguning, yang berarti tidak sehat.

Bencana akibat ulah manusia ini tak hanya menghabisi tubuh seseorang, tapi juga menggerogoti kantong warga, dan mengganggu sejumlah aktivitas penerbangan.

Upaya Pemerintah Padamkan Api

Pada Jumat, 13 September 2019, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengadakan rapat koordinasi khusus (Rakorsus) terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di kantornya, di Jakarta Pusat. Wiranto membenarkan bahwa sudah ada dampak yang terasa di masyarakat akibat dari kebakaran tersebut.

"Asap ini sudah mengganggu kehidupan masyarakat yang terdampak, dan juga mengganggu penerbangan-penerbangan di beberapa tempat di waktu-waktu tertentu," kata Wiranto.

Ia pun mengungkapkan bahwa titik api di September 2019 lebih banyak ketimbang tahun lalu, yang disebabkan oleh perbuatan manusia.

Dalam rapat tersebut, ia memutuskan beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut, seperti penguatan mandala api atau pasukan darat pemadam api. “Perlu penguatan dalam bentuk penambahan pasukan, penambahan personil, atau penambahan alat perlengkapannya", kata dia.

Wiranto juga menyampaikan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menambahkan anggaran untuk kasus ini. Upaya lainnya yang hendak dilakukan adalah membuat hujan buatan menggunakan dua pesawat tambahan milik TNI melalui BNPB.

Menurut Wiranto, area karhutla kali ini tidak sepenuhnya dekat dengan pemukiman penduduk, maka pemerintah hendak memberantas karhutla dengan menggunakan bom air. “Kami siapkan helikopter, ada 42 helikopter standby untuk bom air,” kata Wiranto.

Di lokasi terpisah, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menyesalkan atas kebakaran gambut yang terus berlanjut di Kalteng.

"Kami menyesalkan masih banyak kebakaran, Kalteng pun melonjak hari ini, kita lagi analisis juga lokasi kejadian. Tentu sumur dan kanal-kanal yang kita bangun bisa dimanfaatkan," ujar Nazir saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, pada Jumat (13/9/2019) sore.

Berdasarkan data BRG, titik panas yang terdata pada 12 September 2019 berjumlah 2.312 yang tersebar di 7 Provinsi, meliputi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Nazir menyampaikan bahwa 99 persen kebakaran yang terjadi adalah ulah manusia, bukan karena alam. Saat ditanyakan kaitannya dengan sawit sebagai penyebab terjadinya kebakaran di gambut, Nazir belum dapat memastikannya.

"Saya sih tidak melihat ada hubungan langsung. Nanti harus kita tunggulah, setelah padam, kita lihat siapa yang menanam," ujarnya.

Wiranto Sebut Ada Motif Politik

Dalam rapat tersebut, Wiranto menuturkan pemerintah punya tantangan dari peladang daerah setempat yang kerap membakar ladang. Alasan pembakaran itu, kata Wiranto, karena peladang menganggap abu yang dihasilkan bisa jadi pupuk ketika kena air hujan.

Guna menangani perkara tersebut, Wiranto mengatakan pemerintah pernah meminta bantuan pihak korporasi di sekitar area karhutla untuk memberikan pelatihan ihwal cara membuka lahan tanpa harus membakar. Namun kata dia, hal itu masih belum berhasil di masyarakat.

Sebagai solusi, pemerintah pun berniat melibatkan para peladang sebagai anggota Manggala Agni. "Tentu dapat intensif, dapat gaji dan mereka hidup dari (pekerjaan) situ," ucap Wiranto. Selain itu, pemerintah juga berniat menggalakkan pengembangan perkebunan maupun tanaman yang bisa ditanam di lahan gambut.

"Sudah ada beberapa tanaman yang diperkirakan bisa tumbuh di lahan gambut. Itu tanaman yang menghasilkan, bisa dijual di pasar," jelas Wiranto.

Dalam kasus ini, Wiranto menduga adanya motif politik dalam rangka pilkada dari kebakaran yang terjadi di Palangkaraya. Menurut dia, ini adalah modus baru dari pembakaran hutan.

Untuk memberikan efek jera kepada para pembakar hutan dan lahan, polisi telah menetapkan 179 orang dan empat korporasi sebagai tersangka.

“Proses penyelidikan dan penyidikan masih terus dilakukan. Beberapa kasus sudah ada pemberkasan untuk dilimpahkan ke kejaksaan,” ujar Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jumat (13/9/2019).

Dedi mengatakan dari total tersangka, paling banyak terdapat di Kalimantan Barat (56 orang), lalu Kalimantan Tengah (45 orang), Riau (44 orang), Sumatera Selatan (18 orang), Jambi (14 orang), serta Kalimantan Selatan (1 orang).

Sedangkan empat korporasi yang ditetapkan sebagi tersangka yaitu PT Sepanjang Inti Surya Usaha (SISU) dan PT Surya Argo Palma (SAP) di Kalimantan Barat, PT Palmindo Gemilang Kencana (PGK) di Kalimantan Tengah dan PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS) di Riau. Keempatnya bergerak di bidang pengolahan kelapa sawit.

Area hutan dan lahan yang terbakar yaitu 502,755 hektare di Riau, 7,79 hektare di Sumatera Selatan, 23,54 hektare Jambi, 338,96 hektare di Kalimantan Tengah dan 1.058,55 hektare di Kalimantan Barat.

Penegakan Hukum yang Tak Serius

Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut yang mengepung Sumatera dan Kalimantan tak lepas dari industri sawit.

Zenzi menjelaskan kebakaran secara masif baru muncul sejak sekitar 1990, seiring dengan perubahan yang mendasar industri sawit dalam memberlakukan gambut. Gambut, pada dasarnya, penting untuk selalu dalam keadaan basah.

"Kami membedakan antara pengelolaan yang dilakukan masyarakat yang kami nilai menyesuaikan budidaya ekonomi-sosial dengan ekosistem gambut, sedangkan korporasi sawit ia memodifikasi ekosistem gambut agar cocok dengan yang mereka tanam," jelas Zenzi kepada reporter Tirto pada Jumat (13/9/2019) malam.

"Nah, modifikasi yang dilakukan adalah dengan pengeringan lahan gambut supaya sawit bisa tumbuh. Nah, pengeringan sistem gambut dengan kanal yang menjadi akar persoalan kebakaran yang terjadi," lanjutnya.

Zenzi pun menyampaikan bahwa penyebab dari asap pekat yang ditimbulkan dari lahan gambut itu karena umumnya, kebakaran terjadi hingga ke bawah lapisan gambut atau bawah tanah.

"Tanah gambut di Indonesia kedalamannya ada yang mencapai 10 meter dan seberapa dalam api yang masuk ke dalam gambut itu bergantung pada seberapa dalam kanal yang dibuat oleh perusahaan," ungkapnya.

Sebenarnya, kata Zenzi, regulasi yang ada di Indonesia sudah cukup baik untuk memayungi masalah kebakaran hutan atau lahan gambut yang dipicu oleh korporasi, khususnya sawit. Hanya saja, penegak hukum masih lemah menjalankannya.

Ia mengakui pemerintah telah berhasil menyeret sejumlah perusahaan ke meja hijau. Namun kenyataannya, sampai saat ini Kejaksaan dan Kementerian Lingkungan Hidup belum mampu melakukan eksekusi terhadap putusan tersebut. Menurut Zenzi, pemerintah harus mendirikan komisi khusus untuk penegak hukum lingkungan

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus & Adi Briantika
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika