Menuju konten utama

Urgensi RUU Penghapusan Diskriminasi untuk Penanganan HIV/AIDS

Sebetulnya sudah ada beberapa undang-undang yang mengatur penghapusan diskriminasi namun belum komprehensif.

Urgensi RUU Penghapusan Diskriminasi untuk Penanganan HIV/AIDS
Ilustrasi HIV pada anak. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Masih suburnya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV (ODHIV) di masyarakat menjadi tantangan bagi penanggulangan HIV/AIDS. Hal ini diperburuk dengan munculnya sejumlah peraturan daerah (perda) yang bermuatan diskriminatif terhadap kelompok rentan seperti perempuan, minoritas gender dan seksual, ODHIV, hingga minoritas agama.

Penelitian Komnas Perempuan pada 2018 lalu menemukan adanya 421 perda diskriminatif. Sebanyak 333 perda di antaranya menyasar langsung kepada perempuan dan kelompok rentan. Sayangnya, banyak dari perda-perda tersebut masih eksis saat ini sebab rejim perundang-undangan saling tumpang tindih terhadap pembolehan penghapusan peraturan daerah.

Akhirnya, MK pada 2016 memutuskan bahwa Kemendagri tidak bisa langsung membatalkan perda-perda tersebut, tetapi harus lewat uji materi di MA. Menurut data Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist), hingga kini masih ada 177 perda yang diskriminatif.

Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Saffah Salisa Az-Zahro, menilai diskriminasi terjadi sebab implementasi hukum di Indonesia yang buruk. Sebetulnya, kata dia, sudah ada beberapa undang-undang yang mengatur penghapusan diskriminasi namun belum komprehensif.

“Ada kelompok masyarakat yang berpotensi mengalami diskriminasi seperti orientasi seksual berbeda dan kelompok minoritas lain,” kata Salisa dalam diskusi bertema DUHAM 39: Urgensi Penghapusan Diskriminasi, di Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2024).

Ia mencontohkan, Indonesia memiliki UU HAM 39/1999 namun baru menyasar kelompok lanjut usia, fakir miskin, dan kelompok disabilitas. Selain itu, ada UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, tetapi masih sangat umum soal ras dan etnis saja. Dalam KUHP baru tahun 2023 pun belum menyasar kelompok minoritas lainnya.

Menurut Salisa, baru satu peraturan level menteri yakni PermenkumHAM) Nomor 16 Tahun 2024 yang cukup progresif sebab sesuai standar HAM universal. Peraturan ini mengatur Pedoman Pengarusutamaan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Di dalamnya ada ketentuan anti-diskriminasi, berdasarkan ras, warna kulit, kesukuan, gender, usia, bahasa, ketidakmampuan, orientasi seksual, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul secara sosial atau geografis, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya.

“Frasa ‘status lainnya’ ini sesuai standar Duham [deklarasi universal HAM] karena sangat mungkin diskriminasi berdasarkan kelompok tertentu tapi belum masuk dalam peraturan,” ujar Salisa.

Banyaknya perda diskriminatif yang masih berlaku dinilai Salisa membuat kelompok rentan seperti orang dengan HIV tidak terlindungi dengan baik. Faktanya, diskriminasi dan stigma terus menimpa Odhiv yang menyebabkan akses kesehatan untuk mereka jadi terhambat.

“Sampai sekarang masih berlaku dan maka kita hingga saat ini masih terikat juga dalam aturan yang diskriminatif,” tutur Salisa.

PEMERIKSAAN HIV GRATIS

Petugas mencatat identitas darah seorang warga saat pemeriksaan HIV secara gratis di halaman Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (30/11/2019). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

Adanya perundang-undangan yang memuat anti-diskriminasi saat ini juga belum mencakup minoritas gender, minoritas agama, atau bahkan orang dengan HIV secara komprehensif. Terlebih, kebanyakan beleid mengatur sanksi pidana namun jarang memasukkan sanksi administratif yang justru lebih implementatif dalam kasus sehari-hari.

“Padahal harusnya penyelesaiannya juga ada administratif. Kayak siswa SD yang nggak boleh sekolah karena HIV, itu kan administrasi harusnya ya diperbolehkan bukan dipidana,” sambung dia.

Maka dari itu, kelompok masyarakat sipil memandang penting kehadiran payung hukum penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan untuk membenahi masalah ini. Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) yang terdiri dari 46 organisasi masyarakat sipil, sejak 2021 sudah mulai merumuskan dan menjajakan kajian akademik RUU Penghapusan Diskriminasi terhadap Kelompok Rentan.

Ditemui reporter Tirto usai acara diskusi, Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menyampaikan bahwa RUU Penghapusan Diskriminasi murni datang dari gerakan masyarakat sipil. Gagasan pembentukan RUU ini didorong sebab banyak permasalahan soal stigma dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang belum terlindungi produk hukum yang ada.

“Mulai dari teman-teman minoritas agama, teman-teman minoritas seksualitas dan gender, termasuk juga berkaitan tadi misalnya teman-teman orang dengan HIV. Jadi banyak kasus stigma dan diskriminasi terjadi, tapi banyak juga yang nggak memberikan perlindungan sama mereka dalam konteks kerangka hukum,” kata Gina.

Menurut Gina, RUU Penghapusan Diskriminasi akan membantu penanggulangan HIV/AIDS karena menghapus perda-perda atau aturan ketertiban umum yang justru melanggengkan diskriminasi pada kelompok minoritas. Kehadiran perda-perda diskriminasi membuat orang-orang takut tes HIV, orang dengan HIV jadi takut berobat, dan secara tidak langsung menghambat kerja dinas kesehatan menjalankan tugas.

Salah satu kebijakan diskriminatif yang disoroti dalam diskusi ini misalnya Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang P4S. Selain berdampak pada munculnya konflik vertikal dan horizontal, kebijakan diskriminatif ini dinilai melanggengkan praktik pembatasan hak asasi manusia termasuk hak atas kesehatan.

Pada sektor kesehatan, kebijakan diskriminatif yang lahir ini juga akan bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam merespons HIV dan menghambat akses terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama populasi kunci.

“Padahal itu penting kalau kita ngomongin HIV, tes harus dilakukan secara berkala. Kalau orang yang ketahuan status HIV-nya harus dapat pengobatan. Nah, tapi karena ada tadi perda-perda yang begitu, itu akhirnya bikin orang takut tes. Bikin orang juga takut kalau terungkap, takut pergi ke layanan kesehatan,” ucap Gina.

Saat ini, kata dia, kelompok masyarakat sipil sudah mulai bergerilya menemui pemangku kebijakan dan pembuat legislasi untuk mengenalkan RUU Penghapusan Diskriminasi ini. Dia bersyukur usulan masyarakat sipil ini yang akan membantu penanggulangan HIV/AIDS dan melindungi kelompok rentan, disambut baik oleh pemerintah dan anggota parlemen.

“Jadi ini jadi usaha bersama, teman-teman juga berupaya, kita tinggal cari momentum apa yang bisa dorong undang-undang ini juga dilirik oleh pemerintah untuk diprioritaskan,” sebut Gina.

Membantu Penanggulangan HIV/AIDS

Peneliti dan Program Officer Inti Muda Indonesia, Vincentius Azvian, memaparkan dalam diskusi bahwa data Kementerian Kesehatan pada 2022 mencatat, estimasi di Indonesia ada sebanyak 576 ribu orang dengan HIV. Namun, baru ada 429 ribu orang atau 81 persen yang mengetahui statusnya.

“Dari jumlah tersebut yang melakukan pengobatan hanya 41,85 persen. Kemudian yang melakukan tes lagi untuk mengetahui apakah virusnya masih terdeteksi hanya 20 persen,” kata Vincentius.

Adapun jika spesifik membahas kelompok orang muda, di Indonesia pada 2021 tercatat 51 persen angka infeksi baru HIV dialami oleh orang muda usia 15-24 tahun. Berdasarkan jenis kelamin 60 persen adalah laki-laki dan 40 persen perempuan.

Vincentius menekankan pentingnya menghapus perda-perda diskriminatif yang membuat orang dengan HIV dan kelompok rentan sulut mendapatkan hak asasi manusia dan hak akses kesehatan yang baik. Perda-perda diskriminatif justru membuat populasi kunci rentan dikriminalisasi atau dipaksa direhabilitasi sewenang-wenang.

Misalnya dalam Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang P4S yang memberi kewenangan bagi ormas menangkap kelompok atau individu yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan dalih dibawa ke layanan rehabilitasi.

“Jadi tanpa bukti bisa langsung ditangkap,” ujar dia.

Padahal, akses layanan kesehatan terapi antiretroviral atau ARV pada orang dengan HIV merupakan kunci keberhasilan memutus penularan di masyarakat. ARV sangat penting berperan untuk menekan jumlah virus HIV dalam tubuh. Setelah mengonsumsi ARV rutin 3-6 bulan, jumlah virus dalam tubuh akan berkurang secara signifikan.

Ketika sudah rutin menerima terapi ARV, virus tidak lagi terdeteksi sehingga risiko penularan akan sangat berkurang. Risiko pasien mengalami AIDS (acquired immune deficiency syndrome) juga mampu dicegah.

“Padahal kalau sudah melakukan pengobatan secara rutin dan virusnya tidak terdeteksi, itu bisa untuk melakukan pernikahan. Jadi tidak bisa menularkan kalau HIV tidak terdeteksi walaupun harus konsumsi obat [rutin],” sambung Azvian.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim HIV Penyakit Infeksi Menular Seksual, Direktorat P2PM Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Endang Lukitosari, memandang saat ini pemerintah sendiri sudah sejalan dengan tujuan global dalam penanggulangan HIV/AIDS. Indonesia sepakat mengejar target di tahun 2030 mampu menghentikan laju infeksi baru, kematian terkait AIDS, dan menghapus stigma dengan nol diskriminasi.

Kemenkes melakukan upaya penanggulangan HIV-AIDS itu dengan menempuh jalur cepat 95-95-95. Target itu artinya indikator 95 persen ODHIV diketahui status HIV-nya, 95 persen ODHIV diobati dan 95 persen ODHIV yang diobati mengalami supresi virus.

Luki, sapaan akrabnya, mengakui memang masih ada tantangan dalam penanggulangan HIV/AIDS. Misalnya stigma dan diskriminasi yang berdampak pada testing dan pengobatan HIV yang terhambat.

“Ketidaktahuan dan keterbatasan pengetahuan di wilayah abu-abu yang grey area memang harus kita luruskan dan advokasi tiada henti,” ucap Luki.

Luki menyampaikan gagasan RUU Penghapusan Diskriminasi memang perlu tetap dikawal agar bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, dia berharap dukungan upaya pemerintah saat ini yang terus berusaha mengejar target penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

“Menurunkan angka HIV tanpa menurunkan stigma dan diskriminasi tentu akan sulit,” kata Luki.

Baca juga artikel terkait UNDANG-UNDANG atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang