tirto.id - Kasus penembakan seorang pelajar di Semarang yang melibatkan anggota kepolisian menuai kontroversi dan kritik tajam dari sejumlah pihak. Insiden ini diketahui terjadi pada pada Minggu (24/11/2024) dini hari, ketika Anggota Satresnarkoba Polrestabes Semarang, Ajun Inspektur Dua (Aipda), Robig Zaenudin, melakukan pengejaran terhadap remaja yang diduga terlibat dalam kasus tawuran.
Dalam potongan video per waktu kejadian sebelum terjadinya penembakan, terlihat dua gangster yang berjanjian pada Sabtu malam pukul 22.40 WIB untuk melaksanakan tawuran di depan perumahan Paramount tanpa senjata. Kedua gengster yang akan tawuran adalah grup Seroja dan grup Kampung Tanggul.
“Di sini mereka awalnya janjian tangan kosong. Namun pada praktiknya salah satu grup, grup Seroja, itu mengeluarkan senjata sehingga dari grup sebelah Kampung Tanggul juga mengeluarkan senjata,” kata Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar, dalam RDP dengan Komisi III di DPR, Selasa (3/12/2024).
Dari video yang diambil dari ponsel tersangka tawuran, terdapat dua gangsteryang terlihat aksi saling kejar-kejaran, di mana tiga motor mengejar satu motor lain ke arah di mana penembakan oleh Aipda Robig terjadi. Saat itu, Aipda Robig yang sedang akan pulang ke rumah tak sengaja berpapasan dengan dua kelompok yang sedang kejar-kejaran. Aipda Robig yang berada di jalur berlawanan tak sengaja terpepet oleh motor yang saling kejar. Tak terima dipepet, Aipda R pun mengejar ketiga motor yang juga membawa senjata tajam itu.
Aipda Robig kemudian melepaskan empat tembakan ke arah sepeda motor itu dan salah satu tembakannya mengenai Gamma Rizkynata Oktafandy yang menyebabkan ia meninggal dunia serta melukai dua orang lainnya.
”Korban Gamma meninggal karena adanya proses penembakan. Pada saat ekshumasi ditemukan proyektil bersarang di bawah usus,” kata Kasubdit 3 Jatanras Ditreskrimum Polda Jawa Tengah (Jateng), AKBP Helmi, dalam RDP dengan Komisi III di DPR, Selasa (3/12/2024).
Kejadian ini pun disayangkan oleh Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto. Dia menilai polisi terlalu cepat mengambil tindakan ekstrem dengan menggunakan senjata api yang berujung pada jatuhnya korban.
“Saya melihat kasus di Semarang, ini kan terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu oknum yang melakukan penembakan kepada seorang remaja yang kemudian mengakibatkan meninggal tanpa ada melalui prosedur yang resmi, prosedur yang benar,” jelas Bambang kepada Tirto, Selasa (3/12/2024).
Usut Tuntas
Bambang mengatakan, upaya menuntaskan kasus kematian Gamma seharusnya dilakukan kepolisian dengan membuka pengungkapan perkara secara terang-benderang kasus tersebut kepada publik. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melakukan audit investigasi. Selain itu, polisi juga bisa melakukan scientific crime investigation yang bisa dipertanggungjawabkan dan objektif.
“Bukan malah menutup-nutupi dan membuat framing pada korban yang menyatakan korban ini adalah pelaku tawuran dan terlibat dalam geng-geng motor dan sebagainya,” ujar dia.
Jika framing itu dilakukan, tentu saja ini akan menjadi problem bagi institusi kepolisian. Apalagi yang menyatakan ini adalah seorang kepala satuan wilayah yang seharusnya bisa sebelum memberikan pernyataan harus dikaji lebih dalam dan melakukan penyelidikan yang komprehensif terkait apa yang sebenarnya terjadi.
“Bukan malah menutupi kasus tersebut,” ujar dia.
Penyelidikan terkait kasus penembakan, kata Bambang, harus dilakukan secara ilmiah dengan alat bukti yang akurat, gelar olah TKP, gelar perkara maupun forensik. Sehingga bisa ditemukan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan bukan malah membuat pernyataan-pernyataan blunder dan mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat kepada institusi kepolisian sendiri.
“Perlu diusut juga terkait dengan upaya framing terhadap korban ada skenario sama seperti kasus Sambo untuk menutupi kasus. Itu harus diusut,” tegas dia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, mengamini ada upaya menutup-nutupi kasus yang kerap kali menjadi modus kepolisian untuk menghapus jejak kejahatan yang mereka lakukan. Pola serupa digunakan dalam berbagai kasus, di antaranya Kasus Sambo, Kasus Afif Maulana, Kasus Vina Cirebon dan terkini adalah kasus Gamma.
“DPR RI mesti lakukan evaluasi menyeluruh kepada Polri khususnya terkait buruknya sistem pengawasan yang membuka ruang manipulasi perkara,” ujar Isnur dalam keterangan diterima, Selasa (3/12/2024).
Atas kejadian ini, YLBHI pun mendesak agar pengusutan peristiwa penembakan polisi terhadap pelajar almarhum Gamma di Semarang, Jawa Tengah tidak berhenti di proses penahanan pelaku penembakan Robig Zaenudin. Polisi harus berani mengambil langkah tegas dengan memecat polisi pelaku penembakan serta segera memproses hukum pidana dan etik sebagai upaya memupus praktik impunitas di tubuh kepolisian.
“Motif pelaku penembakan yang berdalih membubarkan tawuran tidak menjadi alasan untuk terbebas dari jerat hukum pidana maupun etik. Karena dalam hukum tidak mengenal tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), bahkan polisi harus menjunjung tinggi prinsip asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence),” jelas dia.
Oleh karena itu, YLBHI menilai tidak boleh ada toleransi sedikit pun terhadap tindakan menutupi kejahatan. Tindakan seperti ini adalah korupsi terhadap keadilan dan tindakan penyalahgunaan wewenang yang berbahaya bagi masa depan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.“Penghalang-halangan pengungkapan tindak pidana (obstruction of justice) adalah pelanggaran HAM serius dan merupakan kejahatan. Apalagi dilakukan oleh polisi sebagai penegak hukum yang memiliki kewenangan besar, tentu akan sangat berbahaya bagi keselamatan publik,” jelas dia.
Penggunaan Senjata Api Harus Dievaluasi
Di sisi lainnya, YLBHI juga mendesak Kapolri untuk mengaudit kepemilikan senjata bagi anggota Polri dan melakukan pengawasan secara ketat terhadap penggunaan senjata. Dalam hal ini, Kompolnas dan Komnas HAM RI, juga diminta segera bekerja sesuai dengan kewenangannya untuk mendorong reformasi kepolisian dan evaluasi sistem pengawasan terhadap kewenangan kepolisian.
ISESS sendiri sepakat dalam kasus ini pentingnya untuk evaluasi menyeluruh terkait penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian di lapangan. Apakah dalam hal ini perlu semua personel itu membawa senjata api atau tidak.
“Saya rasa tidak demikian, tidak harus demikian, karena penggunaan senjata api ini juga harus berkaitan dengan potensi risiko yang dihadapi oleh personel di lapangan,” kata Bambang.
Bambang menyarankan, bahwa polisi yang tidak terlibat langsung dalam penanganan kejahatan berisiko tinggi, seperti kriminalitas yang membahayakan, seharusnya tidak perlu membawa senjata api berpeluru tajam. Sehingga penggunaan senjata api berpeluru tajam itu bisa diminimalisasikan penyalahgunaannya. “Tentunya tidak diperlukan membawa senjata api berpeluru tajam seperti yang terjadi di Semarang," kata Bambang.
Sementara itu, Komisioner Kompolnas, Gufron Mabruri, mengatakan secara aturan, Polri sebenarnya sudah memiliki SOP yang mengatur penggunaan senjata api oleh anggota, mulai dari prinsip-prinsip hingga tahapan penggunaannya. SOP ini menjadi alat ukur untuk menilai apakah penggunaan senjata api oleh anggota akuntabel atau tidak.
“Prinsipnya kan penggunaan merupakan langkah terakhir untuk melindungi keselamatan jiwa baik anggota maupun masyarakat dan tujuan penggunaannya untuk melumpuhkan,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (3/12/2024).
Meski begitu, dia memahami bahwa kejadian ini harus menjadi evaluasi berkala dan menyeluruh, untuk pencegahan. Ke depan menurutnya juga perlu ada pemeriksaan psikologi rutin kepada anggota yang pegang senjata. “Hal ini penting agar anggota tidak mudah tersulut emosi,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Andrian Pratama Taher