Menuju konten utama

Tur Nirantara Senyawa: Suara yang Jauh dari Lampu Sorot

Nirantara memiliki arti tidak ada antara. Hal tersebut juga bisa memiliki makna tidak ada sekat, tidak ada batas, apalagi penghalang.

Tur Nirantara Senyawa: Suara yang Jauh dari Lampu Sorot
Senyawa. FOTO/Alma Noxa

tirto.id - Baca Bagian I di Sini: Tur Senyawa di Ciayumajakuning: Kelana yang Bersuara

Serampung menuntaskan istirahat, rombongan pun melanjutkan titik kedua tur yakni Jatibarang, Indramayu. Selepas Isya’, Senyawa dijadwalkan bermain di Pelataran Coffe Shop yang terletak di Pasar Jatibarang pada Ahad, 9 Juli 2023. Perjalanan dari Cirebon ke Indramayu ditempuh selama 1,5 jam. Untuk acara di Indramayu kali ini, Serikat Petani Indonesia (SPI) Indramayu turut hadir untuk meramaikan acara. Sebuah kolektif dari Indramayu, Pantura Soul juga turut serta menghadirkan kesenian khas Indramayu yakni Berokan Singo Lodra.

Panji Lodra, grup kesenian khas Indramayu tampil sebagai pembuka gigs kali ini. Mereka hadir dengan seperangkat gamelan dan juga barong berbentuk serupa kepala singa. Dalang yang juga penari berokan, Niko Talaprilia menari menggunakan barong dengan diiringi suara gamelan. Dalam pertunjukan ini sang dalang yang berada dalam barongan menceritakan tentang bagaimana takluknya nafsu amarah untuk mencapai nafsu mutmainah dalam bentuk tarian. Barong yang takluk oleh seorang pawang dapat diartikan bahwa amarah harus ditaklukan agar dapat menjaga keselarasan di dunia.

Saat Senyawa tampil, Dalang Niko pun lalu sempat kembali mengangkat barongnya untuk menari bersama Senyawa. Barongan tersebut merespons penampilan Senyawa yang tampil serba hitam malam itu. Niko mengungkapkan ada dorongan sesuatu yang membuatnya menjadi penari latar saat pertunjukan Senyawa.

“Musik dari Senyawa dan tata vokal dari Senyawa itu membuat saya tidak menghiraukan itu pitch-nya seperti apa, olah vokalnya seperti apa. Tapi musik selaras dengan vokal itu menurut saya menjiwai dan memang alur musiknya dan vibes-nya beda," kata Niko.

Menurutnya, ada dorongan mendadak yang membuatnya jadi tampil bersama Senyawa. "Musiknya itu sebenarnya menyatu atau nyawiji dengan apa yang dibawa oleh saya,” tambahnya.

Sebagaimana pertunjukan di Cirebon, Senyawa tampil kurang lebih sekitar 1 jam. Mereka memainkan Set Vajranala, dan beberapa lagu di album Alkisah dan Sujud. Set Vajranala yang berisi trilogi itu dimainkan selama 30 menit penuh tanpa jeda. Penonton yang merupakan banyak anak muda seperti tercengang melihat pertunjukan Senyawa. Pertunjukan ini pun diakhiri dengan makan-makan bersama pegiat skena dan SPI. Semua guyub duduk bersama sambil bercengkerama. Sebelum rombongan kembali ke Wisma di Cirebon, SPI menghadiahi Senyawa segepok pisang susu dan satu plastik penuh buah mangga Indramayu. Sungguh bentuk apresiasi yang khas orang Nusantara.

Setelah pertunjukan di Indramayu, rombongan memilih untuk istirahat. Mereka memilih tur ke tempat-tempat bersejarah di daerah sekitar. Makam Sunan Gunungjati, Goa Sunyaragi, dan Keraton Kasepuhan Cirebon adalah beberapa di antaranya.

“Yang membedakan tur di Indonesia dan luar negeri adalah hal semacam ini. Kami bisa berinteraksi dan jalan-jalan untuk mengenali budaya masyarakat sekitar. Tur luar negeri itu rasanya kita kerja, yah. Kalau tur di Indonesia itu bisa mendapat pelajaran dan mendapat saudara-saudara baru,” kata Wukir Suryadi pada obrolan warung kopi pagi hari.

Selasa siang 11 Juli 2023, kami pun melanjutkan perjalanan ke Majalengka. Lokasi yang ketiban sampur menjadi tempat pertunjukan Senyawa adalah Lapangan Bambu Merdeka Desa Kaputren di Kecamatan Jatitujuh. Seperti sebuah keajaiban, Senyawa ternyata tampil untuk lapangan desa yang baru dibuat menyerupai taman wisata. Seisi Desa pun menyambut kedatangan rombongan Senyawa. Tuan rumah yang berada di Lapangan Bambu Merdeka masak besar untuk pesta malam itu. Puluhan kilo beras dan lauk pauk dimasak untuk bisa disantap bersama. Sambutan yang meriah seperti lebaran.

Senyawa

Senyawa. FOTO/Alma Noxa

Menjelang petang, lapangan desa yang sudah memiliki bangunan panggung dari semen dan bata itu ramai. Bapak-bapak sepulang dari sawah, ibu-ibu yang telah rampung menyelesaikan pekerjaan rumah, hingga anak-anak sepulang ngaji di surau berkumpul di lapangan desa tersebut. Tampak beberapa pegiat di komunitas Jatiwangi Art Factory yang juga dari Majalengka hadir. Semua antusias menyambut pertunjukan malam itu. Lapangan desa yang dikelilingi tumbuhan bambu menambah kesan magis.

Grup kesenian Oprek Keputren didapuk menjadi pembuka. Mereka menampilkan pertunjukan musik yang cukup unik dengan seperangkat gitar elektrik, kendang, dan bambu yang ditabuh. Suara penyanyi ibu-ibu dengan nada minor memberikan sambutan yang cukup meriah. “Agar dapat diterima, semoga dapat diterima,” begitu penggalan lirik dalam menyambut acara malam Rabu itu.

Tiny-uh Project menjadi penampil selanjutnya. Empat pemuda asli Majalengka ini menampilkan pertunjukan menyeduh kopi di atas panggung dengan lighting yang meriah. Suara air mendidih, suara merobek bungkus kopi, menggiling kopi, hingga denting sendok yang mengaduk kopi dalam gelas menjadi pertunjukannya.

Selama sekitar setengah jam mereka menampilkan pertunjukan itu. Pertunjukan ini pun ditutup dengan seseorang berjubah hitam yang membawa dupa dan menyalakan lilin di depan panggung. Dia lalu mengambil kopi yang dibuat di atas panggung lalu dibagikan kepada para hadirin. Senyawa tampil pada sekitar pukul setengah sepuluh malam. Dingin udara Majalengka menjadi menghangat ketika Senyawa naik ke atas panggung.

Selepas pertunjukan, para hadirin masih mengelilingi lapangan desa. Suguhan kopi dan minuman hangat lainnya serta sajian polo pendem dan bermacam jajanan pasar menjadi kudapan saat mengobrol. Menjelang dini hari perlahan satu per satu yang hadir pun pulang ke kediamannya masing-masing. Rombongan kami pun menginap di Desa Kaputren sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya di Kabupaten Kuningan.

Rombongan Senyawa sampai di Kuningan pada Rabu sore, 12 Juli 2023. Aula Gedung Lembaga Penyiaran Publik Lokal Kuningan menjadi lokasi pertunjukan ini. Semenjak sore, pegiat skena dengan pemuda-pemudi beratribut punk sudah berkumpul di sekitar tempat acara. Seperti acara-acara kolektif lainnya, menginisiasi acara seperti ini memang dikerjakan dengan gotong royong. Semua bekerja sama dan saling bantu untuk menjadikan sebuah acara. Dari angkat-angkat sound, lighting, hingga membawa tumpeng besar untuk dimakan bersama-sama. Semua dilakukan tanpa banyak omong meski sonder jobdesc yang jelas.

Di titik terakhir tur ini, Moon Tiger featuring Raxxim dan juga Matrix Collapse Project yang berkolaborasi dengan kelompok musik bambu bernama Pirama membuka acara. Ba’da Isya’ para penonton yang telah membeli tiket secara tertib masuk membeli tiket.

Pirama membuka pertunjukan dengan munculnya seorang penari perempuan di depan panggung. Dengan irama musik bambu yang berpadu dengan musik elektronik khas Matrix Collapse Project, penari tersebut pun jumpalitan merespons lagunya.

Moon Tiger feat Raxxim tampil hitam-hitam pada pertunjukan itu. Mereka memainkan electroclash dengan gaya black metal yang membuat gedung LPPL seluas 150 meter persegi tersebut menggema. Setengah 10, Senyawa naik ke atas panggung. Sama seperti sebelumnya, mereka membuka dengan Set Vajranala selama 30 menit tanpa henti. Penonton yang sedari awal pertunjukan duduk di depan panggung dengan hikmat menontonnya.

Udara di Kuningan malam itu cukup dingin karena memang berada di dataran tinggi. Musim panas seperti ini memang membuat malam menjadi lebih dingin. Malam itu adalah terakhir rombongan Senyawa, Matrix Collapse Project, dan Mourners Lab berkumpul karena esok paginya semua akan berpisah. Kami merayakan malam terakhir itu di Warung Onyon yang berada di Hutan Pinus Lempong Balong. Liwetan serta minuman hangat mengusir kedinginan kami malam itu. Rombongan kami pun kembali ke Cirebon karena Kereta Api pagi telah menanti.

Memaknai Ketiadaan Antara

Nirantara, menurut Rully, memiliki arti tidak ada antara. Hal tersebut juga bisa memiliki makna tidak ada sekat, tidak ada batas, apalagi penghalang. Nama Nirantara dipakai sebagai bentuk perjalanan Senyawa yang menerabas sekat-sekat yang kerap dibentuk sendiri oleh masyarakat.

“Batasan-batasan yang membelenggu dan tidak progresif harus diterabas. Nilai-nilai kebaikan dari nenek moyang dulu harus disampaikan lagi ke seluruh Nusantara. Barangkali karena sekarang hal-hal ini cukup genting,” ucap Rully menjelaskan.

Senyawa

Senyawa. FOTO/Alma Noxa

Melihat kondisi masyarakat secara langsung lewat Nirantara Tur seperti ini memang memberi banyak insight untuk Senyawa. Banyak hal-hal baru yang ditemui dan dirasakan saat menjalani tur kemarin. Cuaca yang semakin panas, kerusakan lingkungan, jalan rusak, seniman tidak terwadahi, mangkrak proyek pemerintah, derita petani, hingga cerita pedih soal buruh migran terekam langsung sepanjang perjalanan.

Melihat secara langsung seperti ini memang beda rasanya dengan hanya duduk diam membaca berita lewat media sosial atau berita. Dengan menjadi saksi akan kondisi masyarakat secara langsung, tentu saja akan memberi arti dan nyawa pada karya-karya baru yang akan Senyawa lahirkan.

Di Cirebon, Senyawa menyaksikan masalah urban yang pelik. Di Indramayu, Serikat Petani mengeluhkan tentang dunia pertanian yang tergusur oleh industri dan pabrik, serta permainan tengkulak. Di Majalengka, terdengar banyak masalah kekerasan terhadap warga yang mayoritas jadi buruh migran.

Senyawa juga melihat bagaimana kesenian terpinggirkan. Gedung kesenian mangkrak dan lebih layak disebut sebagai rumah hantu. Pemain kesenian tradisional tak mendapat upah. Pewarta kurang riset dan enggan mencari tahu lebih dalam. Dan masih banyak lagi masalah, yang jika ditilik lebih dalam, adalah sebuah penghinaan terhadap kesenian.

Sebagai seniman, Senyawa memang tidak menawarkan solusi dari segala masalah yang ada. Senyawa juga tidak berusaha keras untuk dapat menyelesaikan satu per satu masalah dari masyarakat. Senyawa mencoba memberi gambaran abstrak akan kondisi yang bisa terjadi jika manusia tidak segera berbenah.

Lagi-lagi, dengan semangat kelompok wayang yang berkeliling, mereka tidak peduli berapa banyak yang nonton juga berapa bayaran yang akan mereka terima. Yang terpenting adalah mereka dapat terus bermain, menghibur masyarakat, dan dapat menyampaikan pesan yang mereka karyakan. Lewat tur di titik yang jarang disinggahi musisi atau seniman, Senyawa merasa pendekatan ini lebih efektif ketimbang harus berteriak di pusat-pusat kebudayaan.

Meski bermain di desa yang kecil dengan alat yang seadanya, Senyawa tetap bermain profesional dan menampilkan seluruh kemampuannya. Mereka tidak bermain asal-asalan meskipun ditonton sedikit orang. Penyelenggara yang kebanyakan adalah komunitas lokal justru lebih profesional meski tidak dibayar. Kesemuanya tulus untuk memberi persembahan terbaik untuk penonton yang hadir di setiap pertunjukan.

Desa-desa di Nusantara ini sepertinya perlu Senyawa untuk memberi penjernihan pikiran di antara distorsi budaya yang terus menyerang di segala lini. Kelana Senyawa ini rasanya tak sekadar musisi yang menjalani tur untuk mempromosikan albumnya. Lebih dari itu, kelana ini punya suara akan genting pesan yang harus diutarakan.

Selamat menantikan tur Nirantara selanjutnya yang menyasar pulau-pulau Indonesia lainnya.

Baca juga artikel terkait MUSIK atau tulisan lainnya dari Ismail Noer Surendra

tirto.id - Musik
Kontributor: Ismail Noer Surendra
Penulis: Ismail Noer Surendra
Editor: Nuran Wibisono