Menuju konten utama

Tur Senyawa di Ciayumajakuning: Kelana yang Bersuara

Meski bermain di desa yang kecil dengan alat yang seadanya, Senyawa tetap bermain profesional dan menampilkan seluruh kemampuannya.

Tur Senyawa di Ciayumajakuning: Kelana yang Bersuara
Senyawa. FOTO/Alma Noxa

tirto.id - Menyaksikan Senyawa menjalani tur itu seperti menyaksikan gerombolan grup wayang kulit zaman dulu yang masih memikul kotak wayang hingga gamelannya.

Sebagaimana terceritakan dalam cerita-cerita silat, dalam perjalanan grup wayang ini akan mendapati banyak aral melintang. Diserbu begundal dan perampok, diserang hewan buas, dihadang semak belukar, dan sebagainya.

Segala rintangan tersebut pun lalu bisa diatasi dengan munculnya pendekar. Imaji tersebut muncul setelah menyaksikan pertunjukan-pertunjukan duo Rully Shabara dan Wukir Suryadi ini di tempat terpencil yang tidak biasa. Jauh dari anggapan Senyawa sebagai grup musik eksperimental yang lebih sering bermain di luar negeri ketimbang di negara sendiri.

Beberapa waktu lalu Senyawa mengadakan tur bertajuk Nirantara di kawasan Ciayumajakuning. Pada tur ini, rombongan dari Yogyakarta ini menyambangi empat kota di Jawa Barat sebelah utara yakni Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan sedari Sabtu (8 Juli) hingga Rabu (12 Juli).

Selama tampil di kota-kota tersebut, Senyawa pun tidak bermain di atas panggung konvensional. Mereka malah tampil di bawah pohon tua samping gedung kesenian yang mangkrak, pasar tradisional, lapangan desa, hingga di gedung lembaga penyiaran publik lokal. Jauh dari narasi publik bahwa Senyawa terbiasa bermain di panggung festival di luar negeri seperti Eaux Claires Festival di Wisconsin, Amerika Serikat; CTM Festival di Berlin, Jerman; Old Market Music Festival di Bristol, Inggris; hingga Irtijal Festival, Beirut, Lebanon.

Tentu saja, bermain di tempat tak biasa dan acara unik ini bukan sesuatu yang baru dalam perjalanan karier Senyawa. Mereka pernah bermain di acara peresmian masjid, di pasar tradisional yang tidak mendapat perhatian pemerintah, di area konflik tambang, ulang tahun komunitas seni, hingga kampus agama Islam di Kabupaten.

Senyawa seperti nyaman bermain di desa-desa terpencil ketimbang di acara-acara besar penuh lampu terang. Entah ini menjadi kritik terhadap kancah musik, atau bagian dari eksplorasi yang mereka lakukan, pilihan Senyawa ini selalu menarik untuk diikuti.

Tur Nirantara merupakan kelanjutan Tur Nusantara yang terus dilakukan Senyawa selama beberapa tahun terakhir. Sebelum Ciayumajakuning, Senyawa juga sempat mengunjungi empat kota di Jawa Timur pada Oktober tahun lalu. Sebelum tur Eropa pada Februari hingga April 2022, Senyawa juga melakukan Nusantara Tour Jawa Utara pada Desember 2021 yang menyambangi Semarang, Demak, Kudus, Pati, Lasem, dan Rembang. Tur Nusantara pada chapter pertama pun juga telah dilaksanakan di Pontianak, Makassar, Bali, dan Bantul.

Senyawa

Senyawa. FOTO/Alma Noxa

Nirantara Tour memang singkatan dari Tour Nusantara. Rully mengungkapkan bahwa tur yang dimulai pada 2021 ini merupakan cara Senyawa dalam menjelajah segala kemungkinan yang bisa terjadi. Sebagai musisi eksperimental dengan pendengar yang sangat segmented, Senyawa lebih memilih titik-titik yang tidak biasa ditempuh band-band lain dalam menjalani tur. Termasuk dalam hal ini juga memilih inisiator acara.

“Jadi memang Tur Nirantara adalah program yang membawa Senyawa mendatangi titik-titik di sepanjang Nusantara, khususnya wilayah yang umumnya jarang disinggahi oleh musisi yang tur,” kata Rully.

Rully mengungkapkan dalam tur yang dilakukan, Senyawa selalu melakukannya secara mandiri dengan mengedepankan semangat kerjasama organik dari para pegiat skena lokal. Kerjasama ini tidak hanya antara Senyawa dengan penyelenggara lokal, melainkan juga antar penyelenggara di tiap daerah yang berdekatan dengan lokasi tur tersebut. Dengan cara ini, Senyawa membangun kedekatan dengan para pendengarnya secara langsung. Tujuan dari tur ini pun, menurut Rully, adalah demi menjalin koneksi yang nyata dan langsung dengan berbagai pegiat skena maupun pendengar Senyawa di berbagai daerah.

Menjalani tur secara langsung seperti ini juga adalah sebagai bentuk pembelajaran untuk semua khalayak maupun bagi Senyawa sendiri. Dalam tur tersebut tentu akan memunculkan pertukaran musik dan budaya. Dengan melihat langsung kondisi masyarakat sekarang ini tentu akan bisa lebih memahami berbagai persoalan yang sekiranya perlu untuk lebih dipahami perspektifnya.

“Musik ataupun industri skenanya bukanlah titik berat utama dalam Tur Nirantara. Program ini adalah cara Senyawa untuk lebih mengenal setiap sudut nusantara dan belajar dari setiap pengalaman serta segala potensi yang tercipta,” ujar Rully.

Titik Awal Tur

Saya mendapat kesempatan turut serta menyaksikan pertunjukan Senyawa selama tour empat kota ini. Tur ini diselenggarakan secara mandiri dan diinisiasi oleh kolektif Mourners Lab dari Cirebon. Dalam tur ini pula, Matrix Collapse Project dari Bali turut serta sebagai penampil pembuka serta membantu menjadi visual director untuk video mapping dalam pertunjukan Senyawa. Selama 5 hari, saya membersamai rombongan Senyawa, Matrix Collapse Project, dan Mourners Lab dalam menjajaki kota-kota yang disinggahi.

Rombongan Senyawa terdiri dari Rully Shabara, Wukir Suryadi, Dholy Husada, dan Trio Meirendy. Untuk rombongan Matrix Collapse Project ada Jonas Sestakresna, Bimo Dwipo Alam, dan Sesilia Kadrie. Mourners Lab selaku kolektif yang menginisiasi tour ini terdiri dari Alam, Algo, Satrio, Wangso Awang, Ibrahim Baim, dan Firman S. Mourners Lab dulunya merupakan kolektif zine di Cirebon. Mendengar Senyawa yang akan tur di Karasidenannya, kolektif ini pun lalu bermetamorfosa menjadi organizer.

“Kalau bukan Senyawa yang tur, mungkin hal ini tidak akan terjadi,” kata Alam di sebuah obrolan di Pendopo Beranda Sarumban.

Rombongan kami berkumpul di Cirebon pada Sabtu yang panas, 8 Juli 2023. Saya bertemu rombongan Senyawa dan para pegiat skena di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang yang berada di Komplek Stadion Bima. Siang yang sangat terik itu para penampil sedang melakukan cek suara untuk pertunjukannya malam nanti. Beruntung sekali Gedung Kesenian yang mangkrak itu memiliki pohon trembesi tua berusia ratusan tahun dan menjulang tinggi. Cuaca terik yang menyengat itu menjadi sedikit teduh. Pohon ini saya rasa lebih memiliki nilai sejarah lebih tinggi daripada Gedung Kesenian milik Pemerintah Kota yang lebih layak disebut rumah hantu daripada gedung kesenian.

Sehabis matahari terbenam, gerombolan manusia berpakaian hitam-hitam mulai berkumpul di sekitar ampiteater. Dilihat dari atribut yang dipakai, kebanyakan merupakan metalhead. Penampilan Senyawa hari itu memang dibuka oleh para dedengkot metalhead lokal Cirebon. Mereka adalah Jagernaut, Incinerated, dan Poison Nova. Selain itu, sebelum semuanya tampil, pertunjukan malam Minggu itu dibuka oleh penampilan pantomim dari Wanggi Hoed yang berkolaborasi dengan Matrix Collapse Project.

Menjelang pukul sepuluh malam Senyawa mulai naik ke atas panggung. Rully telah menyiapkan segala pirantinya dan segelas air putih hangat di mejanya. “Industrial Mutant”, nama dari alat musik ciptaan Wukir yang terdiri dari tiga onggok kayu juga sudah tertata rapi siap ditabuh. Cahaya lighting yang memancar dan video mapping yang ciamik menambah dramatis pertunjukan Senyawa.

Senyawa

Senyawa. FOTO/Alma Noxa

Senyawa membuka dengan memainkan lagu-lagu baru dari album Vajranala yang pada beberapa bulan ke depan akan dirilis. Sebagaimana terangkum dilaman instagramnya, Vajranala merupakan hasil interpretasi ulang Senyawa atas mitologi tanah tempat berdirinya Candi Pawon di Desa Brajalanan, Kabupaten Magelang. Vajranala berisi trilogi lagu yang dimainkan secara berurutan tanpa henti. Trilogi lagu tersebut adalah "Alnilam", "Vajranala", dan "Kaca Benggala". Set Vajranala pertamakalinya dimainkan di Candi Borobudur di penutup rangkaian Indonesia Bertutur 2022.

Di atas panggung, Rully Shabara dan Wukir Suryadi menceritakan sebuah kondisi dunia yang dalam keadaan genting sebagaimana disuarakannya dalam album Alkisah (2021). Para penghuni dunia diisi manusia rakus, tamak, serakah, pengancam kebebasan, gila jabatan, hingga gila wanita. Hal tersebut lalu membuat alam murka. Bencana pun diturunkan agar membuat jera. Tapi apa semua jera? Senyawa pernah mewanti-wanti bahwa kiamat saat ini sudah terasa dekat.

Senyawa menceritakan itu semua lewat sebuah pertunjukan musik yang tidak biasa. Berkolaborasi dengan Matrix Collapse Project pimpinan Jonas, mereka menghadirkan pertunjukan multimedia yang megah namun kelam. Dominasi warna merah dengan gerak gambar tribal yang berputar-putar menambah seram pertunjukan. Grup musik berlogo lingkaran dengan garis-garis membentuk tanduk ini menghadirkan sebuah imajinasi akan suramnya dunia yang dirasukkan dalam relung-relung jiwa manusia yang hadir.

Selama hampir satu jam lebih, Senyawa menuntaskan pertunjukannya. Narasi kiamat lewat vokal Rully yang mendesis, mengaum, memekik, berteriak, layaknya merapal mantra telah tersuarakan. Industrial Mutant yang berisi leher gitar dengan senar Elixir, sebilah kayu dengan senar nilon, sebongkah kayu berlapiskan kuningan, alat tabuh macam kuas dan busur panah, juga bow dari ekor kuda telah dibungkus kain batik telah dimasukkan dalam hardcase gitar yang lebih mirip tas untuk mancing daripada untuk gitar. Malam telah purna di Kota Cirebon, rombongan pun beristirahat di wisma seorang keturunan Arab di daerah Kesambi.

Bersambung...

Baca juga artikel terkait MUSISI atau tulisan lainnya dari Ismail Noer Surendra

tirto.id - Musik
Penulis: Ismail Noer Surendra
Editor: Nuran Wibisono