tirto.id - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, pemerintah perlu mengatur praktik predatory pricing atau jual rugi di e-commerce usai social commerce seperti TikTok Shop dilarang. Dia menilai predatory pricing pada e-commerce sama bahayanya.
“Menurut saya relatif lebih baik [TikTok Shop tutup], namun masih ada kurang lah, wajar, seperti aturan predatory pricing, aturan Permendag 31 hanya seputar teknis, jadi perlu penajaman, pemahaman beberapa hal, misalnya soal konsep predatory pricing,” jelas Tauhid kepada Tirto, Rabu (4/10/2023).
Meski social commerce telah disetop, kata Tauhid, praktik predatory pricing masih dilakukan. Hal itu yang merugikan pedagang konvensional karena kalah bersaing.
“Apakah dengan dibedakan platform menjamin mereka melakukan predatory pricing lagi? Kan tidak,” tegasnya.
Tauhid menambahkan, pemerintah harus lebih detail dalam mengatur masalah praktik predatory pricing.
“Barang impor dan sebagainya itu kan harus diteliti, itu barang impor masuk ke mari dengan harga normal, kalau itu [aturan spresifik terkait predatory pricing] dilakukan kan kita enggak khawatir,” jelasnya.
Menurut cara kerjanya, tambah dia, predatory pricing dilakukan dengan menipiskan margin sekecil-kecilnya, namun kuantitas yang terjual lebih banyak. Praktik tersebut yang dinilai merugikan pedagang konvensional.
Namun demikian, Tauhid menilai, langkah pemerintah untuk memisahkan e-commerce dan media sosial sudah tepat. Aturan tersebut sebagaimana yang termaktub dalam Permendag 31 Tahun 2023.
“Saya kira harus terpisah ya, kalau pun nanti ada e-commerce [TikTok], pasti harus ada aturan terpisah,” jelasnya.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Anggun P Situmorang