tirto.id - Aksi demonstrasi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Riau (UIR) pada Senin (10/9/2018) lalu mendapatkan respons miring dari politikus PDIP Aria Bima. Menurutnya tuntutan aksi yang meminta Jokowi turun terlalu berlebihan. Ia pun menuding demo itu dilakukan oleh para aktivis ekstra kampus dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagai onderbouw Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Jangan sampai BEM ini seperti KAMMI yang hanya bertindak seperti saluran bertindak PKS, yang selalu berpikir konfrontatif dan negatif serta tidak mendidik mahasiswa," kata Arya, di Jakarta, Selasa (11/9/2018).
Pernyataan Aria yang merupakan mantan aktivis GMNI UGM ini pun mendapat sanggahan dari Ketua Presidium Alumni KAMMI Fahri Hamzah. Ia tidak sepakat bahwa BEM UIR dan KAMMI berhubungan dengan kepentingan PKS.
“Tidak ada dokumen apapun yang menunjukkan keduanya punya hubungan. Dan saya sebagai pendiri dan ketua umum pertama selalu meminta agar kader KAMMI menjadi manusia merdeka sehingga mereka otonom dari parpol,” kata Fahri kepada Tirto, Rabu (12/9/2018).
Relasi antara organisasi ekstra kampus seperti KAMMI memang tidak terjalin secara struktural. Jalinan itu diikat lewat hubungan kultural dan kedekatan alumni. Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini misalnya pernah berorasi dalam Rapat Pimpinan Nasional Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Serang, Banten, Jumat, 20 Oktober 2017 lalu.
Dan faktanya, KAMMI bukan satu-satunya organisasi ekstra kampus yang memiliki kedekatan kultural dengan partai politik. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kerap disebut sebagai kelompok Cipayung, juga mempunyai kedekatan dengan parpol.
Hal ini terlihat dari alumni-alumni organisasi tersebut yang menjadi pentolan parpol-parpol di negeri ini. Di Golkar, misalnya, tercatat sejumlah mantan aktivis HMI yang pernah menjadi pimpinan partai ini, seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Di PKB, hampir seluruh pengurus terasnya adalah mantan aktivis PMII, seperti Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Sekjen PKB Abdul Kadir Karding.
Begitu juga di PDIP, sejumlah pengurus terasnya memiliki latar belakang aktivis organisasi kelompok Cipayung, seperti Wasekjen PDIP Ahmad Basarah yang kini juga menjabat ketua Persatuan Alumni (PA) GMNI, Sekjend PDIP Hasto Kritstiyanto dari PMKRI, dan Yasonna Hanamongan Laoly yang berasal dari GMKI.
Tak Berarti Terpengaruh Kepentingan Parpol
Meskipun begitu, seperti halnya Fahri, beberapa alumni aktivis Cipayung juga membantah kedekatan tersebut sebagai bukti organisasinya selalu bergerak seirama dengan kepentingan partai.
Mantan Ketua PB PMII, Adin Jauharudin menyatakan, organisasi yang pernah dipimpinnya selalu independen dalam kegiatan dan gerakannya. "Enggak lah, PMII itu bukan berarti PKB. Saya pastikan adik-adik itu selalu independen. Karena itu juga jadi dasar organisasi," kata dia kepada Tirto.
Lagi pula, kata Adin, tidak semua mantan aktivis PMII masuk ke PKB, meskipun memang lebih banyak yang aktif di partai tersebut. "Ada Mas Nusron [Wahid] di Golkar, Benny [Ramdhani] di Hanura, dan banyak lagi kok. Kalau ke PKB banyak, ya karena kami sama-sama lahir dari rahim NU," kata Adin.
Lebih lanjut, Adin menyatakan pentingnya gerakan mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan pemerintah seperti yang dilakukan BEM UIR. "Karena itu untuk mengontrol pemerintah agar tetap membuat program yang berpihak kepada rakyat," kata Adin.
Hanya saja, Adin mengingatkan agar tuntutan mahasiswa juga harus tepat sasaran dan bukan mengada-ada. "Kalau menuntut Jokowi diturunkan, itu harus ada dasarnya apa? Faktanya apa. Karena mahasiswa itu ya bergerak atas hasil analisis akademik. Itu bedanya dengan gerombolan," kata Adin.
Hal sama disampaikan alumni GMNI, Eva Kusuma Sundari. Menurut politikus PDIP ini anggapan bahwa organisasi Cipayung adalah onderbouw parpol-parpol tidak tepat. Ia menilai anggapan itu hanyalah akibat dari politik aliran di era Orde Lama dan Orde Baru.
"Jadi saat inipun semua ormas mahasiswa adalah independen," kata Eva kepada Tirto.
Eva justru memandang organisasi Cipayung saat ini kian susah diberi ruang untuk aktif di kampus-kampus karena peraturan yang melarang organisasi ekstra masuk kampus. Larangan tersebut, menurutnya, tertuang dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun 2012.
Pemerintah Tak Perlu Alergi dengan Gerakan Mahasiswa
Presidium Pusat BEM Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Hakim Syafii menilai pandangan miring terhadap aksi BEM UIR seharusnya tak perlu muncul dari politikus dan pemerintah.
"Jangan alergi lah sama gerakan mahasiswa. Kan ini negara demokrasi," kata Hakim kepada Tirto.
Hakim pun mengaku setuju dengan gerakan kawan-kawannya di Riau tersebut. "Gerakan ke jalan itu penting buat kritisi pemerintah. Kami sih belum ada rencana, kajian kami belum kelar," kata Hakim.
Hal senada disampaikan Ketua Pusat BEM Seluruh Indonesia (BEM-SI), Ahmad Wali Radi. Menurutnya, pemerintah dan politikus tak semestinya bersikap apriori terhadap gerakan mahasiswa. "Enggak perlu dianggap sebuah hal yang mengancam. Ya biasa-biasa saja," kata Wali kepada Tirto.
Menurut Wali, memang sudah semestinya mahasiswa berlaku kritis terhadap kebijakan pemerintah agar dapat mendorong pembangunan nasional yang tidak melenceng dari cita-cita berdirinya bangsa ini.
"Sekarang kan berada dalam iklim demokrasi ya, semua pendapat itu harusnya diterima. Tinggal bagaimana bisa menerima pendapat itu dengan jiwa besar," kata Wali.
Meskipun begitu, Wali menyatakan pihaknya masih akan menyelenggarakan konsolidasi nasional terlebih dulu untuk menentukan sikap terhadap kondisi nasional saat ini.
“BEM-SI ini aliansi. Bukan organisasi. Makanya kami perlu konsolidasi nasional. Jadi kalau ada teman-teman Riau bergerak, itu ya saya pikir wajar saja," kata Wali.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz