tirto.id - Tatkala dunia sedang butuh-butuhnya vaksin untuk menghentikan keganasan SARS-CoV-2 yang tengah mewabah, nasib buruk menimpa Johnson & Johnson dan AstraZeneca. Kedua produsen vaksin Covid-19 harus rela menerima kenyataan pahit bahwa produk mereka menghasilkan efek buruk, bahkan mematikan (meskipun dalam kuantitas minim dibandingkan total penerima vaksin). Di Indonesia, misalnya, usai menerima vaksin yang pertama dalam program vaksinasi Covid-19 yang diselenggarakan pemerintah di Gelora Bung Karno, Jakarta, Trio Fauqi Virdaus meninggal dunia. Kematian pemuda berusia 22 tahun itu dikait-kaitkan dengan suntikan vaksin AstraZeneca yang diterimanya.
Di Australia, Therapeutic Goods Administration (TGA), otoritas setempat yang menangani peredaran obat-obatan, menyebut lima hingga tujuh orang dari setiap 1.000 penerima vaksin AstraZeneca mengalami penggumpalan darah. Di Inggris hingga 14 April lalu, 168 kasus penggumpalan darah--32 di antaranya berakibat kematian--diyakini terkait dengan pemberian vaksin AstraZeneca. Di AS, usai 28 dari 8,7 juta jiwa penerima vaksin Johnson & Johnson mengalami kasus pembekuan darah, pemerintah menghentikan penggunaan vaksin ini untuk sementara waktu. Di Uni Eropa, otoritas setempat menyebut bahwa dari setiap 100.000 jiwa penerima vaksin Johnson & Johnson, satu di antaranya terkena gangguan kesehatan.
Akibat serangkaian nasib buruk yang menimpa penerima vaksin AstraZeneca dan Johnson & Johnson, muncul keraguan publik akan keamanan dua vaksin yang mengandung bahan baku berupa adenovirus ini. Sebagaimana dilaporkan Caitlin Owens untuk Axios, 54 persen responden di AS yang dimintai tanggapan terkait vaksin Johnson & Johnson mengaku bahwa mereka enggan menerima suntikan Johnson & Johnson di masa mendatang, bahkan meskipun pemerintah menyatakan aman. Dan merujuk penelitian yang dilakukan University of Bristol, King’s College London, dan NIHR Health Protection Unit in Emergency Preparedness and Response, 23 persen publik Inggris percaya bahwa vaksin AstraZeneca memang menyebabkan penggumpalan darah.
Meski jumlahnya kecil, kasus-kasus ini bisa bermuara pada satu hal: meningkatnya sentimen anti-vaksin yang tentu menyulitkan upaya pemerintah menghentikan keganasan Covid-19.
Bahkan, menurut catatan sejarah, Pakistan menjadi negara yang harus rela menelan pil pahit upaya membasmi polio gagal karena sentimen negatif atas vaksin. Ironisnya, pihak yang paling bertanggung-jawab atas merebaknya keraguan akan vaksin di tengah publik Pakistan adalah ... CIA.
Tatkala Paman Sam Berupaya Menangkap Osama bin Laden, Kesehatan Rakyat Pakistan Dikorbankan
"Central Intelligence Agency (CIA) menggelar program vaksinasi palsu di kota di mana mereka percaya bahwa Osama bin Laden bersembunyi," tulis Saeed Shah untuk The Guardian, mengungkap metode badan intelijen Amerika Serikat dalam menangkap sosok yang ditetapkan sebagai salah satu dalang peristiwa 9/11, Juli 2011 silam atau tepat dua bulan selepas Osama ditangkap (dibunuh).
Beberapa bulan sebelum operasi penyerbuan lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian Osama bersembunyi pada Mei 2011, AS sebetulnya percaya bahwa buronan utamanya itu berada di Pakistan, bukan Afganistan. Keyakinan ini bersumber dari kerja penginderaan jauh (satelit).
Namun, karena Pakistan merupakan negara sekutu AS, Paman Sam harus mengajukan bukti yang sukar dibantah agar tidak menimbulkan masalah berarti dalam hubungan AS-Pakistan. Maka, sebagaimana dicatat Monica Martinez-Bravo dalam studi berjudul "In Vaccines We Trust? The Effect of the CIA's Vaccine Ruse on Immunization in Pakistan" (Journal of the European Economic Association, 2019), CIA mengadakan program vaksinasi hepatitis B untuk anak-anak. Sayangnya, program vaksinasi ala CIA ini tidak bertujuan menghapus penyakit hepatitis B dari bumi Pakistan, melainkan untuk memperoleh DNA dari anak-anak yang menerima vaksin.Tatkala DNA berhasil diperoleh, CIA akan membandingkannya dengan DNA adik perempuan Osama yang meninggal di Boston, AS, pada 2010 silam.
CIA merekrut dokter senior di Pakistan bernama Shakil Afridi. Dari jejaring Afridi pula CIA merekrut banyak petugas kesehatan Pakistan untuk menjalankan program vaksinasi tanpa memberi tahu alasan sesungguhnya. Awalnya, kembali merujuk studi yang dilakukan Martinez-Bravo, vaksinasi hepatitis B dilakukan di banyak lokasi kumuh di perkotaan Pakistan. Lalu, pada akhir Maret 2011, CIA menggeser program ke wilayah yang lebih spesifik, yakni Bilal Town dan Nawa Sher (dua kampung yang bersebelahan dengan Abbotabad). Dalam proses pemberian vaksin hepatitis B ini, CIA ini tidak melakukan proses suntik vaksin kedua. Padahal, vaksinasi hepatitis B dilakukan dengan dua kali injeksi.
Tidak ada informasi apapun yang mengungkap bagaimana DNA anak-anak yang divaksin dikumpulkan. Namun, sebagaimana ditulis Animesh Roul dalam studi "The Pakistan Taliban's Campaign Against Polio Vaccination" (CTS Sentinel Vol. 7 2014), DNA anak-anak Pakistan dikumpulkan oleh CIA dari bekas jarum suntik vaksin yang digunakan. Berkat ribuan sampel itulah Paman Sam berhasil membunuh Osama yang tengah bersembunyi di Abbotabad, tepat pada 2 Mei 2011.
Di luar kesuksesan operasi Navy SEAL membunuh Osama, vaksinasi abal-abal ala CIA berbuah petaka di dunia kesehatan Pakistan. Kembali merujuk studi Martizen-Bravo, jauh sebelum CIA mengadakan vaksinasi sebagai upaya menangkap Osama, Taliban sangat anti-vaksin dan mengharamkan vaksinasi terhadap anak-anak Pakistan. Bagi Taliban, vaksinasi merupakan "gaya hidup orang Barat" sebagai upaya untuk "membuat kaum Muslim impoten" sehingga jumlah populasi muslim turun. Supaya muslim Pakistan tak menyentuh vaksin, Taliban mengkampanyekan informasi sesat yang menyatakan bahwa vaksin dibuat zat dari babi, yang haram dalam hukum Islam.
Tatkala laporan The Guardian terbit, sebut Martinez-Bravo, "Taliban seakan memiliki kredibilitas yang besar atas kampanye anti-vaksin yang mereka gaungkan di Pakistan selama ini." Yang lebih parah, atas terbongkarnya taktik busuk CIA itu, Taliban mengeluarkan fatwa (yang juga busuk) pada Juni 2012. Fakta itu menyatakan: "Petugas kesehatan penyuntik vaksin adalah mata-mata CIA." Merujuk apa yang diungkap Roul dalam studi akademiknya, fatwa ini disusul oleh serangkaian pembunuhan terhadap para petugas kesehatan.
Sebanyak 56 petugas kesehatan tewas di tangan individu dan kelompok yang berafiliasi dengan Taliban. Pada pertengahan Desember 2012, militan Taliban mengacaukan program vaksinasi polio nasional yang dilakukan pemerintah Pakistan selama tiga hari. Taliban juga membunuh sembilan petugas vaksin. Pada Oktober 2013, Taliban memporak-porandakan lokasi distribusi vaksin di Peshawar dan membunuh tujuh petugas vaksin. Pada Januari dan Maret 2014, di tengah proses vaksinasi polio, Taliban meledakkan bom. Enam petugas kepolisian dan seorang anak yang tengah menunggu vaksin tewas.
Taliban bahkan mengeluarkan fatwa yang menyatakan petugas vaksin perempuan sebagai "pekerja yang tak bermoral", dan mewajibkan pengikut Taliban untuk menculik petugas vaksin perempuan. Tak tanggung-tanggung, fatwa gila ini pun mengajak pengikut Taliban untuk "menikahi petugas vaksin perempuan, bahkan seandainya mereka telah bersuami." Jika petugas vaksin perempuan menolak, mereka "dapat dijadikan budak seks".
Salma Farooki, petugas vaksinasi dalam program pemerintah bertajuk "Sehat Ka Insaf," diculik dan disiksa pada 24 Maret 2014 oleh salah satu pengikut Taliban gara-gara fatwa tersebut.
Efek jangka panjang dari aksi CIA dan fatwa Taliban ini lebih gila lagi. Martinez-Bravo mencatat, Selepas program vaksinasi ala CIA terbongkar, "terjadi penurunan pemberian vaksin poliomyelitis, DPT, dan campak pada anak-anak, dibandingkan sebelum aksi CIA terekspos." Paling tidak, penurunan pemberian vaksin pada anak-anak di Pakistan tersebut berada di kisaran 20 persen dibandingkan sebelumnya. Merujuk editorial The Lancet edisi 2014 berjudul "Polio Eradication: The CIA and their Unintended Victims," sebanyak 61 hingga 77 kasus polio baru muncul kembali di Pakistan usai vaksinasi abal-abal CIA.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) marah besar dan menyatakan CIA sebagai biang kerok "tergerusnya kepercayaan publik terhadap imuninasi dan vaksinasi" sehingga penyakit yang seharusnya telah musnah kembali muncul di Pakistan. Menurut WHO, vaksinasi dapat menyelamatkan nyawa 2-3 juta jiwa setiap tahunnya.
Tak hanya WHO, 12 dekan universitas kedokteran terbaik di AS melayangkan protes kepada Presiden Barack Obama. Mereka meminta sang presiden tidak menyetujui program kesehatan apapun untuk digunakan sebagai taktik mata-mata.
Kematian Osama dirayakan dengan suka cita. Sementara petugas kesehatan dan anak-anak di Pakistan dibiarkan sengsara oleh penyakit yang sebetulnya bisa dibasmi oleh vaksin.
Vaksinasi palsu oleh CIA di Pakistan pada 2011 memperkuat narasi anti-vaksin Taliban. Dan sepertinya akan terus begitu sampai kiamat.
Editor: Windu Jusuf