tirto.id - Bagi banyak orang asing, Bali adalah wajah Indonesia. Pulau ini sering kali dianggap sebagai representasi budaya, tradisi, serta eksotisme negeri ini. Itu semua bisa Anda temui di tiap sudut Bali; di jalanan sempit Kuta, di pantai wilayah selatan, di gemerlap pementasan tari kecak Denpasar, hingga di desa-desa Ubud yang menawarkan kesejukan tanpa tanding.
Pulau Dewata, begitu Bali kerap dipanggil, adalah magnet wisatawan lokal dan mancanegara. Tiap waktu, mereka berbondong-bondong datang ke sana; mencari sejumput kesenangan dan mengharap pesta terus berdendang hingga matahari terbit.
Keindahan dan eksotisme Bali tentu saja tak lahir dari ruang kosong. Selain karena pulau ini punya potensi melimpah untuk jadi besar, salah satu yang membuat popularitas Bali melesat adalah andil Walter Spies, seniman dan pelukis asal Jerman. Berkat kontribusinya lewat kesenian, khususnya seni rupa, Bali pelan-pelan dikenal dunia.
Melawan Pergulatan Batin
Spies lahir dan besar di Moskow, Rusia. Sejak muda, ia sudah tertarik dengan dunia seni. Karya seni yang selalu ia amati ialah karya-karya bikinan Marc Chagall dan Henri Rousseau. Seiring waktu, Spies mulai menyelami dunia seni dengan serius, terutama setelah mengenal kesenian rakyat Baschkirian kala ia ikut wajib militer di Sterlitamak, wilayah di selatan Pegunungan Ural. Kombinasi antara pengaruh Chagall, Rousseau, dan Basckirian inilah yang kemudian membentuk karakter artistik Spies.
Saat Moskow porak-poranda akibat perang, Spies memutuskan pergi ke Jerman, tepatnya di Dresden, tempat di mana orang tuanya berasal. Di sana, Spies makin larut dalam dunia seni. Ia bergabung dengan komunitas seni bernama Hellerau dan berkenalan dengan pematung Hedwig Jaenchen serta pelukis Oskar Kokoschka yang kelak jadi mentornya.
Lingkungan di Jerman, menurut Geff Freen dalam “Walter Spies, Tourist Art and Balinese Art in Inter-War Colonial Bali” (PDF), membikin kemampuannya berkembang dengan baik. Spies bahkan bisa menggelar sejumlah pameran (salah satunya Novembergruppe di Berlin) dan menjual beberapa lukisan. Tak hanya itu, karya-karya Spies juga dipuji para kritikus, salah satunya Frans Roh.
Didorong keinginan untuk menggali sisi artistik lebih dalam, Spies memutuskan untuk berkelana keliling dunia meninggalkan kariernya yang sudah lumayan mapan. Ia mengembara ke Afrika dan Asia, sebelum kembali lagi ke Eropa. Faktor lain yang mendorongnya berkelana adalah kehidupan di Eropa sendiri. Bagi Spies, Eropa begitu muram dan kaku.
“Kau sama sekali tidak mengerti betapa tidak bahagianya aku hidup di antara orang-orang yang tenang dan tanpa emosi di Jerman! Semuanya palsu dan penuh rekayasa,” kata Spies dalam surat yang ditulis untuk kawannya.
Pada Agustus 1923, Spies, bersama kawannya, penulis Heinrich Hauser, berangkat dengan kapal menuju Batavia lewat Cardiff.
Setibanya di Batavia, Spies langsung menjelajah beberapa daerah sebelum akhirnya menetap di Yogyakarta. Di kota itu, Spies menjalin relasi yang cukup dekat dengan para aristokrat keraton dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar gamelan alih-alih melukis.
Meski begitu, Spies tetap membikin lukisan dan dijual dalam beberapa kesempatan. Salah satu yang terkenal yakni lukisan berjudul Laterna Magica, yang dianggap menandai transisi antara gaya lukis Eropa dan keasyikannya dengan eksotisme Asia.
Tiba di Bali dan Bikin Gebrakan
Spies datang ke Bali pertama kali pada 1925 atas undangan Tjokorda Gde Raka Soekawati, bangsawan Ubud yang dikenal pro-Belanda. Oleh Raka, Spies dijamu di Puri Ubud. Keduanya terlibat dalam pertemuan dengan obrolan penuh kehangatan. Kebanyakan berbicara soal seni.
Kunjungan tersebut meninggalkan kesan mendalam bagi Spies. Ia jatuh cinta dengan Bali dan orang-orangnya. Walhasil, pada 1927, ia memutuskan untuk pindah ke Bali. Untuk sementara waktu, Spies menempati Puri Ubud sebelum akhirnya diizinkan Raka membangun rumah di Campuan. Dengan demikian, Spies menjadi generasi awal ekspatriat yang menetap di Bali.
Beberapa tahun pertama di Bali dihabiskan Spies untuk berjejaring serta mempelajari budaya Bali secara keseluruhan. Dalam proses itu, sebagaimana ditulis Jamie James di artikel berjudul “Ubud, the Heart of Bali” (1999), Spies menemukan kondisi bahwa gagasan seni, bagi sebagian besar masyarakat Bali, terdengar asing. Orang Bali, misalnya, tidak punya kata untuk menyebut “seniman”. Melukis, mengukir batu dan kayu, menenun, memainkan alat musik, dan, di atas segalanya, menari adalah apa yang dilakukan seseorang ketika tidak memancing atau bekerja di sawah.
Alih-alih merasa teralienasi, Spies justru termotivasi untuk menggali pelbagai khazanah budaya setempat. Ia memotret realitas Bali dengan cermat yang kemudian ia tuangkan dalam coretan kanvas. Di Bali, demikian tulis John Stowell dalam Walter Spies, a Life in Art (2011), Spies memperoleh titik balik perkembangan artistiknya.
Sama seperti idolanya, Henri Rousseau, Spies begitu mencintai panorama alam. Deretan gunung, hutan, hingga sawah begitu apik ditangkapnya. Ada kepadatan yang tersimpan di tiap gambar yang sederhana. Spies menjadikan gambarnya hidup dengan olah warna yang memukau; putih dan hitam, terang dan gelap, nyata dan dipantulkan, semua diolah dengan perhatian terhadap detail yang mengesankan—memunculkan gambaran lanskap Bali yang mencolok dan mengundang nostalgia.
Ini bisa disimak kala Spies melukis Gunung Agung. Di tangannya, Gunung Agung terlihat begitu megah. Spies menyajikannya dengan nuansa kuning pijar cerah dan oranye hangat yang mendominasi kanvas. Gunung Agung seperti memancarkan cahaya dari dunia lain sekaligus melambangkan kebesarannya sebagai pilar penjaga semesta.
Selama di Bali, Spies telah menghasilkan beberapa karya, seperti Balinese Legend (1929), Buyansee (1934), sampai A View from the Heights (1934). Puncak artistik Spies bisa dilihat pada Mountains and Pond (1938). Lewat lukisan ini, Spies dianggap berhasil menyajikan ketenangan Bali secara paripurna.
Tak sekadar melukis, Spies juga terlibat secara aktif proyek dan kegiatan seni lainnya. Ia menjadi koreografer, desainer, naturalis, fotografer, kurator, hingga konsultan film. Sederet predikat tersebut membikin Spies seperti selebritas. Dengan statusnya ini pula, Spies sering kali menjadi pemandu para tamu asing yang ingin melihat Bali secara langsung, tak semata dari bingkai lukisan. Tamu-tamu Spies bukan orang sembarangan: bintang film, miliarder, hingga bangsawan.
Inilah yang lantas membikin popularitas Bali perlahan meroket di luar negeri. Cerita dari mereka yang habis melancong ke Bali menyebar begitu masif. Rata-rata mereka punya pendapat yang sama: di Hindia Belanda, tanah yang jaraknya terbentang ribuan kilometer dari Eropa, terdapat surga dunia.
Memasuki akhir 1930-an, popularitas Spies mendapati rintangan serius manakala ia ditangkap aparat kolonial karena dianggap melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur. Spies sendiri merupakan seorang homoseksual. Aturan pemerintah kolonial tidak bisa mentoleransi perilaku tersebut. Jika terbukti bersalah, hukuman lima tahun penjara sudah menanti. Beruntung, Spies hanya ditahan selama kurang lebih dua bulan.
Akhir Tragis di Kapal Van Imhoff
Usai bebas, ia sempat tinggal di Bali selama beberapa bulan dan kembali melukis. Namun, gejolak Perang Dunia II membawanya pada nasib buruk. Sebagai keturunan Jerman, ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda bersama ratusan orang lainnya, imbas dari serangan Jerman ke Belanda. Spies lalu diangkut ke kapal Van Imhoff dan dibuang ke Sri Lanka sebagai tahanan perang.
Nahas, ketika sedang berlayar di perairan barat Sumatra, peluru armada Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menenggelamkan Van Imhoff. Peristiwa itu terjadi pada 19 Januari 1942, tepat hari ini 77 tahun silam. Angkatan Laut Jepang tak tahu bahwa kapal yang diserangnya itu adalah kapal yang membawa tahanan perang. Spies yang berada di dalamnya seketika tewas di usia 47.
Perjalanan menggali seni yang ditempuh Spies harus berakhir tragis. Tapi, Spies telah meninggalkan warisan yang penting bagi Pulau Dewata. Selama hampir 14 tahun tinggal di sana, ia berandil mengubah perspektif masyarakat akan seni dan mengenalkan Bali pada dunia luar. Semua dilakukan karena ia begitu terpesona dengan keindahan alam dan budaya Bali.
“Kamu tak bisa membayangkan seperti apa [Bali dan Indonesia] ... Itu adalah hal paling fantastis yang pernah ada,” katanya dalam satu surat.
Editor: Ivan Aulia Ahsan