tirto.id - Kehidupan seorang warga Amerika Serikat bernama Richard Drew barangkali bisa diringkas sebagai berikut: tak bisa disebut buruk, tapi mungkin pedih.
Kepedihan itu muncul pada 1968, ketika Drew berusia 21 tahun. Ia berdiri tepat di belakang keponakan Presiden ke-35 AS (1961-1963) John F. Kennedy bernama Robert F. Kennedy (Bobby Kennedy) tatkala ditembak mati pemuda keturunan Palestina bernama Sirhan Bishara Sirhan. Bukannya menjauh menyelamatkan diri dari kemungkinan tembakan susulan, Drew malah mendekat. Ia lekas mengeluarkan "senjata"--berupa kamera, tentu saja, bukan pistol--guna mengabadikan detik-detik hilangnya nyawa sang senator asal New York ini. Ia mengabaikan permintaan istri korban, Ethel Kennedy, untuk tak memotret momen mengerikan tersebut.
Berstatus sebagai jurnalis foto Associated Press (AP), tugas Drew memang mencatat, merekam, dan mengabadikan sejarah melalui kamera. Ia menihilkan rasa takut yang mungkin menggelayuti, juga permintaan Ethel, guna mengabarkan peristiwa tersebut ke seluruh dunia.
Kerja mengabadikan sejarah pedih ini, sialnya, terulang kembali bertahun-tahun kemudian dalam skala yang jauh lebih besar.
Pada pagi hari 11 September 2001, Drew sebetulnya telah bersiap memotret peragaan busana di Bryant Park, New York City. Pada hari itu, luput dari pengamatan siapa pun (bahkan CIA dan FBI), pesawat American Airlines dengan kode penerbangan 11 telah dibajak dan menabrakkan diri ke Tower Utara World Trade Center (WTC) di Manhattan, yang disusul pesawat lain, United Airlines berkode penerbangan 175 (United Airlines Flight 175), untuk menghajar Tower Selatan.
Peristiwa besar nan mengerikan itu lalu disiarkan oleh CNN. Editor foto AP, bos Drew, menyaksikannya dan memerintahkan Drew meninggalkan acara peragaan busana. Bukan untuk menyelamatkan diri dari kekacauan New York, tentu saja, tetapi mendekati lokasi untuk memenuhi takdir pedih sebagai jurnalis.
Jika lebih dari lima dekade sebelumnya memotret kejatuhan salah satu bintang dalam politik AS, hari itu, tepat pukul 9.41, berdiri di antara petugas kepolisian dan pemadam kebakaran serta memanfaatkan kamera plus lensa 200mm dalam peristiwa yang kemudian disebut sebagai "9/11" atau "Serangan 11 September", Drew memotret runtuhnya Amerika Serikat.
Melalui tangan Drew pula tercipta foto yang, tulis Tom Junod dalam laporannya untuk Esquire, "paling tabu untuk diperbincangkan dan dilihat."
Satu dari 50 orang (versi The New York Times) atau sekitar 200 orang (versi USA Today) yang memutuskan melompat dari lantai 106 dan 107 WTC gara-gara amukan api dan ledakan yang timbul dari hantaman pesawat berhasil dipotret. Pria bernama Roberto Hernandez atau Wilder Gomez (belum teridentifikasi secara pasti hingga saat ini) ini diabadikan ketika jatuh terbalik menghadap langit dengan latar belakang WTC yang hancur. Hanya butuh 10 detik sampai tubuh menyentuh tanah.
Foto ini kemudian dinamai "The Falling Man". The Falling Man menjadi satu-satunya karya jurnalistik visual yang menautkan hancurnya WTC karena dua pesawat yang telah dibajak dengan manusia yang menjadi korbannya.
Usai terpampang di halaman depan The New York Times beserta ratusan surat kabar di seluruh penjuru dunia keesokan harinya, The Falling Man akhirnya jatuh pula dari peredaran. Bukan semata karena foto ini sangat mengerikan, tetapi, sebagaimana dipaparkan Kevin Flynn untukThe New York Times, The Falling Man pun bertransformasi menjadi simbol keruntuhan juga keputusasaan, entah pria malang tersebut atau Paman Sam sebagai sebuah bangsa. "Jatuh/melompat", atau lebih tepatnya "jatuh/melompat dari gedung pencakar langit" memang identik dengan bunuh diri, pasrah, dan putus asa.
"Tidak," kata warga AS beserta para pejabat. Roberto Hernandez atau Wilder Gomez atau puluhan (atau ratusan) orang yang berada di lantai 106 dan 107 tidaklah melompat. Tidak juga putus asa atau memilih bunuh diri karena ketiadaan pilihan usai dikelilingi amukan api serta ledakan. Para orang AS meyakini satu hal: mereka jatuh sebagai korban kebiadaban terorisme.
Maka, dari awalnya merupakan hasil kerja jurnalistik yang dianggap tabu karena memperlihatkan dengan jelas sosok manusia sebagai korban serta dianggap sebagai simbol keputusasaan, The Falling Man bertransformasi lagi menjadi salah satu simbol era baru, era pasca-9/11: Era ketakutan dan kecurigaan.
9/11
Tak sampai sebulan usai dua menara WTC luluh lantak serta secuil bagian Pentagon hancur, didukung negara-negara Eropa seperti Inggris dan Prancis serta restu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), AS menyerang Afganistan.
Namun, sebagaimana dipaparkan Craig Whitlock dalam buku berjudul The Afghanistan Papers: A Secret History of the War (2021), Afganistan tidak ada sangkut paut apa pun dengan Serangan 11 September. Satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas serangan yang membunuh hampir 3.000 jiwa adalah al-Qaeda, organisasi teroris, juga organisasi tanpa negara (stateless), yang digawangi oleh orang kaya asal Arab Saudi bernama Osama bin Laden.
Meskipun ditentang oleh seorang (hanya seorang) anggota Kongres bernama Barbara Lee, bagi AS, Afganistan pantas disalahkan (dan karenanya diserang) karena negara yang berdiri tepat di antara Iran, Pakistan, Cina, serta negara-negara pecahan Uni Soviet ini menjadi sarang teroris. Tempat ini dimanfaatkan Osama dan al-Qaeda untuk berlatih dan merancang serangan.
Afganistan bahkan sukar dianggap sebagai negara saat AS menginjakkan kaki. Ia lebih tepat disebut tanah yang tengah dikuasai warlord (raja perang) utama bernama Taliban serta warlord lain yang menguasai lahan-lahan lebih kecil.
AS yang menerjunkan 2.500 pasukan berhasil menguasai Afganistan dengan mengalahkan Taliban hanya dalam tempo kurang dari dua bulan. Karena para pasukan "hanya menghabiskan waktu dengan bermain video gim" dan kegagalan menangkap/membunuh Osama, tulis Whitlock, Paman Sam menolak pulang dan meluaskan area serangan. Mereka juga menginvasi Irak dengan alasan negara yang tengah dikuasai Saddam Hussein itu sedang mempersiapkan/merancang "senjata pemusnah massal"--hoaks paling besar yang pernah dibuat umat manusia--dan dianggap memiliki hubungan dengan al-Qaeda.
Invasi terus meluas. AS pun, secara parsial, menginvasi Yaman, Suriah, serta beberapa negara lain di Afrika semisal Nigeria, Tanzania, Somalia, Mali, dan Tunisia.
Singkat, dalam usaha membalaskan dendam 9/11, AS lucunya (dalam konotasi negatif) menghajar negara yang tak ada hubungan apa pun dengan al-Qaeda.
Mengelaborasi apa yang dipaparkan Spencer Ackerman dalam buku berjudul Reign of Terror: How the 9/11 Era Destabilized America and Produced Trump (2021), betapa gelap matanya Paman Sam melakukan balas dendam terjadi karena mereka gagal mencegah terjadinya 9/11. Jauh sebelum 9/11 terjadi, CIA, didukung kekuatan NSA, sebetulnya telah memperoleh informasi potensi serangan berkat penyadapan terhadap kaki tangan al-Qaeda dalam rapat yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia. CIA tak meneruskan/merespons informasi ini pada FBI dan George W. Bush tengah terlena dengan kian membaiknya ekonomi AS di awal abad ke-21 itu.
Atas kegagalan memberikan rasa aman pada rakyat, tak tahu negara mana yang harus dilawan karena al-Qaeda berstatus stateless, pemerintah AS, berkongsi dengan Kongres, melahirkan produk hukum perang paling banal yang pernah dibuat manusia: Public Law 107–40 107th Congress (PDF). Ini melahirkan perang paling aneh yang pernah terjadi di dunia, War on Terror atau Perang Melawan Teror (Ingat, "Perang Melawan Teror," bukan "Perang Melawan Terorisme").
Dalam produk hukum yang mengizinkan Bush menggunakan/mengerahkan pasukan dalam merespons 9/11 itu, tidak ada satu pun kata yang memuat "al-Qaeda" atau "Afganistan" atau "Irak." Artinya, Perang Melawan Teror adalah perang yang amat luas, lawan dan wilayah yang hendak diterjang tak dibatasi sama sekali.
Dan, karena kata "teror" dalam "Perang Melawan Teror" erat kaitannya dengan "rasa takut", maka siapa pun yang dianggap AS membuatnya takut dianggap musuh yang layak diserang. Baik itu ketakutan yang muncul dari gerak-gerik organisasi/individu di luar AS atau pun di dalam negeri.
Dari Perang Melawan Teror ini lahirlah Patriot Act, sebuah undang-undang yang bukan cuma digunakan untuk melegalisasi aksi mematai-matai pihak luar tetapi juga warga sendiri. Hukum ini akhirnya digunakan untuk menjaring segala data digital warga AS. Dan, sebagaimana dipaparkan Michael Levi dalam artikel berjudul "Technologies, Security, and Privacy in the Post-9/11 European Information Society" (Journal of Law and Society Vol. 31 2004), kelakukan ini menjalar ke berbagai negara Eropa (dilegalkan melalui produk hukum yang dibuat Eropa) serta ke berbagai negara di dunia dalam bentuk e-Passport (paspor elektronik).
9/11, peristiwa yang terjadi 20 tahun lalu itu, akhirnya menjadi penanda era baru: era ketakutan. Era yang menganggap setiap kepala manusia di dunia ini mengandung ancaman. Era yang disimbolkan, salah satunya, dengan foto The Falling Man.
Editor: Rio Apinino