Menuju konten utama
Mozaik

War Takjil, Perbukaan, dan Tren Berpuasa Non-Muslim di Ramadhan

War takjil dan berpuasa yang dilakukan non-muslim kini kian semarak. Ini bisa jadi pintu untuk mempromosikan empati dan rasa hormat di antara sesama.

War Takjil, Perbukaan, dan Tren Berpuasa Non-Muslim di Ramadhan
Header mozaik Fenomena War Takjil. tirto.id/Tino

tirto.id - “Berburu gorengan sih yang seru,” tutur Rudi Taslim ketika ditanya penganan apa yang menarik dicari jelang buka puasa.

Meski non-muslim, Rudi sudah lama ikutan berburu takjil bersama rekan-rekannya yang sedang berpuasa.

“Sejak kecil, ya suka. Terus waktu pertama ngantor di Darmawangsa dulu kisaran 2014 sudah sering ikut nyari takjil,” imbuhnya lewat pesan daring.

Kebiasaan itu muncul karena ia tinggal di daerah yang penduduknya beragam, yakni di perkampungan padat Kampung Melayu, Jakarta Timur. Ia juga sering ikut membangunkan sahur keliling kampung bareng warga yang lain, “Bahkan pernah jadi penjaga sandal di masjid,” ungkapnya.

Maka itu, ia mengaku tak kaget jika belakangan ada istilah war takjil yang jadi tren setiap bulan Ramadhan.

Selain war takjil, belakangan ada juga beberapa non-muslim yang tertarik untuk ikut-ikutan berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk tren ini, Rudi belum pernah mencobanya karena lambungnya sensitif.

Takjil atau Perbukaan?

Kata "takjil" berasal dari bahasa Arab yang akarnya dari kata ‘ajjala, artinya menyegerakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "takjil" diartikan sebagai "mempercepat (dalam berbuka puasa)" dimaknai verba. Sementara "takjil" sebagai "penganan dan minuman untuk berbuka puasa" dimaknai nomina konkret.

Menurut pengamat bahasa, Holy Adib, arti takjil sebagai makanan dipersoalkan tiap Ramadhan oleh sebagian orang yang mempelajari bahasa Arab. Mereka berpandangan bahwa arti takjil dalam bahasa Indonesia harus dikembalikan ke arti aslinya.

“Bagi mereka, hal itu merupakan salah kaprah yang perlu diluruskan,” tulis Adib dalam buku Perca-Perca Bahasa: Kumpulan Esai (2021:85).

Ia menyoroti perluasan makna takjil dan menyebut ada istilah yang tepat untuk makanan dan minuman berbuka puasa, yakni "perbukaan" yang terdapat di Kamus Umum Bahasa Indonesia/KUBI 1952 susunan Poerwadarminta dan Kamus Moderen Bahasa Indonesia susunan M. Zain sekitar tahun 1950-an.

Di Sumatra Barat, ada istilah dalam tradisi yang artinya sama dengan "perbukaan", yakni Maanta Pabukoan. Tradisi ini adalah mengantarkan makanan berbuka puasa ke rumah penghulu suku dan mamak oleh kemenakan pada bulan Ramadhan. Pabukoan atau perbukaan biasanya berisi nasi, lauk pauk, kolak, silamak, sarikayo, dan makanan sejenisnya.

Namun, Adib tak bisa menyalahkan masyarakat, pergeseran maupun perkembangan makna kata serapan asing dalam bahasa sasaran merupakan hal yang lumrah.

“Masyarakat ingin memaknainya begitu dan tidak seorang pun yang bisa melarangnya," katanya.

Sedangkan menurut Syamsul Hadi dalam Kata-kata Arab dalam bahasa Indonesia (2015:8), ada berbagai faktor penyebab perluasan makna, yakni perubahan kesejarahan, perubahan lingkungan, pertukaran tanggapan indra, faktor kebahasaan, dan tanggapan penutur bahasa.

War Takjil

Belakangan, war takjil alias aksi berburu takjil menjelang berbuka puasa menjadi tren baru di Indonesia. Berkat media sosial seperti X, istilah ini kian marak dan terus mengalami perluasan makna dalam dua tahun terakhir.

Banyak orang yang mengunggah foto atau video mereka saat berburu makanan menjelang buka puasa. Sebagian kehabisan karena terlambat datang. Sebagian lagi gagal ikut berburu karena ujan deras. War takjil perlahan seperti lifestyle baru yang mungkin saja menggeser istilah ngabuburit dalam beberapa tahun mendatang.

Bahkan banyak jenama yang melakukan promosi daring untuk menarik minat war takjilonline. Tentu saja bukan hanya makanan, mereka mengenalkan produk barunya seperti smartphone, hijab, bahkan mata uang kripto.

Tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, kegiatan ini juga diikuti oleh berbagai komunitas, organisasi, bahkan individu dari latar belakang agama yang berbeda.

Sebuah studi di Semantic Scholar berjudul “The Blessing Of Umkm Will Be 'War Takjil' and Become A Symbol Of Tolerance In Ramadan Culture” menilai fenomena war takjil menggambarkan bagaimana masyarakat dapat hidup berdampingan meskipun ada perbedaan keyakinan, menciptakan suasana saling menghormati satu sama lain.

Penelitian tersebut juga menilai persepsi positif pelaku UMKM terhadap war takjil dalam memupuk toleransi. Terdapat empat partisipan yang diwawancarai, berusia antara 30-40 tahun.

Beberapa jenis penganan yang sering menjadi incaran saat war takjil antara lain gorengan, lontong, kolak, kurma, es buah, es cincau, es kelapa, dan lain-lain.

Riset lain menilai bahwa war takjil merupakan gambaran karakteristik unik Islam di Indonesia, yang dipengaruhi oleh faktor historis, politik, dan geografis. Islam di Indonesia dicirikan oleh asimilasi damai dengan budaya lokal, tidak seperti di daerah lain yang dikaitkan dengan peperangan dan penaklukan.

Sayangnya, menurut artikel tersebut, war takjil memiliki kekurangan, “Tidak sedikit muslim yang kehabisan takjil karena telah dibeli pertama kali oleh orang-orang non-muslim, apalagi mereka (non-muslim) tidak memiliki kewajiban untuk berpuasa.”

Tren Puasa Non-Muslim: Alasan dan Motivasi

Selain fenomena war takjil, tren non-muslim yang ikut berpuasa di bulan Ramadhan juga semakin marak. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Alasan mereka bermacam-macam, mulai dari rasa ingin tahu hingga motivasi spiritual yang mendalam.

Mereka ingin memahami tantangan dan pengalaman spiritual yang dirasakan oleh teman, kolega, atau tetangga mereka yang beragama Islam. Dengan berpuasa, mereka merasa lebih dekat dan bisa berempati terhadap praktik keagamaan yang selama ini mungkin asing bagi mereka.

“Ramadhan terasa akrab. Saya tumbuh dengan itu. Di rumah keluarga saya, itu normal seperti Natal, dan selalu masuk akal bagi saya untuk melakukan keduanya,” ujar Ruth Medjber yang mengaku berasal dari keluarga dengan latar belakang dan budaya berbeda.

Ayah Ruth adalah seorang muslim dan ibunya Katolik, sementara dirinya mengaku sebagai ateis. Keingintahuan awal tentang Islam dan budaya agama ayahnya membuat ia mencoba berpuasa selama bulan Ramadhan saat remaja. Selama bertahun-tahun, alasannya untuk berpuasa kian berkembang, dari keinginan untuk mengubah prioritasnya selama masa kuliah menjadi mencari pelipur lara spiritual di usia 30-an.

Ruth merasa puasa selama Ramadhan merupakan praktik yang bermanfaat, memberikan kejelasan, empati, dan rasa kendali selama masa-masa yang tidak menentu. Ia juga menilai pentingnya beramal selama Ramadhan dan perlunya meningkatkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung.

Lain itu, tidak sedikit yang memilih berpuasa karena alasan kesehatan, yakni untuk detoksifikasi tubuh. Dan puasa dianggap sebagai cara untuk melatih disiplin diri, mengendalikan hawa nafsu, dan merenungkan kehidupan.

Alexander Sless, seorang agnostik berusia 26 tahun yang tinggal di Texas, adalah salah satu contohnya. Ia mulai berpuasa Ramadhan setelah mendapat tantangan dari seorang pengguna TikTok dan terus melakukannya untuk disiplin diri.

Motivasi ini tidak berkaitan langsung dengan aspek spiritual, namun tetap menunjukkan bahwa puasa memiliki nilai universal yang bisa diterima oleh berbagai kalangan.

Di beberapa negara, terutama di tempat muslim menjadi minoritas, berpuasa selama Ramadhan bisa menjadi bentuk aktivisme dan solidaritas. Misalnya, di Amerika Serikat dan Eropa, banyak non-muslim yang ikut berpuasa sebagai bentuk dukungan terhadap komunitas muslim yang mungkin menghadapi diskriminasi atau stigmatisasi.

Sebagai contoh, sebuah studi berjudul “Muslim College Students' Negotiation of Ramadan and Academic Responsibilities” yang membahas waktu kuliah dan pengalaman keagamaan di kampus bagi para mahasiswa muslim yang tengah berpuasa di AS.

Sebanyak 24 peserta dimintai pendapatnya, mereka menilai muslim Amerika telah menghadapi diskriminasi dan bias yang meningkat, dengan sekitar 48 persen melaporkan pengalamannya.

Rekan-rekan mereka yang non-muslim lalu ikut berpuasa. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka peduli dan menghargai keberagaman.

Kiwari, Ramadhan semakin dikenal di negara-negara mayoritas Kristen. Di London dan Frankfurt, warga memasang lampu Ramadhan dan menyelenggarakan acara buka puasa terbuka yang menarik baik muslim maupun non-muslim.

Ramadhan di ruang publik di kota-kota tersebut dipandang sebagai tanda pengakuan politik, kesetaraan, dan keberagaman yang semakin meningkat, meskipun hal itu juga memicu perdebatan tentang komersialisasi dan perampasan budaya.

Di sisi lain, keikutsertaan non-muslim dalam kegiatan Ramadhan dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan tradisinya, yang berpotensi memerangi sentimen anti-muslim dan mempromosikan nilai-nilai perdamaian, empati, dan rasa hormat di antara sesama.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi