Menuju konten utama

Vape, Juul, Iqos, Rokok, Mana yang Lebih Sehat?

Vape, Iqos, Juul memang tidak 100 persen bebas risiko, tapi jika dibandingkan dengan rokok, mereka punya risiko kesehatan yang lebih kecil.

Vape, Juul, Iqos, Rokok, Mana yang Lebih Sehat?
Pengguna rokok elektrik. REUTERS/Mark Blinch

tirto.id - Banyak penelitian mengklaim produk tembakau alternatif lebih sehat ketimbang rokok bakar (konvensional). Tapi, di balik klaim tersebut, fakta soal efek negatif produk-produk itu (misalnya saja vape yang meledak atau berisi ganja) terus bermunculan dan justru membikin orang enggan beralih dari rokok bakar.

Sejauh mana produk tembakau alternatif aman digunakan? Apakah klaim-klaim kesehatan itu hanya sekadar jurus marketing semata?

Gede Agus Mahardika terlihat santai mengepulkan uap dari perangkat vape miliknya di pelataran sebuah hotel kawasan Seoul, Korea Selatan. Tercium aroma manis stroberi di udara, yang tak lama hilang tertiup angin. Dengan gayanya yang santai, Ketua Asosiasi Vaporizer Bali (AVB) ini bercerita panjang lebar awal mula ia terjun di industri vape.

Agus dulunya dulunya merupakan seorang perokok berat. Ia sudah mengicip tembakau bakar di usia yang masih terlalu dini, sejak 9 tahun. Tapi di tahun 2014, seorang kolega memberinya hadiah seperangkat alat vaping. Dari situlah, Agus berhenti jadi sobat ‘sebats’. Kini, alih-alih merokok, orang-orang lebih mencirikan tas pinggang kecil berisi perangkat vape yang selalu ia bawa kemana-mana.

“Dari hari pertama kenal vape langsung berhenti ngerokok, lendir hitam keluar dari hidung sampai 2 bulan pertama. Selang 6 bulan baru badan enak, indera pengecap juga lebih sensitif,” tutur Agus seusai acara Asia Harm Reduction Forum (AHRF), Seoul, Kamis (29/8/2019).

“Sekarang nge-vape atau nggak, tidak jadi soal karena tujuan beralih ke vape memang buat berhenti merokok,” tambahnya.

Kesaksian soal berkurangnya intensitas merokok sejak beralih ke vape bukan hanya diceritakan oleh Agus saja. Hampir semua konsumen vape yang saya temui, berkisah soal hal yang sama. Seorang guru besar di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran, Achmad Syawqie Yazid, misalnya. Sudah setahun lebih ia memilih beralih menghisap uap nikotin dibanding tembakau bakar.

“Dulu pembuluh jantung sempat mampet, suatu kali saya ikut kontes pemilihan rektor dan drop karena jantungnya nggak bener, mungkin dari rokok ya,” katanya di sela-sela acara AHRF, Seoul, Kamis (29/8/2019).

Tinggal di Bandung yang terkenal sebagai kotanya anak gaul di Jawab Barat, Achmad mengaku sudah mengenal rokok bakar sejak sekolah menengah pertama. Merokok, bagi remaja sebaya Achmad kala itu, dianggap sebagai aktivitas keren sekaligus menjadi alat perekat komunitas. Kurang lengkap rasanya jika nongkrong tanpa sebatang rokok di tangan.

Sungguh kontras memang, kebiasaan merokok dengan profesinya sebagai dokter. Tapi itu cerita lampau, Achmad sekarang justru fokus melakukan berbakai riset soal usaha pengurangan risiko (harm reduction) tembakau. Ia juga mendirikan Yayasan Pemerhati Kesehatan Public (YPKP) untuk mewadahi para dokter dan ahli dengan visi serupa. Sebagai mantan pecandu rokok, ia paham betul, ancaman “berhenti atau mati” tak lagi mempan disodorkan pada para perokok.

Mana yang Paling Berbahaya: Rokok atau Tembakau Alternatif?

Sebelum mulai membaca bagian ini, saya akan menggarisbawahi, bahwa pada dasarnya tak ada produk tembakau alternatif yang diciptakan untuk orang yang baru mau mengenal nikotin. Semua produk tembakau alternatif dibuat dengan tujuan menghentikan kecanduan para perokok. Konsepnya sama, pelan-pelan mereduksi jumlah TAR dan nikotin yang membikin kecanduan, hingga akhirnya berhenti sama sekali.

Sebelumnya Tirtopernah mengulas soal alasan yang membikin rokok konvensional berbahaya. Selama ini nikotin dianggap sebagai zat berbahaya pada rokok, padahal anggapan ini salah. Nikotin dihasilkan secara alami dari berbagai macam tumbuhan, seperti suku terung-terungan (Solanaceae), tembakau, tomat, dan kafein.

Senyawa alkaloid tersebut memiliki efek candu dan bersifat stimulan ringan. Pada tubuh yang sehat, nikotin bahkan tak memiliki efek yang signifikan. Zat yang bertanggung jawab atas nilai toksisitas dalam rokok adalah tar yang terbentuk dari reaksi pembakaran tembakau. Ringkasnya, asal tembakau tidak dibakar, maka ia tidak menimbulkan tar dan lebih rendah risikonya.

Begitulah prinsip kesehatan yang diambil oleh produk tembakau alternatif. Tembakau-tembakau itu tidak dibakar, tapi dikunyah, dihirup, ditempel, atau dipanaskan. Jenis yang terakhir, biasa disebut Electronic Nicotine Delivery Systems (ENDS), produk yang sedang nge-tren dan paling populer digunakan, seperti vape, iqos, e-cigarettes, Juul dll.

Sekarang mari kita menguji fakta kesehatan produk-produk tersebut.

Konsep pengurangan risiko tembakau mulai diperkenalkan ke dunia medis pada dekade 1960-an. Para ahli medis kala itu akhirnya memilih fokus mengurangi efek buruk tembakau dibanding meminta perokok menghentikan kebiasaannya. Mereka kemudian merekomendasikan produk dengan kandungan tar dan nikotin lebih rendah untuk mereduksi risiko kesehatan.

Brad Rodu dan William T Godshall pernah menguji risiko kanker pada konsumen produk-produk tembakau alternatif yang ditempel, dikunyah, dan dihirup dibandingkan dengan perokok (2006). Intinya produk tembakau alternatif jenis tersebut tidak dikaitkan dengan risiko kanker faring, laring, paru-paru, kanker perut, ginjal, esofagus, pankreas, dan kandung kemih. Tapi sebaliknya dengan hasil dari produk rokok konvensional.

Sementara penelitian terbaru oleh Collins, dkk (2019) menyebut penggunaan ENDS dapat menurunkan intensitas merokok/ketergantungan hingga 44 persen, dibanding perokok. Studi lain yang muncul dalam British Medicine Journal juga mendukung ENDS dengan menyimpulkan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih aman daripada rokok konvensional.

Sementara FKG UNPAD dengan YPKP dalam penelitian internal mereka menyimpulkan bahwa jumlah bakteri anaerob dan flora normal dalam mulut pada pengguna elektronik lebih tinggi dibanding non perokok, tapi jauh lebih rendah dibanding perokok aktif. Sel mukosa mulut pengguna rokok elektronik juga tidak dikategorikan ganas.

“Rokok sangat jelas bahayanya karena 100 persen efek pembakaran, sementara satunya (ENDS) tidak melewati proses itu. Betul bahaya, tapi tingkat risiko paparannya di bawah (rokok konvensional),” jelas Achmad Syawqie Yazid, peneliti utama dalam studi tersebut.

Menelisik Aturan Vape dan Kawan Sejenisnya

Baru-baru ini, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Departemen Kesehatan milik Amerika Serikat merilis hasil temuan kesehatan terkait dampak vaping. Mereka mengaitkan 94 kasus penyakit paru-paru parah pada 14 negara bagian dengan penggunaan vape (15 Agustus 2019).

Tak hanya masalah kesehatan yang membikin produk tembakau ENDS masih kontroversial sebagai produk peralihan rokok. Di Indonesia, pertengahan Juli lalu tersiar kabar liquid vape terisi ganja cair. Bahkan di beberapa tempat perangkat vape dikabarkan sering meledak dan membikin penggunanya cidera.

“Isi dan emisi ENDS mengandung bahan kimia lain, beberapa di antaranya dianggap beracun,” demikian World Health Organization (WHO) menegaskan posisinya terhadap dampak kesehatan dari ENDS.

Pernyataan inilah yang seringkali dijadikan acuan soal bahaya vape dan kawan-kawannya, sehingga posisi para ahli kesehatan pun masih terpecah dua. Ada yang mendukung ENDS dengan alasan, selain lebih rendah risiko, produk ini paling mendekati rokok, sehingga tidak menghilangkan aktivitas menghirup dan mengeluarkan (semacam) asap.

Namun mereka yang kontra tak bisa ditawar keyakinannya, bahwa, racun, apapun jenisnya, tetaplah berbahaya. Terhadap situasi ini Food and Drug Administration (FDA), Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat memilih berdiri di tengah. Mereka cenderung berada di sisi pro pengurangan risiko perokok konvensional namun bersyarat.

Soal kekhawatiran keamanan isi, perangkat, dan pengguna ENDS, FDA menyarankan negara membentuk regulasi ketat terhadap produk tersebut, diantaranya, tidak dijual pada anak di bawah umur 18 tahun. Selain itu kualitas produk juga bisa diawasi dengan sertifikasi produsen liquid dan perangkat ENDS.

“Bersama kita kawal agar pemain tidak bisa sembarangan,” tambah Achmad.

Infografik Alternatif Tembakau

Infografik Alternatif Tembakau. tirto.id/Sabit

Perbedaan Situasi Indonesia dan Negara Lain

Legalitas salah satu produk ENDS, yakni vape, di Indonesia memang sudah setahun lebih berjalan, Namun pro kontra soal keamanannya masih jadi topik diskusi hangat hingga saat ini. Masalahnya, pemerintah seolah melegalkan vape hanya karena ingin mengambil cukai produk sebesar 57 persen.

Tak ada aturan soal distribusi atau standar kesehatan dan keamanan produk, seperti yang diterapkan oleh Selandia Baru, misalnya. Negara ini sudah mencanangkan program bebas rokok pada tahun 2025, sejak delapan tahun lalu. Mereka menargetkan menekan risiko tembakau bakar hingga ke titik paling minimal. Caranya, dengan memanfaatkan rokok elektrik sebagai alat untuk mengurangi risiko tembakau pada sekitar 500 ribu perokok di sana.

Kementerian Kesehatan Selandia Baru juga menerbitkan standar keamanan umum pada produk, memantau penggunaan rokok elektronik, kesehatan pengguna, dampak pada tingkat individu dan populasi, serta efek jangka panjang. Tiga tahun sejak periode 2014 hingga 2017 program ini dijalankan, jumlah perokok di negara tersebut berkurang sekitar 4,5 persen.

“Memang salah satu tantangan mempopulerkan produk harm reduction adalah soal informasi. Masyarakat tidak dapat info tepat dari pemerintah soal harm reduction, regulasinya juga belum pro kesehatan,” komentar Tikki Pengestu, seorang profesor asal Indonesia yang mengajar di Lee Kuan Yew of Public Policy, National University of Singapore dalam acara AHRF di Seoul, Kamis (29/8/2019).

Masalah lain yang belum juga tuntas adalah soal keberpihakan pemerintah terhadap rokok konvensional. Tikki mengatakan, cukai rokok yang mencapai enam persen dari pendapatan negara mampu menjadi ‘alat kontrol’ politik dan ekonomi Indonesia. Singkatnya, strategi rokok masih unggul dalam perang dagang menghadapi vape dan kawan-kawannya.

Sekarang, pilihannya tergantung pada pemerintah: terus berada dalam rotasi tak berkesudahan menikmati cukai rokok dan menjadikan beban kesehatan naik, atau ikut mendukung program pengurangan risiko tembakau bersama Selandia Baru, Inggris, dan Jepang demi kualitas hidup rakyat Indonesia yang lebih baik.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf