tirto.id - Seorang pria di sebuah desa di Pakistan mengadu kepada dewan desa, atau biasa dikenal dengan nama jirga atau panchayat, bahwa adik perempuannya yang berusia 12 tahun diperkosa oleh sepupunya. Dewan desa kemudian memerintahkan untuk memperkosa saudara perempuan dari pelaku pemerkosaan tersebut yang berusia 16 tahun.
Saudara perempuan dari pelaku yang dilaporkan dipaksa menghadap ke dewan desa lalu diperkosa di hadapan dewan desa serta orang tua dari kedua belah pihak. Melihat hukuman yang kontroversial tersebut, ibu dari gadis berusia 16 tahun itu melapor ke polisi. Sebanyak 20 orang yang terlibat dalam kasus pemerkosaan tersebut ditangkap pihak kepolisian setempat.
Di Pakistan jika ada perselisihan di tengah masyarakat, biasanya mereka akan membawanya kepada dewan desa atau jirga. Kemudian dewan desa yang akan mengambil keputusan. Sistem ini sudah lama hadir dan sudah menjadi tradisi dari penduduk di wilayah pedesaan Pakistan.
“Ini adalah sistem yang ada sejak 400 tahun, dan terus dipertahankan bahkan saat ini yang merusak baik demokrasi maupun peraturan hukum,” kata Kepala Human Right Commission of Pakistan (HRCP) Mehdi Hasan, seperti dikutip Al Jazeera.
Sistem dewan desa ini hadir saat negara tersebut belum memiliki pengadilan atau peraturan hukum positif seperti sekarang. Meski demikian, dewa desa sesungguhnya berstatus ilegal di Pakistan. Tak jarang keputusan yang dikeluarkan dewan desa terbilang sangat kontroversial.
Keputusan kontroversial jirga di Pakistan tak hanya sekali terjadi. Pada 2002, seorang jirga pernah memerintahkan untuk memperkosa secara beramai-ramai seorang perempuan bernama Mukhtar Mai yang saat itu berusia 28 tahun.
Hukuman tersebut dijatuhkan kepada Mai karena adik laki-lakinya yang berusia 12 tahun dituduh menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang lebih tua. Ada juga yang menyebutkan bahwa adik laki-lakinya telah melakukan tindak kriminal kepada seorang perempuan dari suku lain.
Keputusan kontroversial lainnya juga dikeluarkan oleh dewan desa pada 2016. Sekitar 15 jirga menghukum gadis bernama Amber karena membantu temannya melakukan “kawin lari” dengan kekasihnya. Amber kemudian diculik, dibius dan dibunuh. Setelah itu ia diikat di kursi belakang sebuah van lalu dibakar. Laporan lainnya mengungkapkan bahwa Amber masih hidup ketika van itu dibakar.
Pemerkosaan di Pakistan
Pemerkosaan adalah salah satu kejahatan serius di Pakistan. Pelakunya dapat dihukum mati. Namun permasalahan pemerkosaan masih marak terjadi. Setiap tahun ada ratusan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, termasuk pemerkosaan yang dilakukan secara beramai-ramai atau gang rape.
Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HRCP), insiden pemerkosaan di Pakistan terjadi setiap 2 jam. Selain itu, ada juga korban yang tidak bersalah namun diperkosa. Pemerkosaan itu terjadi setiap empat sampai delapan hari.
Dalam laporan HRCP mengungkapkan bahwa kasus gang rape sejak 2004 hingga 1 Januari 2017 mencapai 2654 kasus. Pada kasus tersebut, tak hanya perempuan yang menjadi korban, namun ada juga pihak laki-laki, namun dengan persentase yang jauh lebih kecil.
Sedangkan kasus gang rape pada 2016 menimpa 426 perempuan di Pakistan menurut HRCP. Sedangkan laki-laki hanya menjadi korban gang rape sebanyak 112 orang. Dari tindak kriminal tersebut, diketahui bahwa pelakunya mencapai 1653. Sedangkan untuk kasus pemerkosaan atau sodomi pada 2016, jumlahnya lebih besar yaitu 532 perempuan dan 236 dari kaum adam.
Jika dilihat dari laporan HRCP, para pelaku pemerkosaan termasuk gang rape sebagian besar dilakukan orang yang mengenal korban. Mulai dari kenalan, tetangga, pengajar di sekolah hingga orang tua korban. Sepanjang 2016, kasus pemerkosaan dilakukan oleh kenalan dari korban yang jumlahnya mencapai 402 orang.
Apa yang terjadi kepada para korban setelah diperkosa? Sebagian besar korban pemerkosaan di Pakistan malah dibunuh. Pada 2016, sebanyak 52 orang korban pemerkosaan dibunuh setelah memperkosanya. Ada juga yang kemudian memilih untuk mengakhiri hidupnya setelah diperkosa.
Mereka yang memilih mengakhiri hidupnya setelah diperkosa sebetulnya tak lepas dari stigma sosial seputar pemerkosaan. Dalam banyak kasus, tindakan ini mendapat dukungan dari pihak keluarga untuk mempertahankan “kehormatan keluarga”.
Melihat tingginya kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan di Paksitan, Chaudhry Sarwar dari Paksitan Tehreek-e-Insaf mengungkapkan jika pemerintah sudah gagal mengendalikan masalah pemerkosaan dan kasus penculikan. Ia bahkan menyebut Pakistan masuk dalam 10 negara terburuk soal pemerkosaan.
Ada beberapa alasan mengapa sulit mengontrol dan mengendalikan masalah pemerkosaan di Pakistan. Menurut CEO White Ribbon Pakistan, sebuah LSM yang fokus pada masalah diskriminasi gender, Omer Aftab, mengungkapkan bahwa ada tiga penyebab utama pemerkosaan di Pakistan: kurangnya pendidikan, frustrasi seksual dan implementasi Undang-Undang yang buruk.
“Orang-orang yang tidak memiliki pendidikan dasar menganggap perempuan dapat diperlakukan sebagai barang bawaan dan mengeksploitasi mereka secara seksual demi keuntungan mereka sendiri,” kata Aftab.
- Baca juga: Perkosaan Massal 1998 itu Terjadi
“Dengan tidak adanya penerapan hukum yang tepat dan pencegahan yang tapat untuk pelaku, korban pemerkosaan tidak dapat memperoleh keadilan,” lanjut Aftab.
Misalnya seperti yang terjadi pada kasus Mukhtar Mai. Pengadilan memutuskan untuk membebaskan pelaku pemerkosaan, menunjukkan jika hak-hak serta keadilan belum berpihak kepada perempuan. Sehingga kini ia membangun sekolah khusus perempuan untuk membantu para perempuan Pakistan agar tahu dan sadar akan hak-haknya.
Selain tiga penyebab di atas, Aftab menambahkan bahwa hal di atas juga dipengaruhi oleh adanya sistem adat yang berlaku di sebagian besar wilayah pedesaan di Pakistan. Keputusan-keputusan selalu bias laki-laki sebagaimana terjadi dalam masyarakat yang didominasi tata nilai patriarkal.
Dalam beberapa kasus di tengah masyarakat, perempuan yang telah diperkosa akan dibunuh sementara pelaku pemerkosaan lolos tanpa hukuman. Sedangkan jika keluarga korban menuntut maka akan dibalas dengan memperkosa saudara perempuan dari pelaku. Hukuman yang malah dilimpahkan kepada perempuan jelas tak melahirkanefek jera kepada pelaku, bahkan memberi peluang bagi mereka untuk melakukannya lagi.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Zen RS