tirto.id - Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) menilai aturan cukai rokok saat ini belum efektif dalam mengoptimalkan penerimaan negara, dan justru menjadi celah bagi perusahaan tembakau untuk mengurangi kewajiban cukainya.
Dalam diskusi bertajuk "Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Kebijakan Tarif Cukai Tembakau", di Jakarta Selatan, Rabu (28/8/2019), Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan celah dalam aturan cukai rokok itu bahkan dilakukan oleh perusahaan multinasional.
"Misalnya perusahaan rokok yang membayar tarif cukai pada golongan 2B (rendah) memproduksi 1 miliar batang dengan harga jual eceran (HJE) minimum Rp715 per batang, maka pendapatan kotornya adalah Rp715 miliar. Apakah ini termasuk perusahaan kecil," kata Tauhid.
Untuk diketahui, pengusaha pabrik hasil tembakau di Indonesia digolongkan dari sisi volume produksi rokok. Hal itu tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (PDF).
Ambil contoh, pengusaha pabrik sigaret putih mesin (SPM). Jika pabrik memproduksi di atas 3 miliar batang, maka pabrik tersebut digolongkan sebagai pabrik SPM golongan I. Apabila di bawah 3 miliar batang, maka digolongkan sebagai pabrik SPM golongan II.
Tarif cukai kedua golongan tersebut masing-masing berbeda. Untuk pabrik SPM Golongan I, tarif cukainya sebesar Rp625 per batang. Sementara untuk pabrik SPM golongan II, besaran tarif cukainya sebesar Rp370 per batang.
Padahal, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mengatur bahwa perusahaan dengan penjualan di atas Rp50 miliar per tahun termasuk kategori usaha besar.
"Masih ditemukan pelaku industri besar [memproduksi dengan jumlah besar] terindikasi berada pada golongan rendah," kata Tauhid.
Di samping itu, ada pula temuan lain soal keberadaan diskon rokok yang menyalahi konsep cukai sebagai instrumen pengendalian dan berpotensi membuka peluang persaingan yang tak adil.
Menurut Tuahid, diskon tersebut terjadi akibat level playing field yang tidak setara. Perdirjen Bea dan Cukai nomor 37/2017 membolehkan penjualan rokok di bawah harga transaksi pasar (HTP), yakni 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai. Namun, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari HJE asalkan tak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
Faktanya, ungkap Tauhid, penelitiannya terhadap 1.327 merek rokok menemukan bahwa 46,8 persen diskon terjadi pada sigaret kretek mesin yang membayar tarif cukai golongan yang rendah. Selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, keberadaan diskon rokok juga turut membuat penerimaan negara tidak optimal.
"Baiknya menghindari terjadinya oligopoli karena ketidakmampuan perusahaan kecil bersaing dengan perusahaan besar dalam hal distribusi jaringan, modal, tenaga kerja," jelas Tauhid.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana & Ringkang Gumiwang