tirto.id - "Dua Anak Cukup" adalah slogan pemerintah Indonesia untuk program keluarga berencana (KB). Awalnya, program dan gerakan ini dianggap sebagai pengekangan hak bereproduksi masyarakat. Padahal, urusan merencanakan jumlah anak berimbas signifikan terhadap perkembangan suatu negara, bukan cuma perkara privat yang tak semestinya dijamah pihak luar.
Menurut PBB, dengan mengatur dan mengendalikan jumlah kelahiran maka ekonomi ekonomi dan kesejahteraan keluarga bisa semakin kuat. Manfaatnya secara kumulatif adalah berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan dan berdampak positif pada pembangunan.
Pengaturan dan pengendalian jumlah kelahiran ini masuk dalam program dan gerakan KB. Buat pemakainya, memakai alat/cara KB juga dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, mengurangi jumlah aborsi, dan menurunkan angka kematian dan kecacatan yang terkait dengan komplikasi kehamilan dan persalinan. Bagi perempuan, perencanaan kelahiran anak dapat berdampak positif pada kaum hawa. Misalnya, perempuan bisa menuntaskan pendidikannya terlebih dahulu, sebelum akhirnya hamil dan fokus mengurus anak.
2,4 Anak per Perempuan
Berdasarkan Hasil Proyeksi Penduduk Indonesia 2010–2035, jumlah penduduk Indonesia meningkat dari 238,5 juta jiwa di 2010 menjadi 265 juta jiwa di 2018. Peningkatan jumlah penduduk ini bisa dilihat melalui jumlah kelahiran. Secara nasional, jumlah rata-rata anak dalam periode masa reproduksi perempuan (Total Fertility Rate/TFR) selama lebih dari dua dekade tercatat menurun, terutama perubahan pada SDKI 1991 dan SDKI 2002-2003.
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 menunjukkan angka fertilitas total sebesar 3,0 anak. Artinya seorang perempuan di Indonesia rata-rata melahirkan 3,0 anak selama periode masa reproduksi perempuan. Penurunan terus terjadi hingga SDKI 2002-2003 dengan TFR sebesar 2,6 anak per perempuan dan angka fertilitas total ini ajeg hingga SDKI 2012.
Pada 2017, hasil survei Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menunjukkan angka TFR yang menurun, yaitu sebesar 2,4 anak. Dengan demikian, seorang perempuan di Indonesia rata-rata melahirkan 2,4 anak selama masa reproduksi perempuan.
Penurunan fertilitas ini dipengaruhi oleh pengaturan kehamilan dan kelahiran. Hal ini bisa dilihat melalui meningkatnya pemakaian alat/cara kontrasepsi. Tercatat pada SDKI 1991 pemakaian alat/cara KB adalah sebesar 49,7 persen dan meningkat menjadi 61,9 persen pada SDKI 2012. Namun, pada survei RPJMN 2017, penggunaan alat/cara KB menurun, yakni angka 59,7 persen.
Bila dilihat berdasarkan alat/cara KB, suntik menjadi pilihan yang semakin diminati. Terlihat peningkatan yang signifikan sebesar 11,7 persen pada SDKI 1991 menjadi 31,7 persen pada RPJMN 2017. Cara/alat KB lain yang peminatnya cukup tinggi adalah pil. Pada SDKI 1994 penggunaan pil mencapai titik tertinggi dengan angka sebesar 17,1 persen. Meskipun pil masih banyak diminati hingga RPJMN 2017, penggunaannya turun menjadi 12,3 persen di periode tersebut. Suntik dan pil menjadi pilihan terbanyak untuk cara/alat KB lantaran dianggap minim risiko dan praktis.
Hal menarik adalah KB dengan cara susuk. Penggunaannya tercatat meningkat, mulai dari 3,1 persen pada SDKI 1991, naik menjadi 4,3 persen pada SDKI 2002-2003, menjadi 5,7 persen pada RPJMN 2017. Selain itu, tren pemakaian kondom juga tercatat meningkat dengan angka tertinggi sebesar 1,8 persen pada SDKI 2012. Metode kontrasepsi lainnya tanpa menggunakan alat adalah pantang berkala dan sanggama terputus. Kedua cara ini memiliki persentase yang sedikit, rata-rata di bawah 1 persen.
Bila dicermati, mayoritas alat kontrasepsi yang ada ditujukan bagi perempuan. IUD (spiral), pil dan suntikan KB, spermicidal gel, vaginal ring, kondom perempuan, dan sterilisasi adalah bentuk-bentuk kontrasepsi yang bisa digunakan perempuan, sementara bagi laki-laki, pilihan yang ada ialah kondom laki-laki dan vasektomi. Adapun kontrasepsi suntik untuk laki-laki menjadi pilihan yang lebih tidak populer dibanding dua metode kontrasepsi laki-laki lainnya.
Namun demikian, tak semua perempuan atau keluarga di dunia dapat menikmati program tersebut. Permasalahannya terletak pada minimnya akses terhadap alat kontrasepsi, terutama bagi mereka yang hidup di negara berkembang atau negara miskin. Persoalan lainnya adalah masih ada perempuan menikah yang tidak ingin menggunakan alat/cara KB.
Misalnya, pada 2016, seorang ibu enam anak di Purwakarta, Irma, menolak masuk program KB. Ia meyakini: banyak anak, banyak rezeki. Irma bekerja sebagai pemulung di sekitar jalan Tol Cipularang Kilometer 82, sedangkan suaminya, Agus, mencari uang dengan bekerja serabutan.
Kasus lain, data dari Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Bekasi menyatakan di 2017 ada sebanyak 86.471 pasangan usia subur menolak menggunakan alat kontrasepsi dengan beragam alasan, seperti takut gemuk dan malu jika organ intimnya disentuh tim medis.
BKKBN melakukan survei terhadap 16.119 perempuan yang sudah menikah, dan dari jumlah tersebut sebanyak 9.213 perempuan atau 57 persen tidak ingin menggunakan KB di waktu yang akan datang. Ada empat alasan yang membuat perempuan enggan menggunakan KB, yaitu fertilitas, menentang untuk memakai, kurang pengetahuan, dan karena alat/cara KB.
Kurang Pengetahuan
Berdasarkan survei BKKBN, secara umum, sebanyak 89 persen perempuan berusia 30-49 tahun menyatakan alasan untuk tidak menggunakan KB. Sementara perempuan berusia 15-29 tahun yang menyatakan alasan tersebut ada 11 persen.
Pada kategori alasan fertilitas, menyusui merupakan alasan terbanyak yang dikemukakan oleh perempuan berusia 15-29 tahun. Sedangkan menopause/histerektomi (99,9 persen) dan tidak/kurang subur (98,2 persen) merupakan alasan terbanyak pada perempuan berusia 30-49 tahun.
Selain fertilitas, alasan terbanyak yang dinyatakan perempuan berusia 15-29 tahun adalah karena anggota keluarga lain tidak setuju dengan penggunaan KB (9 persen) dan larangan agama (8 persen). Di sisi lain, pada kelompok perempuan berusia lebih tua, pasangan menjadi alasan utama tidak memakai KB--sebanyak 95 persen. Responden sendiri, sebanyak 93 persen, juga tidak setuju untuk memakai KB.
Kurangnya pengetahuan juga menjadi alasan tidak ingin memakai alat/cara KB. Sebanyak 28,4 persen perempuan berusia 15-29 tahun tidak mengetahui alat/cara KB, sementara pada kelompok perempuan berusia lebih tua mengemukakan alasan terserah Tuhan/fatalistik (94,2 persen).
Alasan yang berkaitan dengan alat/cara KB terbanyak dinyatakan oleh perempuan menikah usia 15-29 tahun adalah tidak nyaman (6 persen) dan takut efek samping (5,9 persen). Sedangkan masalah kesehatan (96,6 persen) dan perubahan berat badan (95,1 persen) adalah alasan terbanyak pada perempuan berusia 30-49 tahun.
Padahal, penggunaan KB juga berkontribusi terhadap penurunan kematian ibu di Indonesia. Perempuan yang mengatur kehamilan dan kelahiran memiliki risiko kematian yang lebih kecil. Perempuan yang semakin sering melahirkan akan memiliki risiko kematian saat kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan yang semakin tinggi.
Professor Biran Affandi, MD, PhD, Guru Besar dari Departemen Obstetri-Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menekankan pentingnya berkonsultasi kepada dokter sebelum memilih alat kontrasepsi. Lewat konsultasi, calon pengguna kontrasepsi mendapat informasi mengenai keuntungan dan efek samping penggunaan kontrasepsi, sehingga dapat menghindari kejadian yang tak diinginkan.
Meski ada penurunan jumlah kelahiran total dan peningkatan pemakaian alat/cara KB dalam dua dekade terakhir, capaian tersebut belum bisa dibilang berhasil. Penurunan angka fertilitas ini relatif kecil dan angka TFR belum mencapai target nasional 2017, yaitu sebesar 2,33 anak per perempuan.
Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dari berbagai pihak untuk menyukseskan program dan gerakan KB. Beragam upaya telah dilakukan pemerintah, misalnya, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemko PMK) mulai menggalakkan 1.000 kampung Keluarga Berencana di seluruh Indonesia yang diyakini dapat menurunkan Total Fertility Rate.
Sayangnya, ada hal-hal yang ditengarai menghambat program dan gerakan KB. Pertama, masih banyaknya orang yang enggan memakai alat kontrasepsi karena larangan agama. Kedua, adanya keyakinan bahwa penggunaan alat kontrasepsi seperti kondom dianggap melegalkan perzinaan dan seks bebas. Ada pula potensi hambatan dari Rancangan Revisi KUHP yang sedang dibahas DPR: larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi yang berpotensi mempidanakan banyak pihak.
Pertumbuhan penduduk bukan hal sepele. Program dan gerakan KB menguntungkan negara lantaran memberikan sumbangan besar dalam penghematan biaya negara. Dengan demikian, negara dapat memenuhi kebutuhan warga negaranya dengan lebih efektif. Tak cuma itu, program KB merupakan investasi dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia, sekaligus meningkatkan pembangunan Indonesia.
Editor: Maulida Sri Handayani