tirto.id - Temuan International People's Tribunal (IPT) 1965 menyatakan Indonesia melakukan 10 kejahatan setelah peristiwa G30S, di antaranya pembunuhan bahkan genosida. Temuan itu direspons dingin oleh pemerintah. Luhut Pandjaitan, yang pekan kemarin masih menjabat menkopolhukam, tak menganggap masalah juga jika persoalan ini dibawa ke sidang PBB. Menteri Luhut bahkan menantang balik.
“Nanti kita bawa juga peristiwa Westerling,” katanya.
Luhut menyinggung kejahatan perang tentara Belanda KNIL pimpinan Westerling yang memimpin pembunuhan ribuan warga sipil Indonesia pada 1946-1947. Ia mengungkit kejahatan perang itu untuk menyindir kegiatan IPT 1965 yang digelar Den Haag, Belanda. Soal ini, Luhut agaknya luput satu fakta penting: meski berlokasi di Den Haag, IPT bukanlah prakarsa pemerintahan Belanda.
Kepanitiaannya terdiri dari orang-orang Indonesia. Kalaupun ada orang asing, misalnya para hakim, mereka adalah warga sipil biasa yang terbiasa berkutat dengan persoalan hak-hak dasar manusia, bukan bagian pemerintahan Belanda. Misalnya sang hakim ketua, Zakeria 'Zak' Yacoob, yang merupakan bekas hakim konstitusi di Afrika Selatan saat Nelson Mandela jadi presiden.
Permohonan Maaf Berbagai Negara, Termasuk Belanda
Selain kesalahpahaman soal lokasi penyelenggaraan IPT 1965, kabinet ini sejak sebelumnya juga memang sudah mengantisipasi salah satu rekomendasi IPT yang meminta pemerintah Indonesia meminta maaf. Pada situs berita Antara, terpetik pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Mantan Menkopolhukam Luhut, serta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tentang hal ini.
Menteri Yasonna pernah berkata: “Permintaan maaf akan diberikan jika pemerintah menemukan tindakan-tindakan yang tidak tepat, ketidakadilan maupun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada korban pada kurun 1965-1966."
"Jangan salah persepsi. Kami sedang mencari fakta dari simposium nasional kemarin. Tidak benar bahwa kami tidak mungkin minta maaf. Negara akan minta maaf kalau ada kuburan massal yang bisa diidentifikasi dengan jelas.” Ucapan itu muncul dari Menkopolhukam Luhut, setelah pihaknya menyelenggarakan simposium Tragedi 1965, April lalu.
Adapun Menteri Ryamizard sikapnya lebih keras dari Yasonna dan Luhut. Antara menulis: “[...] Ryacudu, menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966 setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S).”
Dalam level yang berbeda-beda, tampak sikap resisten pemerintah atas wacana permohonan maaf. Padahal permintaan maaf dari negara untuk kesalahan kelembagaan bukanlah hal yang aneh. Negara bukanlah lembaga politik tanpa-cela yang tak bisa dikritik. Banyak contoh negara di dunia yang memohon maaf atas kealpaannya di masa lalu.
Contohnya adalah Vatikan yang meminta maaf atas persekusi terhadap Galileo. Pada abad ke-17, Galileo dikutuk sebab mendukung Copernicus yang berteori bahwa bumi mengelilingi matahari. Hal itu berseberangan dengan yang diimani saat itu, bahwa bumi diam karena merupakan pusat semesta dan mataharilah yang mengelilingi bumi.
Pada 2010, institusi yang dulu punya kekuatan politik sangat dahsyat ini akhirnya mencabut kutukannya terhadap Galileo yang dulu disebut penyimpang—setelah melalui penyelidikan internal selama 13 tahun. Butuh lebih dari 350 tahun bagi Gereja Katolik untuk mengakui persekusi pada Galileo merupakan kesalahan kelembagaan.
Selain Vatikan, yang mutakhir adalah permintaan maaf Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau atas penyekolahan paksa anak-anak suku asli di Kanada, yang berlangsung sejak abad ke-19 sampai abad ke-20. Penyekolahan paksa di bawah Indian Residential menyebabkan banyak anak mengalami kekerasan fisik dan seksual, serta meninggal dunia karena perlakuan dan lingkungan buruk.
Rekaman sejarah pun mencatat permintaan maaf dari Jerman atas kasus mahakeji yang terjadi pada masa Perang Dunia II: Holocaust. Pada 1970, Kanselir Jerman Willy Brandt berkunjung ke Polandia. Waktunya bertepatan dengan peringatan korban Yahudi soal Ghetto Warsawa pada zaman Hitler. Dalam peringatan itu, Brandt bergabung. Ia berlutut tanpa mengucap sepatah katapun.
"Saat aku berdiri di tepi kegelapan sejarah Jerman, merasakan beban atas jutaan pembunuhan, aku telah melakukan apa yang orang lakukan, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata," tulis Brandt dalam memoarnya, seperti terpetik dalam Today in History.
Ada banyak lagi contoh permohonan maaf lain, misalnya Afrika Selatan atas politik apartheid, dan Amerika Serikat atas perbudakan warga Afro-Amerika. Tapi, di antara semuanya, yang penting dicatat adalah permohonan maaf Belanda.
“Atas nama pemerintah Belanda, saya memohon maaf atas semua perbuatan keterlaluan ini. Hari ini saya juga memohon maaf pada para janda Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare,” kata Duta Besar Belanda Tjeerd de Zwaan, merujuk daerah-daerah di mana tentara pimpinan Kapten Raymond Westerling membunuh warga sipil pada 1946-1947, seperti terpacak dalam indonesie.nlambassade.org.
Pernyataan yang disampaikan 12 September 2013 itu menindaklanjuti pernyataan Perdana Menteri Mark Rutte, bulan sebelumnya, bahwa pemerintah Belanda akan meminta maaf atas kasus Westerling. Pihaknya juga membayar kompensasi sebesar €20 ribu per janda bagi beberapa janda di Sulawesi Selatan dan Rawagede, Jawa Barat.
Situs berita Belanda nltimes.nl juga mencatat pada 2014 ada 8 lagi janda Rawagede dan Sulawesi Selatan yang memenangi gugatan kompensasi di pengadilan belanda. Itu belum termasuk gugatan lain yang masih dalam proses persidangan. Tapi, agaknya Menteri Luhut lupa dengan permohonan maaf dan pembayaran kompensasi ini. Maka ia pun menantang balik hasil IPT 1965 dengan menyatakan akan membawa kasus Westerling ke PBB.
Setelah reshuffle 27 Juli lalu, memang Pak Luhut tak lagi menjabat menkopolhukam. Ia sekarang menduduki kursi menteri koordinator kemaritiman. Meski begitu, soal Westerling ini perlu diingatkan lagi supaya anggota kabinet tak memberi pernyataan keliru. Apalagi posisi menkopolhukam sekarang dijabat Wiranto, yang namanya tertera dalam beberapa kasus pelanggaran hak asasi berat pada laporan Komnas HAM.
Kalau saja sang penjahat perang masih hidup, sementara kekeliruan terus diulang, barangkali Kapten Westerling pun akan tersenyum. Seperti dalam lirik lagu Iwan Fals.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti