tirto.id - Mimpi sekolah setinggi-tingginya Malala Yousafzai pada dasarnya tak berbeda dari gadis Pakistan kebanyakan. Satu hal yang membedakan: insiden pada 9 Oktober 2012, tepat hari ini 7 tahun lalu. Kala itu peluru pasukan Taliban menyasar kepala Malala yang hendak pulang ke rumah dengan naik bus. Peristiwa tersebut mengubah nasib Malala dari gadis Pakistan yang mengampanyekan akses pendidikan menjadi duta perdamaian internasional.
Sejumlah opini mengatakan: bagi Taliban, perempuan terpelajar lebih berbahaya dibanding serangan rudal atau bom. Dan Malala sedang mewujudkan ketakutan Taliban.
Kenyataannya memang akses pendidikan untuk perempuan—termasuk anak-anak seusia Malala—di Pakistan sungguh memprihatinkan. Menurut Mosharraf Zaidi, direktur kampanye kelompok advokasi pendidikan Alif Ailaan hanya 12 persen anak perempuan Pakistan yang melanjutkan sekolahnya ke level setara SMP/SMA. Sedangkan dari 25 juta anak-anak Pakistan yang putus sekolah, 61 persen di antaranya adalah perempuan. Bahkan di Distrik Swat—tempat tinggal Malala—jumlah sekolah perempuan tak lebih dari separuh dari jumlah sekolah anak laki-laki.
Sejak awal 2009, Malala rajin menulis untuk BBC Urdu dengan identitas yang disamarkan. Dalam tulisannya, Malala menggambarkan bagaimana Taliban membuat aturan sewenang-wenang; membatasi akses DVD hingga menutup sekolah bagi perempuan. Malala pun berani tampil publik saat mengutarakan kegelisahannya dalam pidato berjudul “How Dare the Taliban Take Away My Basic Right to Education?” ("Beranikah Taliban Merampas Hak Dasarku untuk Meraih Pendidikan?") di usianya yang baru 11 tahun.
Nyawa Malala pun jadi incaran Taliban. Sirajuddin Ahmad, komandan senior dan juru bicara Taliban Swat mengatakan pada TIME bahwa Taliban tak ingin membunuh Malala karena akan membawa pemberitaan buruk terhadap nama Taliban. Akan tetapi, menurut Ahmad, opsi lain tak tersedia.
Cerita penembakan Malala kemudian bergema di telinga masyarakat dunia. Selepas menjalani penyembuhan di Rumah Sakit Ratu Elizabeth Birmingham, Malala mulai menata hidupnya kembali dengan melanjutkan sekolah di Edgbaston. Tak lama berselang, Malala tampil di panggung PBB dan menyampaikan pidato yang menggugah. “Mereka (Taliban) merasa peluru mampu membungkam kita. Tapi mereka gagal,” ungkapnya saat itu.
Momentum tersebut membawa Malala pada kampanye perdamaian dan kesetaraan pendidikan. Melalui The Malala Fund, Malala mengupayakan pendidikan yang setara bagi perempuan. Selain itu, lewat program yang sama, Malala juga mengkritik serangan drone Obama saat Perang Sipil Suriah, membantu pengungsi anak-anak Suriah, sampai membebaskan seorang gadis Nigeria dari sekapan kelompok ekstremis Boko Haram. Pada September 2014, The Malala Fund mencapai kesepakatan senilai 3 juta dolar AS dengan Echidna Giving guna mendukung pendidikan perempuan di negara berkembang.
Beragam penghargaan pun diraup Malala. Mulai dari tokoh 2012 versi majalah TIME, 100 tokoh berpengaruh 2013 di majalah yang sama, Mother Teresa Memorial Award for Social Justice 2012, Simone de Beauvoir Prize 2013, sampai Nobel Perdamaian yang diterimanya pada 2014 bersama Kailash Satyarthi.
Kisah hidup Malala juga diabadikan dalam buku dan film. Buku yang menceritakan kisah hidupnya berjudul I Am Malala: The Girl Who Stopped Up for Education and Was Shot by the Taliban (2013). Konon katanya, Weidenfeld & Nicholson membeli cerita Malala seharga 2 juta dolar AS. Sementara Davis Guggenheim menuangkan kisah Malala dalam film berjudul He Named Malala yang dirilis pada 2015 lalu.
Perjalanan Malala terasa lengkap ketika pada Maret 2017 Lady Margaret Hall Universitas Oxford menerimanya sebagai peserta didik. Malala menjadi orang kedua Pakistan setelah mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto yang menempuh jalur serupa pada 1970. Selama di Oxford, Malala akan belajar filsafat, politik, dan ekonomi.
Suara-Suara Sumbang Dalam Negeri
Di tengah kisah-kisah gemilang itu, suara sumbang sebagian masyarakat Pakistan masih terdengar, dari yang menganggap Malala tak istimewa sampai mempertanyakan kontribusinya untuk Pakistan.
Tak lama setelah Malala menerima Nobel Perdamaian, Federasi Sekolah Pakistan justru melarang beredarnya buku yang mengisahkan tentang Malala di seluruh sekolah. Pelarangan muncul karena ada bagian yang menyentil karya Salman Rushdie, The Satanic Verses (1988). Dalam buku itu digambarkan, ayah Malala menjelaskan bahwa The Satanic Verses menyinggung Islam. Akan tetapi, masyarakat Muslim harus membacanya terlebih dahulu agar dapat memberikan respons yang sesuai.
Menurut Presiden Federasi Sekolah Pakistan Mirza Kashif, buku Malala telah disusupi pengaruh Barat yang pada dasarnya tidak sesuai dengan konstitusi dan ideologi Islam di Pakistan. The Satanic Verses dalam sejarahnya dipandang sebagai buku kontroversial oleh masyarakat Muslim karena dianggap menistakan Islam.
Kemudian ketika Malala diterima di Oxford, ungkapan bernada sindiran juga muncul. Ada yang beranggapan bahwa Malala merupakan orang munafik sampai menyebutkan bahwa ayahnya adalah agen rahasia Israel dan CIA.
Polemik tentang Malala kembali bertambah ketika Dawn—media berbahasa Inggris Pakistan—merilis satir teori konspirasi mengenai Malala. Dalam cerita tersebut dipaparkan bahwa penembakan Malala oleh Taliban hanya skenario yang dilakukan CIA. Menurut cerita tersebut Malala merupakan keturunan Hungaria dan pelaku penembakan bukan anggota Taliban melainkan orang Italia yang mirip aktor Hollywood, Robert De Niro.
Walhasil, kisah pelesetan tersebut menjadi santapan bagi kelas menengah Pakistan yang pada umumnya cenderung konservatif dan anti-Amerika. Menurut Michael Kugelman, deputi senior Woodrow Wilson International Center Washington konspirasi penembakan Malala diperkuat kecurigaan masyarakat Pakistan terhadap Barat.
Dalam The Way of the Knife (2013), Mark Mazzetti mengatakan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat telah menikmati peran politik dan keamanan yang luas di Pakistan. Contohnya saat kampanye vaksinasi palsu yang dilakukan Shakil Afridi dengan bantuan CIA untuk melacak DNA keluarga Osama bin Laden pada 2011. Selama ini Pakistan sendiri merupakan sekutu AS di wilayah Asia Selatan.
Selain itu, antipati sebagian warga Pakistan kepada Malala turut dipengaruhi faktor latar belakang ayahnya yang dikaitkan dengan Partai Nasional Awami. Partai Nasional Awami merupakan partai berideologi kiri dan sekuler. Ayah Malala dikenal gencar memperjuangkan kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan. Di Pakistan yang konservatif, keterkaitan dengan Partai Nasional Awami membuat kampanye ayah Malala ditanggapi dengan antipati yang besar dan dituduh kebarat-baratan.
Menutupi Kenyataan Asli
Menurut Kugelman, sentimen terhadap Malala adalah produk pemikiran delusional yang berasal dari beberapa faktor, di antaranya adalah ketiadaan mobilitas untuk naik kelas sosial di Pakistan serta hierarki kelas sosial yang kaku.
Mengutip hasil studi Oxfam dan Universitas Lahore, 40 persen anak-anak Pakistan berasal dari keluarga miskin. Ketimpangan yang terjadi di Pakistan mudah dipahami karena mayoritas masyarakat miskin tidak bisa memperoleh akses pendidikan dan kepemilikan tanah. Hampir 60 persen anak-anak miskin di Pakistan tidak sekolah dan 70 persen warga miskin pedesaan tidak mempunyai tanah.
Sementara itu yang sudah dicapai Malala adalah salah satu bentuk pengecualian. Malala, yang mulanya hanya anak seorang guru berhasil mendaki tangga sosial tertinggi dengan beragam prestasinya. Menurut Kugelman, meskipun Malala tidak hidup dalam kemiskinan yang akut (ayahnya memiliki sekolah) tetap saja Malala berada di posisi berbeda dari situasinya lima tahun lalu.
Naik kelas sosial merupakan prestasi tersendiri di Pakistan. Menurut pengajar di Universitas Peshawar Aamer Raza, pencapaian Malala telah memunculkan rasa cemburu dan curiga dalam masyarakat Pakistan yang tidak terbiasa melihat perubahan semacam itu.
Selain itu, dalam masyarakat patriarkis seperti Pakistan, status Malala sebagai perempuan menimbulkan kecurigaan lebih tentang perubahan dirinya. Apabila Malala seorang laki-laki, mungkin dia akan jauh disambut lebih hangat dan dianggap pahlawan.
The World Economic Forum menempatkan Pakistan sebagai negara dengan pemenuhan kesetaraan gender terendah di Asia Pasifik. Sementara itu laporan tahun Human Rights Watch pada 2012 menyebutkan Pakistan masih menghadapi banyak tantangan dalam menjamin kesetaraan hak perempuan. Di antara tantangan tersebut adalah penyerangan dan pembunuhan terhadap perempuan yang menuntut hak pendidikan hingga pekerjaan yang layak.
UNESCO menyatakan bahwa Pakistan merupakan negara yang menunjukkan kemajuan paling minim dibanding negara-negara di kawasan yang sama dalam upaya penyelenggaraan pendidikan untuk perempuan miskin.
Kugelman menambahkan, di tengah ketidaksukaan sebagian masyarakat Pakistan terhadap Malala, kelas menengah ke atas (privilliged class) Pakistan dipandang sebagai pendukung utama Malala. Kelas ini melihat Malala sebagai kisah sukses yang otentik. Menurut mereka, hambatan untuk naik kelas sosial tidak pernah ada dan kecemburuan sosial semestinya tak perlu muncul.
Kenyataannya, Malala punya kontribusi riil untuk Pakistan. Pada Januari lalu, The Malala Fund mengumumkan sebuah kesepakatan untuk menyelenggarakan program kampanye pendidikan lokal senilai 10 juta dolar AS di seluruh dunia, termasuk Pakistan. Selain itu, The Malala Fund juga mengawasi beberapa program di Pakistan seperti membangun sekolah bagi anak-anak di daerah konflik, memperbaiki ruang kelas, sampai menyediakan perlengkapan sekolah bagi anak perempuan.
Satu hal yang pasti, tak semua masyarakat Pakistan membenci Malala. Majalah Pakistan Herald mengusung Malala sebagai sosok penting 2012. Dua tahun berselang, jejak pendapat yang dikeluarkan Pew Research Center menyebutkan 86 persen masyarakat Pakistan setuju terhadap kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan seperti yang dikampanyekan Malala.
Malala pernah mengatakan bahwa suatu saat dapat menjadi Perdana Menteri Pakistan. Malala juga menyatakan akan selalu cinta tanah air meskipun orang-orang Pakistan membencinya.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 September 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Windu Jusuf