Menuju konten utama
Warih Andang Tjahjono

"Toyota Sebagai Pemimpin Pasar Bahaya Sekali Kalau Merasa Nyaman"

Hadirnya beberapa pabrikan mobil Cina mendapat perhatian serius bagi Toyota. Toyota tak mau nyaman dan menyiapkan strategi menghadapinya.

Ilustrasi Warih Andang Tjahjono PRESDIR TMMIN. tirto.id/Sabit

tirto.id - Warih Andang Tjahjono, Presiden Direktur (Presdir) PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) didaulat sebagai orang Indonesia pertama memimpin pabrikan mobil Toyota di Indonesia sejak April 2017. Selama kepemimpinannya, tantangan datang dari kehadiran produsen mobil Cina seperti Wuling dan Sokon di Indonesia.

Suka tidak suka pabrik mobil Cina menjadi pesaing baru bagi Toyota sang raja pasar dan pemain Jepang lainnya. Keduanya menjadi gelombang kedatangan kedua pemain mobil Cina di Indonesia setelah satu dekade lalu gagal. Ekspansi mobil Cina sudah menjadi peringatan para pemerhati industri otomotif di dunia.

Mobil Cina yang terkenal dengan harga yang miring dan kualitas yang mulai diakui, justru dianggap menerapkan strategi mereka yang menjual rugi mobil dan sparepart di Indonesia.

"Waspadalah para pembuat mobil di dunia: Cina sedang bersiap membanjiri dunia dengan ekspor mobilnya". Wall Street Journal dalam sebuah tulisan yang berjudul “China Looks to Export Auto Overcapacity on Slow-Growth Worldawal Mei 2017 mengingatkan “bahaya” serbuan mobil Cina.

Warih yang sudah genap menjabat setahun di TMMIN adalah bagian dari reformasi struktural di internal Toyota di Indonesia, sebagai upaya menyiasati persaingan yang makin ketat.

Ia bicara banyak soal tanggapannya mengenai persaingan dengan pendatang baru yang menjual mobil lebih murah, tuntutan efisiensi, persoalan kurs rupiah terhadap dolar, dan nasib industri mobil di era digital. Berikut wawancara Tirto dengan Warih saat ditemui di kantor TMMIN, Sunter, Jakarta Utara, medio April 2018 lalu.

Anda sudah setahun memimpin TMMIN sebagai perusahaan manufaktur mobil Toyota yang memimpin pasar, apa tantangannya?

Tantangan yang paling penting adalah competitiveness, daya saing. Daya saing itu ada dua, yakni daya saing internal dan eksternal. Nah, sekarang untuk daya saing internal dulu, kalau kita mau survive ya kita harus kompetitif. Biasanya kita melakukan benchmarking/competition itu sesama jaringan manufaktur Toyota, misalnya di Thailand.

Kompetisi kita dengan teman-teman affiliate dan satu grup Toyota tak beda jauh. Namun, kita khawatir kalau kita sudah bisa bersaing di internal, lalu merasa sudah cukup. Padahal tantangan ke depannya besar. Kita putuskan melakukan benchmark kita harus ke luar.

Kita melakukan structural reform. Structural reform itu kita canangkan agar kita lebih kompetitif. Structural reform itu kita declare hingga 2019, karena setelah 2019, bisnis akan startup. Kira-kira perubahan besarnya itu. Jadi poin perubahannya itu, yang dulunya kita internal competition, dalam tanda kutip, sekarang kita buka lagi ke external competition.

Menyambung soal competitiveness, sekarang mulai bermunculan perusahaan-perusahaan manufaktur mobil dari Cina (Wuling dan Sokon) dengan investasi besar-besaran. Apakah ancaman atau tantangan?

Hidup itu kalau tidak ada tantangan, ya gimana ya? Yang berbahaya bagi Toyota sebagai pemimpin pasar lalu merasa sudah nyaman, itu paling bahaya. Bagi kita, pertama adalah banyaknya industri otomotif yang masuk ke Indonesia itu menunjukkan bahwa investor-investor asing itu menaruh harapan besar kepada Indonesia. Percaya pada pertumbuhan ekonomi ke depan, ini yang paling penting bagi kita sebagai rakyat Indonesia.

Kalau mereka datang, berarti mereka senang datang ke Indonesia. Itu harus dihargai. Nah, yang harus digarisbawahi adalah sekarang automotive industry, kapasitas produksi mobil di Indonesia sudah 2 juta unit per tahun. Sedangkan penjualan mobil per tahun sekitar 1,2 juta unit.

Rinciannya 1 juta unit plus 200 ribu unit untuk ekspor. Artinya masih ada 800 ribu kapasitas terpasang yang belum dimanfaatkan. Industri otomotif tak bisa dibangun setahun-dua tahun, mereka harus menyiapkan 5-10 tahun, artinya mereka yakin ekonomi Indonesia menjanjikan.

Kedua, competition itu sebenarnya happy timing. Toyota berpikirnya, pertama set your highest goal. Kedua, execute, execute, execute, dan ketiga don’t worry so much.

Kalau kita berpikir hasil itu kadang takut, maka don’t worry too much, enjoy the process. Sebenarnya kompetisi itu hanya kita nikmati, karena kompetisi itu sebenarnya bukan hanya bermanfaat bagi satu sisi, tapi kompetisi itu sebenarnya kalau kita sama-sama happy competition. Sebenarnya kompetisi itu membuat orang yang berkompetisi jadi lebih baik. Sebenarnya itu, kalau kita pikir positif.

Jadi kompetisi itu bukan satu mengalahkan yang lain tapi saling berusaha untuk jadi yang terbaik. Itu paling penting. Negeri kita tercinta butuh seperti ini supaya tidak too much comfort.

Bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati) pernah bicara tax holiday akan lebih bagus dari Thailand, Malaysia, ya memang harus seperti itu. That is competition, happy competition. Jadi saya katakan bahwa banyaknya investor datang ke Indonesia itu teman main badminton, atau sparing partner.

Persoalannya kompetitor seperti mobil Cina punya kelebihan soal harga yang murah, apa yang jadi kelebihan Toyota menghadapi persaingan ini?

Sebenarnya itu prinsip lama Toyota bahwa pricing itu ditetapkan oleh customer. Kedua, sekarang itu eranya adalah dalam tanda petik, pada suasana konsumen enggak lagi berpikir brand minded. Sebenarnya case brand minded sudah terjadi sebelumnya di elektronika. Dahulu pada era 1990-an konsumen elektronika juga brand minded sekali. Namun, kalau sekarang bila apa saja yang dianggap bagus, maka akan dibeli konsumen.

Tren dunia otomotif juga seperti itu. Pertama, mengenai pricing, pricing itu bagaimana membuat kendaraan yang dibutuhkan oleh konsumen, tapi yang reasonable soal harganya. Sehingga kalau kita enggak melakukan sesuatu akan tertinggal.

Strategi new model-new model akan semakin membuat harga makin mahal terus, enggak boleh seperti itu.

Makanya ada some innovations, caranya saat kita create new models, price atau benefits dapat diterima oleh customer dan reasonable. Pada dasarnya kompetisi itu kan dari dua hal yaitu barangnya sama atau barangnya lebih bagus. Itu tantangan kita. Berarti internal competitiveness dan komoditas-komoditas manufacturing/distributor, itu tantangannya.

Artinya apakah Toyota akan mengejar efisiensi untuk menghadapi persaingan?

Kita bisa lihat, kalau struktur harga dan sebagainya itu kan ada volatibility issue, eficiency issue. Ada juga misalnya bagaimana supaya local industry itu jadi lebih bagus. Sekarang kan banyak dibahas di koran, rupiah terdepresiasi, kita pada teriak semua.

Sebenarnya sih, teriak ya teriak, tapi gimana kita ini. Bagaimana supaya industri hulu itu makin lama makin bagus. Mengenai bagaimana secara efisien produktif, supaya produk kita juga kompetitif di market.

Bagaimana kita bereaksi terhadap customer, misalnya kalau siklus new model production (mobil) biasanya 4-5 tahun. Itu terlalu lama. Bagaimana kita bisa merespons customer needs secara lebih cepat? Saya kira itu tantangan kita. Kita belum 100% bisa. Saya kira ini tantangan kita ke depannya bagaimana kita bisa bereaksi ke customer needs-nya lebih cepat dan lebih bisa diterima.

Dengan adanya pemain baru, strategi Toyota agar tetap bersaing?

Sebenarnya bukan hanya Toyota. Supaya efisien, produktif itu adalah tugasnya kita bersama. Itu kayak lomba lari. Kita ingin jadi first runner. Karena semua orang juga begitu. Semua orang ingin begitu kan?

Bagaimana principal merespons tantangan pendatang baru dari Cina?

Wis, wis, wis. Ribut lah, karena sebenarnya tren kayak gini ini bukan hanya domestik. Di Saudi Arabia itu, kita fight hanya dua pemain saja. Enggak boleh lah sebut merek. Kita cuma dua pemain di satu segmen, kita hanya dua merek. Jadi memang seperti itu kompetisi. Terus saja ada pricing lah, pricing policy lah, modifikasi, speed lebih banyak, strategi distribusi, sales strategy. Saya pikir bagaimanapun kompetisi itu not only domestic.

Bagaimana Toyota mengelola supply chain agar efisien?

Pertama, kalau tier 1 (pemasok suku cadang) perusahaannya skala besar-besar. Tantangannya tier 1 hampir sama dengan tantangannya dengan Toyota (TMMIN). Misal mulai efisiensi produktivitas, kualitas, industri makro, raw materials, masih banyak impor. Kalau tier 1 memang seperti itu. Nah, kalau tier 2, tier 3 itu one of the critical points ya banyak yang cost-nya di raw materials.

Jadi bila melihat kondisi sekarang, saat kurs rupiah terdepresiasi, kalau dahulu dampaknya besar sekali. Pasti, karena mungkin 60-70 persen cost-nya raw materials. Nah, salah satu jawaban tantangan kita di sektor hulu, industri hulu. Industri hulu misalnya, kayak swasta Chandra Asri, terus BUMN seperti KS (Krakatau Steel), dan Inalum juga.

Kita sebagai industri juga harus bantu mereka untuk mengangkat, market-nya di sini. Bagaimana menghubungkan antara industri hulu dengan industri hilir, itu kadang-kadang lepas. Toyota, industri-industri lain yang harus menghubungkan.

Terkait efisiensi, era robotisasi sudah tiba. TMMIN sudah melakukannya?

Jadi salah satu aware kita adalah Toyota Institute. Itu refleksi besar kita bahwa ke depan kita memiliki tantangan yang sangat besar. Mungkin belum total automation ya. Masih increase automation area. Pada saat itu kita butuh resource yang mengelola. Yang mengelola robot lah, new equipments lah.

Kita perlu orang yang skillful di maintenance. Makanya Toyota Institute itu sekarang fokus untuk mengembangkan orang-orang yang punya capability untuk mengelola high technology seperti itu. Jadi sebenarnya kita mencoba membaca perubahan-perubahan skill apa yang akan terjadi ke depan dan bagaimana mempersiapkannya.

Sebenarnya isu-isu robotisasi kan di nasional juga sudah ada tuh, misalnya (revolusi industri) 4.0. Diskusi 4.0 itu ya nggak usah terlalu pesimis-pesimis amat. Semua changing points itu pasti creating opportunities. Pasti ada lah dampak jeleknya, tapi pasti creating opportunities. Nah, bagaimana kita berdiskusi untuk mengisi opportunities itu supaya kayak tadi. Kita harus menyiapkan resources kita supaya mereka siap.

Intinya masih perlu orang lah dalam mengelola alat-alat yang dibekali automation. Enggak bisa orangnya tetap, tapi teknologinya berubah. Enggak mungkin lah, bohong lah. Kayak media, dulunya cetak terus sekarang online, orangnya harus beda dan paham digital.

Jadi kemungkinan pengurangan sumber daya orang bisa terjadi di TMMIN?

Kalau saya enggak too much discussed mengenai pengurangan sumber daya. Saya lebih kepada bagaimana mengisi opportunities ke depan. Mengurangi, menambah itu diskusi yang nggak akan pernah selesai dan orang belum mengalami.

Jadi sekarang otomatisasi di TMMIN bagaimana?

Belum saatnya kita kayak negara-negara maju yang 98 persen automation. Misal orangnya hanya orang logistik. Setelah barang diproses oleh robot, dia yang memindahkan barang ke robot. Orang hanya untuk itu? Ya, belum waktunya lah.

Sekarang berapa persen otomatisasi dalam proses produksi di TMMIN?

Kita kira-kira 25-30 persen, dan itu sebenarnya area-area yang berat. Kita fokus di area-area yang kerjanya berat, risikonya tinggi (high safety risk).

Ada proses-proses yang berat, itu automate. Berubah iya, bahwa kita akan masuk ke 4.0 iya, tapi 4.0 itu kan IoT (internet of things) issue. Untuk IoT-nya itu, bikin orang pintar IoT juga bukan hal yang gampang.

Industri mobil saat ini seolah hanya pengekor dari regulasi, kenapa tak jadi penentu arah, seperti startup saat ini yang mengambil posisi sebagai yang terdepan, justru pemerintah yang mengekor. Industri otomotif bisa seperti ini di era digital?

Sekarang itu kita lagi berpikir bagaimana mengubah traditional business jadi mobility business. Kalau traditional business itu: jual mobil, service mobil, gitu-gitu saja. Nah, mobility business adalah orang itu ke depannya not move. People not move. Jadi bagaimana bisnis vehicle benar-benar ya based on they can be thinking.

Misalnya, orang beli mobil hanya tinggal duduk. Ini sudah terjadi di Amerika Serikat. Sekarang beli mobil, harus searching, datang ke dealer, saya harus ngomong, saya harus bikin STNK, setelah itu saya harus services, macam-macam. Betapa susahnya saya mau punya mobil.

That is sudah terjadi lho. Ada pula orang berpikir, misalnya, “Saya mau ke Surabaya.” Dia pusing, harus mengeluarkan mobil, pakai sopir, parkir di bandara lah. Bagaimana kalau dia misalnya, bisnis ke depan nih. Dia keluar dari pintu saja, kemudian dia sampe Surabaya. Orang harus gitu. Harus begitu dong prinsip berpikirnya. Benar enggak? Orang itu pasti suatu saat begitu kok.

Berarti ada ancaman terhadap industri mobil?

Nah, makanya. Industri mobil harus move to this kind of business. Tidak boleh stuck di current traditional business. Itu sudah kita sadari, cuma eksekusinya.

Dari segi volume, industri mobil akan kena dampak?

Ya itu yang harus kita bikin image. Jadi sebenarnya apakah dampak volume-nya terjadi, atau volume tetap growth tapi utilisasi beda. Karena sebenarnya kebutuhan transportasi ada, tapi bentuknya nanti seperti apa, itu saja sebenarnya. Apakah terbang, atau bagaimana.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Mild report
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti